Seperti berjalan di jalan setapak, menelusuri lorong-lorong
pencerahan hidup memang bisa menemukan berbagai macam hal di tengah jalan. Dari binatang, tumbuh-tumbuhan,
matahari terik, hujan, orang aneh dan bersahabat, sampai dengan bertemu wanita
cantik. Ini juga yang saya alami dalam perjalanan sejauh ini. Ada yang menyebut karya saya sebagai robekan-robekan tulisan
koran yang dangkal, ada yang menyebut sebagai karya-karya yang kurang serius,
ada yang menyebutnya dengan pemikiran yang jernih dan pening, ada yang mau menjadi
murid setia, dan yang paling konyol ada yang
mencalonkan saya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Dalam bahasa kehidupan yang umum, ini hanyalah dualisme
yang saling mengisi dan saling melengkapi. Dalam bahasa saya, ini adalah
hukum-hukum alam pencerahan. Siapa pun yang melewati jalan ini, pasti bertemu
variasi yang serupa. Mirip dengan hukum alam pencerahan penulis buku The Road To Wisdom, yang menulis
bahwa jalan menuju pencerahan hanya berisi batu-batu koral
kesalahan. Yang permanen dalam perjalanan
pencerahan hanyalah kesalahan. Diharapkan
kesalahannya tambah mengecil dan mengecil.
Di awal-awal perjalanan, pujian dari pengagum memang bisa
membuat badan dan jiwa seperti diisi ulang oleh energi baru, atau makian orang yang tidak suka bisa membuat
stok energi berkurang sangat drastis. Sehingga jadilah stok energi menaik dan
menurun tergantung pada pujian dan makian orang lain. Mirip dengan barang mati seperti mobil. di mana energinya
tergantung semuanya pada kebaikan hati pihak luar.
Setelah lama energi hidup dipermainkan oleh
kekuatan luar (baca: makian dan kekaguman orang lain), ada rasa bosan
dan capek yang menggoda. Sampai suatu hari, sebuah dongeng yang ditulis seorang
penulis sufi bisa membangunkan saya. Konon, di sebuah kerajaan seorang raja
sudah teramat bosan hidup. Kehidupan yang berlimpah
harta, wanita dan takhta, semuanya sudah dimilikinya
Kehidupan yang dilingkupi kesedihan juga pernah ditemuinya. Kebosanan sang raja
kemudian muncul, setelah menyadari, bahwa hidup hanya
dipermainkan oleh perasaan suka yang memproduksi kesombongan, dan perasaan duka yang mendorong kita ke jurang kesedihan.
Maka, diadakanlah sayembara, barangsiapa yang bisa memberikan obat mujarab
kebosanan hidup, akan diberikan hadiah sangat besar oleh penguasa ini.
Ketika dead line sayembara tiba, ada yang mengirim buku, ada yang memberi bola kristal, yang memberi mantra-
mantra mistik, sampai dengan wanita supercantik yang berjanji bisa membuat paduka raja greng selamanya.
Semuanya tidak bisa mengobati penyakit bosan tokoh terakhir. Nyaris putus asa
dengan benda-benda ini, hampir saja panitia menutup sayembara tanpa satu
pemenang pun. Tiba-tiba dari benda-benda besar tadi, jatuh sebuah cincin
sederhana kecil yang bertuliskan: `ini pun akan berlalu`.
Lama raja maupun penasihatnya dibuat bingung oleh maksud
tulisan di bagian luar cincin. Setelah didalami, direnungkan dan dicermati,
ternyata kata-kata sederhana dalam bentuk `ini pun
akan berlalu`, bisa mengobati kebosanan sang raja.
Mungkin ada yang dahinya berkerut sampai tataran
ini. Izinkan saya berbagi kejernihan hanya pada mereka yang dahinya berkerut.
Bagi saya-terutama setelah lama diombang-ambingkan oleh makian dan pujian
orang lain, pernah hidup sangat miskin dan pernah juga duduk di
kursi kehidupan yang cukup-tidak ada satu pun Hal yang permanen: semuanya akan
berlalu. Bila kita kembali pada hakikat hidup dalam bentuk `ini pun akan berlalu`, dalam keadaan apa pun (suka maupun duka, kaya maupun miskin), grafik j kehidupan senantiasa mendekati datar. Tidak ada
kesedihan yang terlalu mendalam, tidak ada juga
kesombongan yang terlalu memabukkan.
Mendengar penjelasan seperti ini, ada
yang bertanya kepada saya: `Bukankah jalan yang datar tanpa kelokan cepat sekali
membosankan?`. Ini yang mesti diluruskan.
Hidup dengan keyakinan `ini pun akan berlalu`, bukanlah hidup tanpa keindahan. Keindahan
pencerahan-demikian perjalanan saya bertutur-justru
terletak pada absennya makian dan pujian orang lain.
Dalam dunia yang diisi rasa haus akan pujian, serta rasa takut
akan makian, kita dipermainkan oleh cuaca dan kekuatan-kekuatan luar lainnya. Di lain hal, dalam dunia `ini pun akan berlalu`
tidak ada satu pun cuaca yang bisa mendikte kita secara sangat berlebihan.
Semuanya serba mengalir, mengalir, mengalir dan mengalir.
Lorong-lorong pencerahan melalui meditasi telah
lama saya jalani, dan sampai sekarang pun masih berjalan. Yang jelas, dalam
kehidupan yang dipandu oleh prinsip `ini pun akan berlalu`,
halangan memang senantiasa hadir, namun energi untuk berjalan seperti tidak ada
habis-habisnya. Dan
yang lebih penting lagi, nafsu untuk `bertransaksi`
(baca: menghitung untung rugi) dengan kehidupan menjadi sangat berkurang.
Bukankah transaksi adalah halangan terbesar dari ketulusan dan keikhlasan?
Bercermin dari sini, kalau ada orang yang bermimpi punya
murid dan pengagum, saya malah bermimpi tentang kehidupan tanpa murid dan
pengagum. Bukan tidak mau menghargai pujian orang, bukan juga mau mencampakkan rasa hormat orang yang mau jadi murid. Akan tetapi, hanya mau
keluar dari tubuh dan jiwa yang dibuat sangat tergantung oleh cuaca luar.
Kenapa ini menjadi sangat penting? Kembali ke inti dongeng sufi sebelumnya: `ini pun akan berlalu`.
Penulis:
Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo