Abatasa - Belajar Bersama

Meraih Harta dengan Cinta

pada Rabu, 09 November 2011 00:00 WIB

Satu ciri menonjol yang sulit dibantah dalam kehidupan modern, adalah besarnya daya tarik harta dalam kehidupan. Lebih dari separo energi-energi kehidupan dihabiskan untuk memperoleh harta. Perhatikan saja orang-orang di kota atau di desa mengalokasikan waktunya. Bukankah lebih dari sebagian diperuntukkan untuk menggapai harta? Di kota- kota besar seperti Jakarta, bahkan tidak sedikit nyawa melayang hanya untuk memperebutkan harta. Sebagian malah kehilangan nyawa, hanya untuk mengisi sebagian perut. Ketika pergi ke kota Palembang beberapa waktu lalu, saya sangat terkejut dengan sejumlah orang yang berpakaian sangat rapi, namun memaksa untuk diberikan uang. Kalau saja ada statistik yang bisa menjelaskan ke mana pendapatan orang dialokasikan, tentu pengumpulan harta akan menduduki salah satu porsi yang menentukan. Di kota-kota besar, dan di banyak negara yang maju perekono­miannya malah terjadi, harta menjadi satu-satunya mesin pendorong kemajuan. Sulit membayangkan adanya pertum­buhan ekonomi yang pesat tanpa didorong oleh nafsu untuk memperoleh harta.

Sebagai konsekuensinya, jadilah kehidupan modem sebuah kehidupan yang diwarnai secara sangat dominan oleh energi mencari harta. Mungkin sangat aneh kedengar­annya, kalau saya merekomendasikan Anda untuk berhenti mencari harta. Lebih aneh lagi, karena saran demikian datang dari saya yang sehari-hari hidup dalam lingkungan yang sangat kapitalis. Sekali lagi, saya tidak dalam posisi untuk mengerem apa lagi mengharamkan nafsu-nafsu men­cari harta. Dengan seluruh kekurangannya, harta telah berhasil mendorong banyak kemajuan.

Sayangnya, di tengah-tengah keinginan manusia yang sangat kuat untuk memiliki harta ini, ada banyak orang yang lupa, bahwa harta tidak hanya hadir dalam bentuk keka­yaan-kekayaan material di luar diri. Ia juga hadir dalam jumlah yang sangat melimpah di dalam diri kita masing-masing.

Meminjam karya cantik seniman besar India yang berna­ma Kabir: Janganlah pergi ke taman bunga! Hai sahabat! Dalam tubuhmu ada taman bunga. Duduklab di atas ribuan daun lotus, dan pandanglah keindahan tak ter­batas. Entah Anda percaya atau tidak, saya meyakini kalau taman bunga (baca: harta) di dalam diri kita ada. Ia memiliki daya puas yang jauh lebih lama dan lebih besar dari harta yang datang dari luar.

Perhatikan oksigen yang kita hirup gratis setiap hari. Bukankah ia berharga sangat mahal bagi mereka yang mem­beli oksigen di rumah sakit? Cermati kesehatan Anda hari ini, bukankah ia sangat nikmat bila dibandingkan orang yang menangis kesakitan di unit gawat darurat? Coba lihat rumah Anda lengkap dengan anak dan isteri/suami yang menunggu setiap hari. Bukankah ia rezeki yang sangat patut disyukuri dibandingkan mereka yang tidak punya rumah dan belum memiliki anak?

Dengan sedikit rasa syukur, badan dan jiwa ini sebenarnya memiliki harta yang demikian melimpah. Ia lebih murah dan mudah untuk digapai. Dan yang lebih penting, ia bisa dimiliki manusia mana pun, dengan pendidikan seting­kat apa pun, dan pengalaman sejumlah mana pun. Syaratnya cuman satu, kesediaan untuk menerima dan bersyukur kepada sang hidup dan kehidupan.

Lebih-lebih kalau semua harta di atas (baik yang bersum­ber dari dalam maupun dari luar) kita peroleh dengan cinta. Ia mematahkan anggapan yang berumur sangat lama: per­tentangan antara performance (hasil di akhir) dengan enjoy­ment (kenikmatan dalam perjalanan).

Sebagaimana kita tahu bersama, telah lama diyakini banyak manusia, kalau orang mengutamakan hasil, maka luputlah rasa syukur di perjalanan. Demikian juga dengan mereka yang terlalu berkonsentrasi pada rasa syukur di per­jalanan, hasil akhirnya kerap hanya biasa-biasa saja.

Melalui pendekatan ’meraih harta dengan cinta’, sebenar­nya pertentangan semacam ini tidak perlu ada. Hasil yang maksimal bisa dicapai melalui rasa syukur yang mendalam di perjalanan. Demikian juga sebaliknya, rasa syukur yang terus menerus hadir, juga kontributif terhadap tingginya hasil akhir. Bukankah indah sekali hidup yang bisa meng­hadirkan keduanya pada saat yang sama?

Dalam bingkai pengertian seperti ini, ketika seorang saha- bat warga negara Amerika bertanya kepada saya apa itu kehidupan. Dengan tenang saya menjawabnya: life is love, the rest is just details! Hidup ini adalah cinta, sisanya hanyalah penjelasan rinci dari cinta.

Ini juga yang menyebabkan saya tidak bosan-bosannya menulis, berbicara dan menjadi konsultan cinta di mana- mana. Berbeda dengan laki-laki gombal yang mengobral cintanya melalui janji, saya melakukannya melalui tindakan- tindakan kecil tidak bernama, tidak diakhiri kata terima kasih, bahkan kerap tidak diakhiri senyum orang lain. Kadang malah dimaki orang lain, plus sebutan munafik.


Ibarat melakukan perjalanan, ketika ada orang yang bertanya mau ke mana saya, jawabannya sederhana: hanya mau berjalan titik! Entah setelah berjalan bertemu laut, su­ngai, pohon atau malah dimarahin orang lain, selalu di­usahakan untuk tersenyum dalam rasa syukur. Ini konkret- nya cara saya meraih harta dengan cinta.

Ada memang orang lain yang meraihnya dengan cara yang berbeda. Ini pun saya syukuri, karena ada orang lain yang bertemu jalan lain, untuk kemudian ikut memperkaya inspirasi hidup ini.


Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo

#