Salah satu dari buku yang saya baca pelan-pelan sampai habis
adalah buku Dalai Lama bersama Howard
C. Cutter
yang berjudul The Art of Happiness. Awalnya, buku ini saya baca secara cepat. Akan tetapi, semakin diselami, ia seperti
menghadirkan kedamaian tersendiri. Seperti berhadapan
dengan manusia dengan tantangan yang sangat besar- bayangkan negerinya
dianeksasi Cina dalam waktu yang lama-namun masih bisa menyebut diri
berbahagia.
Sempat lama saya dibuat tercenung oleh tokoh perdamaian itu. Dan
merasakan sendiri, betapa kecilnya saya di hadapan ’raksasa’ kehidupan sehebat
Dalai Lama. Di mana pun kita bertemu, di televisi, media cetak atau hampir
semua kesempatan, kita senantiasa bertemu dengan mimik muka yang serba tersenyum.
Padahal, kehidupannya- sebagaimana dituturkan Cutter-tidak sedikit yang
ditandai oleh banjir kesedihan.
Ada seorang
rahib Tibet yang disiksa dalam tahanan Cina selama lebih dari dua puluh tahun.
Orangtua yang menangis karena anaknya dididik di sekolah yang menginjak-injak
ajaran dan keyakinan orang Tibet. Bayangkan, bangsa Tibet yang dalam waktu
sangat lama meyakini tidak boleh membunuh segala sesuatu yang bernyawa,
tiba-tiba generasi mudanya disuruh membunuh binatang setiap kali pergi ke sekolah. Semakin besar hasii bunuhannya, maka semakin
besar juga nilainya di sekolah. Belum lagi penghancuran tempat-tempat suci
bangsa Tibet.
Dirangkum menjadi satu, kehidupan seorang Dalai Lama ditandai oleh banjir
bandang kesedihan yang demikian dahsyat.
Kalau orang biasa seperti saya mengalaminya, mungkin ’ ceritanya menjadi sangat
lain. Sehingga menimbulkan pertanyaan besar bagi saya, apa kendaraan
dahsyat yang bisa membawa Dalai Lama sampai dalam tataran kebahagiaan yang sekarang?
Sampai sekarang pun saya masih meraba-raba. Yang jelas, sebagai
manusia yang hidup di zaman ini, tidak sedikit orang menggunakan materi dan
hal-hal eksternal lain sebagai kendaraan menuju kebahagiaan.
Perlombaan materi terjadi di mana-mana. Lomba model terakhir, tidak hanya monopoli orang kota. Di desa pun perlombaan
terjadi. Dari perlombaan materi sampai dengan perlombaan ’spiritual’.Terutama,
melalui perlombaan mau disebut paling
mengetahui, paling
peka dengan sinyal-sinyal Tuhan dan sejenisnya.
Bahkan di pojokan tertentu kehidupan beragama juga terjadi
perlombaan. Kasus pembunuhan antarumat di Maluku, demikian juga di Yugoslavia
hanyalah sebagian kecil dari demikian banyak kasus lomba mau disebut lebih
benar. Maka jadilah kita sekumpulan manusia yang menempatkan ’perlombaan’
sebagai kendaraan menuju kebahagiaan. Kalau ukurannya adalah pembunuhan yang
tidak pernah berhenti, kesengsaraan yang meningkat terus, atau kebencian
meningkat serta kasih sayang yang menyusut, maka boleh dikatakan bahwa ’perlombaan’
sebagai kendaraan menuju kebahagiaan telah gagal membawa kita ke sana.
Sebagai orang yang hadir di banyak kesempatan, sering kali saya bertemu manusia yang kesepian di keramaian. Kelaparan di tengah
kekayaan materi yang melimpah. Atau malah dihimpit kebencian
di tempat ibadah yang suci dan mulia. Secara jujur harus saya katakan kepada Anda, saya pun kadang-kadang ditulari penyakit serupa. Serta membuat saya
bertanya, dalam struktur sosial seperti apakah kita in sedang
hidup?
Seorang sahabat sekaligus guru
yang sering member,
inspirasi kepada saya pernah bertutur, dunia
pencerahan baru kita temukan kalau kita mulai menemukan orang Kristen di Masjid, saudara-saudara Muslim di Vihara, sahabat-sahabat
beragama Buddha di Pura, atau penganut Hindu
di Gereja. Tentu saja maksudnya bukan kehadiran fisik
Namun kehadiran secara persahabatan. Terutama, persahabatan dalam kedamaian
dan kebahagiaan. Kalau masih kita merasakan permusuhan dan
perlombaan kebenaran ditempat
ibadah, saya mau bertanya: masihkan kita layak untuk berdoa dari tempat suci ini?
Kembali ke soal awai tentang kendaraan menuju kebahagiaan, bercermin dari ini semua, banyak orang
menyimpulkan bahwa perlombaan materi, maupun
perlombaan kebenaran, bukanlah kendaraan yang tepat
dalam hal ini. Bahkan, telah terbukti menjerumuskan kemanusiaan kedalam lembah dalam dan mengerikan. Lantas punyakah kita I
kendaraan alternatif?
Bercermin dari kehidupan mulia Dalai Lama, rupanyal beliau telah
lama tidak menggunakan kendaraan sebagaimana disebutkan di atas. Dengan
perjalanannya keliling dunia, bertutur serta
berceramah tentang perdamaian ke siapa saja yang mau mendengarkan,
bersahabat dengan musuh yang menganeksasi negerinya,
ia sedang menunjukkan kepada kita tentang kendaraan
beliau yang sangat lain.
Di sebuah kesempatan ia pernah bertanya kepada seorang rahib Buddha
yang baru saja keluar dari penjara Cina selama puluhan tahun. Ketika ditanya, bahaya terbesar yang
dihadapi ketika rahib tadi berada di penjara, ia menjawab sederhana: kehilangan
rasa perdamaian dengan bangsa Cina.
Anda bebas menyimpulkan semua pengalaman ini, namun bagi saya ia
memberi inspirasi tentang kendaraan sebagai sarana menuju kebahagiaan. Rupanya,
kualitas rangkulan kita bersama kehidupan dan orang lain, bisa menjadi kendaraan menuju kebahagiaan, yang jauh lebih memadai
dibandingkan kendaraan mana pun. Anda punya kendaraan lain?
Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo