Seluruh Dunia Serasa Tersenyum

Kamis, 03 November 2011 00:00 WIB | 6.201 kali
Seluruh Dunia Serasa Tersenyum Mesin kekerasan yang memproduksi ketakutan, mungkin itu sebutan yang paling tepat untuk kondisi masyarakat Indonesia yang sedang dilanda perseteruan antar elit politik. Ada demonstrasi dalam jumlah besar yang tiada henti. Ada yang memaksa memasukkan kaos kaki bau ke mulut poli­tisi. Ada yang mengancam akan diambil alih militer. Sampai dengan teror bom yang demikian menakutkan itu.

Digabung menjadi satu, kalau diandaikan dengan sebuah badan manusia, maka jadilah badan Indonesia sebagai badan dan jiwa yang rapuh dan keropos. Bagaimana tidak disebut rapuh dan keropos, kalau sejarah berputar dari satu rasa dendam ke rasa dendam lain yang mengerikan. Ketika orde lama turun, naik orde baru yang dihadang kekuatan orde lama. Tatkala orde baru runtuh, naik orde reformasi yang juga dihadang kekuatan orde baru. Setelah orde reformasi dipuja, kemudian digergaji besar-besaran oleh pihak-pihak yang kalah.

Sehebat dan sedahsyat apa pun pendidikan dilakukan, tetap tidak berdaya di depan mesin kekerasan yang mem­produksi ketakutan ini. Ada yang bertanya, apakah mesin kekerasan pasti memproduksi kekerasan juga? Tentu saja belum tentu. Tergantung apa yang kita lakukan pada hari ini dan seterusnya.

Biarkan sahabat-sahabat di dunia pendidikan berespons yang tepat dalam hal ini. Bagi saya sangat dan teramat penting memperhatikan institusi yang lama dilupakan banyak orang: keluarga. Di unit sosial terkecil ini, orang mengalo­kasikan banyak sekali waktunya. Anak-anak bahkan tum­buh dan besar paling banyak di rumah.

Benar yang dikemukakan beberapa rekan, bahwa anak-anak adalah titipan masa depan. Ada juga yang mengatakan, melalui anak-anaklah kontribusi langsung kita ke masa depan diukur dan dihitung. Kalau anak-anak kita menjadi perampok, maka kita ikut berkontribusi terhadap masa depan yang ditandai perampokan.

A family lover seperti saya ini mungkin saja bias dalam hal ini. Dulu, saya hanya melihat keluarga sebagai pelabuhan terakhir-di mana kapal memperbaiki dirinya secara total dan radikal. Sekarang, disamping jadi pelabuhan, rumah juga menjadi tempat di mana seluruh kejujuran tampil secara nyaris tanpa penutup.

Berbeda dengan kantor dan tempat umum lainnya, rumah memang menjadi tempat bagi ketelanjangan hidup. Dalam kurun waktu yang lama, tidak mungkin kita menutup-nutupi kekurangan dan kecacatan lainnya di rumah. Orang yang mengenal kita secara sangat mendalam, siapa lagi kalau bukan orang yang di rumah. Cerita dan kehidupan menjadi lain kalau rumah menjadi kolam cinta yang penuh kese­jukan. Dulu, ketika pertama kali mendengar bahwa ada perusahaan Jepang yang mempersyaratkan bagian persona­lianya untuk mendatangi rumah karyawan barunya, sebagai syarat lulus jadi karyawan, saya agak heran. Sekarang, keti­ka memahami bahwa rumah adalah tempat di mana orang tampil telanjang, baru saya bisa mengerti.

Banyak rekan sosiolog dan psikolog, atau bahkan pakar pendidikan yang tidak terlalu tertarik untuk mengamati rumah dan keluarga. Pengalaman pribadi plus pengamatan saya bertutur, di unit sosial terkecil inilah bibit-bibit kemanu­siaan muncul, tumbuh dan dikembangkan paling lama.

Coba perhatikan anak-anak remaja yang terkena narko­tika, kebanyakan datang dari rumah dan keluarga yang berantakan. Cermati pria atau wanita yang rajin selingkuh, hampir semuanya memiliki rumah dan keluarga yang ber­masalah. Lihat pribadi-pribadi yang bermasalah, semuanya dibesarkan dalam rumah dan keluarga yang tidak bisa dibanggakan.

Boleh saja masyarakat menjadi mesin kekerasan yang menakutkan, namun kalau rumah dan keluarga menjadi lautan senyuman, kekuatan-kekuatan negatif masyarakat bisa ditangkal.

Entah bagaimana Anda mengelola rumah dan keluarga Anda. Dan Anda bebas mengelolanya menurut selera Anda. Namun, di rumah di mana saya memandikan tubuh dan jiwa! setiap hari, semua peralatan hiburan hanya boleh diletakkan di ruang publik seperti ruang keluarga. Bukan karena mau pamer pada tamu, atau pelit pada anak dan isteri, namun untuk memfasilitasi kami agar bertemu sesering mungkin.

Komputer, tv, meja belajar, radio kaset semuanya diletak­kan di ruang-ruang publik. Ini semua memungkinkan kami sering bertemu. Bagian taman rumah kami, sengaja dibuat terbuka dan tertata rapi. Terutama untuk memungkinkan kami berinteraksi dan menyayangi alam semesta setiap hari.

Di samping lingkungan fisik, lingkungan kejiwaan pun mesti ditata rapi. Sebagai manusia biasa yang memiliki kelemahan, tentu harus ada upaya meminimalkan dampak negatif dari kekurangan kita ke anak dan isteri. Saya melakukannya dengan membagi rumah kami ke dalam dua ’kerajaan’. Bagian atas rumah, ia menjadi kerajaannya anak- anak. Entah mau melukis, menempel poster Spice Girls, menata dengan selera masing-masing, asai tidak merusak dan membongkar, mereka punya kebebasan. Putera saya yang masih berumur empat tahun, bahkan menggunakan tempat tidurnya sebagai tempat bermain lompat-lompatan hampir setiap mala m sebelum tidur. Putera saya yang kedua, menulis di pintu masuk kamar tidurnya: ’dilarang kencing di kamar ini!’

Di bagian tembok luar rumah, saya dan isteri menempel dua topeng yang tersenyum ramah. Di samping untuk mengingatkan pentingnya senyum dalam hidup, juga untuk menyehatkan jiwa. Rumah dan jiwa Anda memang wilayah Anda, namun di rumah saya, kami merasakan seolah-olah seluruh dunia serasa tersenyum.

 

Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB