Hutan dan Raja Hutan

Minggu, 04 Desember 2011 00:00 WIB | 6.963 kali
Hutan dan Raja Hutan Sebuah tulisan di website saya dengan judul `Belajar Kepemimpinan dari Anjing` mengundang banyak komentar. Puluhan e-mail saya terima berkaitan dengan tulisan ini, Tidak sedikit yang merasa baru sadar, bahwa demikian banyak yang kita bisa peroleh dari kegiatan menyayangi dan mencintai orang lain. Demikian antusiasnya diskusi tentang kepemimpinan ala anjing Amerika ini, seorang pengunjung bahkan merekomendasikan saya untuk mencari sebuah buku dengan judul "Why Dog Never Lie About Love`.

Sebagai penulis, ada semacam kebahagiaan tersendiri, bila mengetahui bahwa ide dan tulisan saya dibaca dan didiskusikan orang lain. Apalagi sampai ada orang yang menghadiahkan sumber ilmu baru. Lebih-lebih kalau ada yang berterima kasih, bahwa dirinya dan keluarganya telah saya bantu dalam memperluas cakrawala kehidupan. Orang boleh menyebut respon-respon terakhir dengan rangkaian pujian yang membuat hati jadi berbunga. Akan tetapi, saya menyebutnya sebagai pengalaman spiritual yang member­sihkan jiwa.

Karena kesenangan dan kenikmatan spiritual seperti ini­lah, maka tulisan-tulisan di kolom ini saya buat tanpa me­ngenal rasa lelah. Entah di bandara, di pesawat, di kantor, dirumah, di hotel, atau di tempat wisata ketika bersama anak dan isteri, tetap saja kegiatan membersihkan jiwa terakhir saya lakukan dengan penuh suka cita.

Di tengah suka cita model terakhir ini, dalam sebuah kesempatan pulang kampung ke desa saya di Bali, saya dikejutkan oleh sejumlah kenyataan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Sahabat-sahabat masa kecil saya, yang kebanyakan tidak menyelesaikan sekolah dasarnya, ternyata mendalami makna hidup yang cukup dalam. Jalur belajarnya saja yang berbeda dengan saya. Mereka belajar kehidupan dari nyanyian-nyanyian tradisional (baca: kidung) yang berumur sangat tua. Seorang sahabat yang ketika di SD tidak naik kelas sampai tiga kali karena kebodohannya, malah mengejutkan saya melalui pema­hamannya yang dalam tentang kepemimpinan.

Dia menggunakan pengandaian hutan dan raja hutan (baca: singa). Sebagaimana kita tahu, singa hidup di hutan. Dan telah lama dinobatkan sebagai raja hutan. Uniknya, tanpa hutan tidak ada singa yang bisa hidup panjang dan tenteram. Namun, tanpa singa banyak hutan yang bisa hidup tenteram dalam waktu yang lama.

Perlambang alam ini mengajarkan kepada kita tentang pola hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Kalau ada orang yang bercerita tentang hutan yang melindungi singa, tentu saja Anda tertawa sambil tidak percaya. Akan tetapi, sudah menjadi kenyataan hidup sehari-hari, bahwa hutan telah lama menjadi rumah, ibu, dan tempat hidupnya si raja hutan.

Jikalau kita meneropong dunia pemimpin dan kepemim­pinan dalam perspektif hutan dan singa, langsung terasa ada kejanggalan. Sebagaimana kita rasakan bersama, bangsa ini termasuk satu contoh-bersama Korea Selatan, Afrika selatan, dan lain-lain-di mana rakyat dan pengikut tidak ditem­patkan sebagai `ibu`, namun sebagai korban-korban yang tidak berdaya. Di banyak perusahaan terjadi, karyawan bukanlah tempat berteduhnya pemimpin, melalui praktek-praktek hubungan industrial yang memperkosa, mereka, sudah lama menjadi sapi perahnya pengusaha. Banyak organisasi pelayanan publik seperti kelurahan dan rumahi sakit, sudah menjadi catatan sejarah kalau rakyat menjadi hamba yang mesti menyembah. Ini semua tentu saja terbalik dengan pola hutan (baca: rakyat dan pengikut) yang men­jadi ibunya raja hutan (pemimpin).

Jika umur kepemimpinan yang menyakiti `ibu` ini kemu­dian berumur sangat dan sangat pendek sekali, tentu saja bisa dimaklumi. Sebab di samping menjungkirbalikkan hukum-hukum alam yang berumur teramat lama, juga karena tidak ada satu pun manusia yang hidup tenteram dalam jangka waktu yang lama dengan menyakiti sang ibu.

Selama apa pun seorang pemimpin berkuasa, atau selama apa pun sebuah teori kepemimpinan diyakini, tetapi tetap tidak bisa mengalahkan lamanya kenyataan dalam bentuk hutan yang melindungi rajanya. Bisa jadi, dia malah ber­umur lebih tua dari sejarah manusia sendiri. Sebesar apa pun kekuasaan seorang pemimpin, atau selegitimatif apa pun proses lahirnya seorang pemimpin, namun melalui tin­dakan-tindakan yang menyakiti sang ibu, semuanya bisa lenyap ditelan ibu pertiwi.

Terinspirasi dari sini, mungkin sudah saatnya melihat rakyat dan karyawan dalam posisi sebagai ibu. Di mana, sebagaimana ibu yang sebenarnya yang tidak bisa dipilih, kita tidak hanya dituntut hormat, melainkan juga diundang untuk sampai pada tataran unconditional love.

Di tataran cinta terakhir, tidak ada yang tidak bisa dilakukan. Produktivitas bukanlah sebuah perkara yang teramat sulit. Yang membuatnya sulit adalah kemewahan


pemimpin dalam waktu lama, untuk senantiasa duduk di atas dengan penuh kesombongan. Dan meletakkan sang ibu` dalam posisi yang sangat menderita.

Mungkin saya terlalu dibungkus oleh keyakinan akan pentingnya penghormatan kepada ibu. Dan membuat peng­hormatan saya menjadi tampak agak berlebihan. Boleh saja ada orang yang menyebutnya demikian. Namun, adakah orang yang bisa lahir, hidup lama dan tenteram tanpa ibu kandung, ibu pertiwi, ibu mertua dan jenis ibu lainnya? Jika raja hutan tidak bisa hidup tanpa ibunya yang bernama hutan, adakah pemimpin yang dikenang dalam waktu yang lama tanpa memperhatikan sang `ibu`?

*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB