Satu ciri menonjol yang sulit dibantah dalam kehidupan modern, adalah besarnya daya tarik harta dalam
kehidupan. Lebih dari separo energi-energi
kehidupan dihabiskan untuk memperoleh harta.
Perhatikan saja orang-orang di kota atau di desa mengalokasikan waktunya.
Bukankah lebih dari sebagian diperuntukkan untuk
menggapai harta? Di kota- kota besar seperti Jakarta, bahkan tidak sedikit
nyawa melayang hanya untuk memperebutkan harta. Sebagian malah kehilangan
nyawa, hanya untuk mengisi sebagian perut. Ketika pergi ke kota Palembang
beberapa waktu lalu, saya sangat terkejut dengan sejumlah orang yang berpakaian
sangat rapi, namun memaksa untuk diberikan uang.
Kalau saja ada statistik yang
bisa menjelaskan ke mana pendapatan orang dialokasikan, tentu pengumpulan harta
akan menduduki salah satu porsi yang menentukan. Di kota-kota besar, dan di
banyak negara yang maju perekonomiannya malah terjadi, harta menjadi
satu-satunya mesin pendorong kemajuan. Sulit membayangkan adanya pertumbuhan
ekonomi yang pesat tanpa didorong oleh nafsu untuk memperoleh harta.
Sebagai konsekuensinya, jadilah
kehidupan modem sebuah kehidupan yang diwarnai secara sangat dominan oleh energi mencari harta. Mungkin sangat aneh kedengarannya, kalau saya
merekomendasikan Anda untuk berhenti mencari harta. Lebih aneh lagi, karena
saran demikian datang dari saya yang sehari-hari hidup dalam lingkungan yang
sangat kapitalis. Sekali lagi, saya tidak dalam posisi untuk mengerem apa lagi
mengharamkan nafsu-nafsu mencari harta. Dengan seluruh kekurangannya, harta
telah berhasil mendorong banyak kemajuan.
Sayangnya, di tengah-tengah
keinginan manusia yang sangat kuat untuk memiliki harta ini, ada banyak orang
yang lupa, bahwa harta tidak hanya hadir dalam bentuk kekayaan-kekayaan
material di luar diri. Ia juga hadir dalam jumlah yang sangat melimpah di dalam diri kita masing-masing.
Meminjam karya cantik seniman
besar India yang bernama Kabir: Janganlah pergi ke
taman bunga! Hai sahabat! Dalam tubuhmu ada taman bunga. Duduklab di atas
ribuan daun lotus, dan pandanglah keindahan tak terbatas. Entah Anda percaya atau tidak, saya meyakini kalau
taman bunga (baca: harta) di dalam diri kita ada. Ia memiliki daya puas yang
jauh lebih lama dan lebih besar dari harta yang datang dari luar.
Perhatikan oksigen yang kita
hirup gratis setiap hari. Bukankah ia berharga sangat mahal bagi
mereka yang membeli oksigen di rumah sakit? Cermati kesehatan Anda hari ini,
bukankah ia sangat nikmat bila dibandingkan orang yang menangis kesakitan di
unit gawat darurat? Coba lihat rumah Anda lengkap dengan anak dan isteri/suami
yang menunggu setiap hari. Bukankah ia rezeki
yang sangat patut disyukuri dibandingkan mereka yang tidak punya rumah dan
belum memiliki anak?
Dengan sedikit rasa syukur, badan dan jiwa ini sebenarnya memiliki harta yang demikian melimpah. Ia lebih
murah dan mudah untuk digapai. Dan yang lebih penting, ia bisa dimiliki manusia mana pun, dengan pendidikan setingkat apa pun, dan pengalaman sejumlah mana pun. Syaratnya cuman satu,
kesediaan untuk menerima dan bersyukur kepada sang hidup dan kehidupan.
Lebih-lebih kalau semua harta di
atas (baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar) kita peroleh dengan
cinta. Ia mematahkan anggapan yang berumur sangat lama: pertentangan antara performance (hasil di akhir) dengan enjoyment (kenikmatan
dalam perjalanan).
Sebagaimana kita tahu bersama,
telah lama diyakini banyak manusia, kalau orang mengutamakan hasil, maka
luputlah rasa syukur di perjalanan. Demikian juga dengan mereka
yang terlalu berkonsentrasi pada rasa syukur di perjalanan,
hasil akhirnya kerap hanya biasa-biasa saja.
Melalui pendekatan ’meraih harta
dengan cinta’, sebenarnya pertentangan semacam ini tidak perlu ada. Hasil yang
maksimal bisa dicapai melalui rasa syukur yang mendalam di
perjalanan. Demikian juga sebaliknya, rasa syukur
yang terus menerus hadir, juga kontributif terhadap tingginya hasil akhir.
Bukankah indah sekali hidup yang bisa menghadirkan keduanya pada saat yang
sama?
Dalam bingkai pengertian seperti
ini, ketika seorang saha- bat warga negara Amerika bertanya kepada saya apa itu
kehidupan. Dengan tenang saya menjawabnya: life is love, the rest is just details! Hidup ini adalah cinta, sisanya hanyalah penjelasan rinci dari cinta.
Ini juga yang menyebabkan saya tidak
bosan-bosannya menulis, berbicara dan menjadi konsultan cinta di mana- mana.
Berbeda dengan laki-laki gombal yang
mengobral cintanya melalui janji, saya melakukannya melalui tindakan- tindakan
kecil tidak bernama, tidak diakhiri kata terima kasih, bahkan kerap tidak
diakhiri senyum orang lain.
Kadang malah dimaki orang lain, plus sebutan munafik.
Ibarat melakukan perjalanan, ketika ada orang yang bertanya
mau ke mana saya, jawabannya sederhana: hanya mau berjalan titik! Entah setelah
berjalan bertemu laut, sungai, pohon atau malah dimarahin orang lain, selalu diusahakan untuk tersenyum dalam rasa syukur.
Ini konkret- nya cara saya meraih harta dengan cinta.
Ada memang orang lain yang
meraihnya dengan cara yang berbeda. Ini pun saya syukuri, karena ada orang lain yang bertemu jalan lain, untuk
kemudian ikut memperkaya inspirasi hidup ini.
Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT
Elex Media Komputindo