Ini Pun Akan Berlalu

Minggu, 27 November 2011 00:00 WIB | 6.903 kali
Ini Pun Akan Berlalu Seperti berjalan di jalan setapak, menelusuri lorong-lorong pencerahan hidup memang bisa menemukan berbagai macam hal di tengah jalan. Dari binatang, tumbuh-tum­buhan, matahari terik, hujan, orang aneh dan bersahabat, sampai dengan bertemu wanita cantik. Ini juga yang saya alami dalam perjalanan sejauh ini. Ada yang menyebut karya saya sebagai robekan-robekan tulisan koran yang dangkal, ada yang menyebut sebagai karya-karya yang kurang serius, ada yang menyebutnya dengan pemikiran yang jernih dan pening, ada yang mau menjadi murid setia, dan yang paling konyol ada yang mencalonkan saya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Dalam bahasa kehidupan yang umum, ini hanyalah dua­lisme yang saling mengisi dan saling melengkapi. Dalam bahasa saya, ini adalah hukum-hukum alam pencerahan. Siapa pun yang melewati jalan ini, pasti bertemu variasi yang serupa. Mirip dengan hukum alam pencerahan penulis buku The Road To Wisdom, yang menulis bahwa jalan menuju pencerahan hanya berisi batu-batu koral kesalahan. Yang permanen dalam perjalanan pencerahan hanyalah kesalahan. Diharapkan kesalahannya tambah mengecil dan mengecil.

Di awal-awal perjalanan, pujian dari pengagum memang bisa membuat badan dan jiwa seperti diisi ulang oleh energi baru, atau makian orang yang tidak suka bisa membuat stok energi berkurang sangat drastis. Sehingga jadilah stok energi menaik dan menurun tergantung pada pujian dan makian orang lain. Mirip dengan barang mati seperti mobil. di mana energinya tergantung semuanya pada kebaikan hati pihak luar.

Setelah lama energi hidup dipermainkan oleh kekuatan luar (baca: makian dan kekaguman orang lain), ada rasa bosan dan capek yang menggoda. Sampai suatu hari, sebuah dongeng yang ditulis seorang penulis sufi bisa membangun­kan saya. Konon, di sebuah kerajaan seorang raja sudah ter­amat bosan hidup. Kehidupan yang berlimpah harta, wanita dan takhta, semuanya sudah dimilikinya Kehidupan yang dilingkupi kesedihan juga pernah ditemuinya. Kebosanan sang raja kemudian muncul, setelah menyadari, bahwa hidup hanya dipermainkan oleh perasaan suka yang memproduksi kesombongan, dan perasaan duka yang mendorong kita ke jurang kesedihan. Maka, diadakanlah sayembara, barangsiapa yang bisa memberikan obat mujarab kebosanan hidup, akan diberikan hadiah sangat besar oleh penguasa ini.

Ketika dead line sayembara tiba, ada yang mengirim buku, ada yang memberi bola kristal, yang memberi mantra- mantra mistik, sampai dengan wanita supercantik yang berjanji bisa membuat paduka raja greng selamanya. Semuanya tidak bisa mengobati penyakit bosan tokoh terakhir. Nyaris putus asa dengan benda-benda ini, hampir saja panitia menutup sayembara tanpa satu pemenang pun. Tiba-tiba dari benda-benda besar tadi, jatuh sebuah cincin sederhana kecil yang bertuliskan: `ini pun akan berlalu`.

Lama raja maupun penasihatnya dibuat bingung oleh maksud tulisan di bagian luar cincin. Setelah didalami, direnungkan dan dicermati, ternyata kata-kata sederhana dalam bentuk `ini pun akan berlalu`, bisa mengobati kebosanan sang raja.

Mungkin ada yang dahinya berkerut sampai tataran ini. Izinkan saya berbagi kejernihan hanya pada mereka yang dahinya berkerut. Bagi saya-terutama setelah lama diom­bang-ambingkan oleh makian dan pujian orang lain, pernah hidup sangat miskin dan pernah juga duduk di kursi kehi­dupan yang cukup-tidak ada satu pun Hal yang permanen: semuanya akan berlalu. Bila kita kembali pada hakikat hidup dalam bentuk `ini pun akan berlalu`, dalam keadaan apa pun (suka maupun duka, kaya maupun miskin), grafik j kehidupan senantiasa mendekati datar. Tidak ada kesedihan yang terlalu mendalam, tidak ada juga kesombongan yang terlalu memabukkan.

Mendengar penjelasan seperti ini, ada yang bertanya kepada saya: `Bukankah jalan yang datar tanpa kelokan cepat sekali membosankan?`. Ini yang mesti diluruskan. Hidup dengan keyakinan `ini pun akan berlalu`, bukanlah hidup tanpa keindahan. Keindahan pencerahan-demikian perjalanan saya bertutur-justru terletak pada absennya makian dan pujian orang lain.

Dalam dunia yang diisi rasa haus akan pujian, serta rasa takut akan makian, kita dipermainkan oleh cuaca dan kekuatan-kekuatan luar lainnya. Di lain hal, dalam dunia `ini pun akan berlalu` tidak ada satu pun cuaca yang bisa men­dikte kita secara sangat berlebihan. Semuanya serba meng­alir, mengalir, mengalir dan mengalir.

Lorong-lorong pencerahan melalui meditasi telah lama saya jalani, dan sampai sekarang pun masih berjalan. Yang jelas, dalam kehidupan yang dipandu oleh prinsip `ini pun akan berlalu`, halangan memang senantiasa hadir, namun energi untuk berjalan seperti tidak ada habis-habisnya. Dan yang lebih penting lagi, nafsu untuk `bertransaksi` (baca: menghitung untung rugi) dengan kehidupan menjadi sangat berkurang. Bukankah transaksi adalah halangan terbesar dari ketulusan dan keikhlasan?

Bercermin dari sini, kalau ada orang yang bermimpi punya murid dan pengagum, saya malah bermimpi tentang kehidupan tanpa murid dan pengagum. Bukan tidak mau menghargai pujian orang, bukan juga mau mencampakkan rasa hormat orang yang mau jadi murid. Akan tetapi, hanya mau keluar dari tubuh dan jiwa yang dibuat sangat tergan­tung oleh cuaca luar. Kenapa ini menjadi sangat penting? Kembali ke inti dongeng sufi sebelumnya: `ini pun akan ber­lalu`.

 

Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB