Mesin kekerasan yang memproduksi
ketakutan, mungkin itu sebutan yang paling tepat untuk kondisi
masyarakat Indonesia yang sedang dilanda perseteruan antar elit
politik. Ada demonstrasi dalam jumlah besar yang tiada henti. Ada yang memaksa memasukkan kaos kaki bau ke mulut politisi. Ada yang mengancam akan diambil alih militer. Sampai dengan
teror bom yang demikian menakutkan itu.
Digabung menjadi satu, kalau diandaikan dengan sebuah badan manusia,
maka jadilah badan Indonesia sebagai badan dan jiwa yang rapuh dan keropos.
Bagaimana tidak disebut rapuh dan keropos, kalau sejarah berputar dari satu rasa dendam ke rasa dendam lain yang mengerikan. Ketika orde lama turun, naik orde baru yang dihadang kekuatan orde lama.
Tatkala orde baru runtuh, naik orde reformasi yang juga dihadang kekuatan orde
baru. Setelah orde reformasi dipuja, kemudian digergaji
besar-besaran oleh pihak-pihak yang kalah.
Sehebat dan sedahsyat apa pun
pendidikan dilakukan, tetap tidak berdaya di depan mesin kekerasan yang memproduksi
ketakutan ini. Ada yang bertanya, apakah mesin kekerasan pasti
memproduksi kekerasan juga? Tentu saja belum tentu. Tergantung apa yang kita lakukan pada hari ini dan seterusnya.
Biarkan sahabat-sahabat di dunia
pendidikan berespons yang tepat dalam hal ini. Bagi saya
sangat dan teramat penting memperhatikan institusi
yang lama dilupakan banyak orang: keluarga. Di unit sosial terkecil ini, orang
mengalokasikan banyak sekali waktunya. Anak-anak bahkan tumbuh dan besar paling banyak di rumah.
Benar yang dikemukakan beberapa rekan, bahwa anak-anak adalah
titipan masa depan. Ada juga yang mengatakan,
melalui anak-anaklah kontribusi langsung kita ke masa depan diukur dan
dihitung. Kalau anak-anak kita menjadi perampok, maka kita ikut berkontribusi
terhadap masa depan yang ditandai perampokan.
A family
lover seperti saya ini mungkin saja bias dalam hal ini. Dulu, saya hanya melihat keluarga sebagai
pelabuhan terakhir-di mana kapal memperbaiki dirinya secara total dan radikal. Sekarang, disamping jadi pelabuhan, rumah juga
menjadi tempat di mana seluruh kejujuran tampil secara nyaris tanpa penutup.
Berbeda dengan kantor dan tempat
umum lainnya, rumah memang menjadi tempat bagi ketelanjangan hidup. Dalam kurun
waktu yang lama, tidak mungkin kita menutup-nutupi kekurangan dan kecacatan
lainnya di rumah. Orang yang mengenal kita secara sangat mendalam, siapa lagi
kalau bukan orang yang di rumah. Cerita dan kehidupan menjadi lain kalau rumah menjadi kolam cinta yang penuh kesejukan.
Dulu, ketika pertama kali
mendengar bahwa ada perusahaan Jepang
yang mempersyaratkan bagian personalianya untuk mendatangi rumah karyawan
barunya, sebagai syarat lulus jadi karyawan, saya agak heran. Sekarang, ketika
memahami bahwa rumah adalah tempat di mana orang tampil
telanjang, baru saya bisa mengerti.
Banyak rekan sosiolog dan psikolog, atau bahkan pakar pendidikan
yang tidak terlalu tertarik untuk mengamati rumah dan keluarga. Pengalaman
pribadi plus pengamatan saya bertutur, di unit sosial terkecil
inilah bibit-bibit kemanusiaan muncul, tumbuh dan dikembangkan paling lama.
Coba perhatikan anak-anak remaja
yang terkena narkotika, kebanyakan datang dari rumah dan keluarga yang
berantakan. Cermati pria atau wanita yang rajin selingkuh, hampir semuanya
memiliki rumah dan keluarga yang bermasalah. Lihat pribadi-pribadi yang
bermasalah, semuanya dibesarkan dalam rumah dan keluarga yang tidak bisa
dibanggakan.
Boleh saja masyarakat menjadi
mesin kekerasan yang menakutkan, namun kalau rumah dan keluarga menjadi lautan
senyuman, kekuatan-kekuatan negatif masyarakat bisa ditangkal.
Entah bagaimana Anda mengelola
rumah dan keluarga Anda. Dan Anda bebas mengelolanya menurut selera Anda.
Namun, di rumah di mana saya memandikan tubuh dan jiwa! setiap hari, semua
peralatan hiburan hanya boleh diletakkan di ruang publik seperti ruang
keluarga. Bukan karena mau pamer pada tamu, atau pelit pada anak dan isteri,
namun untuk memfasilitasi kami agar bertemu sesering mungkin.
Komputer, tv, meja belajar,
radio kaset semuanya diletakkan di ruang-ruang publik. Ini semua memungkinkan
kami sering bertemu. Bagian taman rumah kami, sengaja dibuat terbuka dan
tertata rapi. Terutama untuk memungkinkan kami berinteraksi dan menyayangi alam
semesta setiap hari.
Di samping lingkungan fisik,
lingkungan kejiwaan pun mesti ditata rapi. Sebagai manusia biasa yang memiliki
kelemahan, tentu harus ada upaya meminimalkan dampak negatif dari kekurangan
kita ke anak dan isteri. Saya melakukannya dengan membagi rumah kami ke dalam
dua ’kerajaan’. Bagian atas
rumah, ia menjadi kerajaannya anak-
anak. Entah mau melukis, menempel poster Spice Girls, menata dengan selera masing-masing, asai tidak merusak dan
membongkar, mereka punya kebebasan. Putera saya yang masih berumur empat tahun,
bahkan menggunakan tempat tidurnya sebagai tempat bermain lompat-lompatan
hampir setiap mala m sebelum tidur. Putera saya yang kedua, menulis di pintu
masuk kamar tidurnya: ’dilarang kencing di kamar ini!’
Di bagian tembok luar rumah,
saya dan isteri menempel dua topeng yang tersenyum ramah. Di samping untuk
mengingatkan pentingnya senyum dalam hidup, juga untuk menyehatkan jiwa. Rumah
dan jiwa Anda memang wilayah Anda, namun di rumah saya, kami merasakan
seolah-olah seluruh dunia serasa tersenyum.
Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT
Elex Media Komputindo