Memimpin dengan Hati II

Rabu, 26 Oktober 2011 00:00 WIB | 6.702 kali
Memimpin dengan Hati II Menyusul tulisan terdahulu tentang kepemimpinan dari dalam hati, yang bertutur bagaimana raksasa Harley Davidson ditransformasikan oleh pemimpinnya melalui hati, ada banyak rekan yang menyempatkan diri untuk berko­mentar. Dari komentar positif---ada yang minta dijelaskan lebih lanjut, ada yang memberi tambahan referensi, ada yang merasa menemukan dirinya sendiri---sampai dengan komentar negatif.

Berdiri di atas keyakinan bahwa kemajuan dan penciptaan, senantiasa tumbuh di atas dialektika positif-negatif, saya berterima kasih sekali atas semua komentar ini. Baik komentar positif maupun negatif, sama-sama saya peluk dengan tingkat kemesraan yang sama. Dan dalam rangka pelukan terakhirlah tulisan ini dibuat. Sejalan dengan mereka yang meyakini bahwa kehidupan adalah sumber inspirasi yang luar biasa, saya dididik banyak sekali oleh universitas kehidupan. Setiap kelokan kehidupan adalah guru yang sangat berharga. Ini berarti, semakin banyak kelokan kehidupan, semakin matang dan dewasa kita dibuatnya.

Entah ada kaitannya atau tidak, setiap kali mau menulis tentang kemuliaan-kemuliaan kepemimpinan, datanglah godaan yang menyiksa. Seakan-akan kehidupan sedang berbicara ke saya: `Spiritualitas maupun kualitas lainnya haruslah diuji melalui realitas-realitas sosial`. Tanpa ujian ter­akhir, Anda dan saya hanya menjadi mesin kata-kata yang kosong, sangat berisik, dan miskin makna.

Entah bagaimana pengalaman Anda, yang jelas dalam kasus diri saya, benar kata banyak orangtua: semakin tinggi pohon, semakin keras juga angin bertiup. Dalam tikungan karier yang penuh tanjakan, ada banyak sekali godaan yang menyiksa. Dari isu yang tidak berdasar, fakta yang diputar­balikkan, kontribusi yang tidak diperhitungkan sama sekali, sampai dengan atasan yang memimpin dengan terlalu banyak kekuasaan. Dicampur jadi satu, jadilah godaan-godaan terakhir sebagai tekanan-tekanan yang mematang- kan jiwa dan kepribadian.

Tuhan memang Maha Adil---terutama dengan menghadirkan tantangan ketika saya sudah siap menghadapinya. Namun, kalau hal-hal seperti ini hadir dulu, ketika emosi belum terjaga, stok kebijakan yang belum cukup, atau sifat kekanak-kanakan masih memimpin, godaan-godaan sema­cam ini bisa membuat dinding tubuh dan jiwa jebol seke­tika. Dan kemudian meluber serta banjir ke mana-mana. Ada orang bertanya, dari mana kematangan bisa diperoleh?

Di tengah-tengah pencarian reflektif ini, terlintas di benak saya pengandaian tentang ayunan. Kepemimpinan---kalau boleh diandaikan----sebenarnya mirip dengan ayunan. Gaya dan style hanyalah ayunan ke kanan dan ke kiri. Dan ayun­an hanya dihitung berfungsi bila bisa mengayun ke dua arah. Tidak ada yang berani mengatakan bahwa ayunan ke kiri lebih baik dibandingkan ayunan ke kanan. Demikian juga sebaliknya. Kepemimpinan di tingkat gaya juga demi­kian. Tidak ada satu pun yang bisa menjamin gaya partisi­patif lebih baik dibandingkan otokratik misalnya. Dan juga sebaliknya.

Bercermin dari sini, ada yang lebih mendasar dari sekadar gerakan ayunan ke kanan dan ke kiri, yakni kekokohan dan cengkeraman kaki ayunan. Ke mana pun ayunan mengayun, dan seberapa keras pun ia diayun, tidak ada yang berbahaya kalau kaki ayunannya mencengkeram fondasi secara sangat kokoh. Kepemimpinan juga demikian.

Kalau kepemimpinan diukur dari seberapa banyak ide kita diikuti secara penuh suka cita oleh orang lain, maka fondasi ayunan di atas sangatlah menentukan. Dan tidak ada fondasi ayunan kepemimpinan yang lebih kokoh dari sang hati. Pemimpin-pemimpin bermodalkan hati----dicatat dalam sejarah----telah memimpin selamanya. Sekali lagi, selamanya. Mahatma Gandhi, John Lennon, Mohammad Hatta, Lady Diana, Ibu Theresa hanyalah segelintir orang yang me­mimpin selamanya. Ide, nilai, karya, dan inspirasi yang dihadirkan pemimpin-pemimpin dengan hati ini, melampaui jauh umur mereka. Dan bukan tidak mungkin, akan dicatat dan dikenang selamanya.

Terinspirasi dari sinilah, kemudian saya meyakini seyakin-yakinnya, bahwa kepemimpinan dari dalam hati, teramat penting untuk dibiarkan menjadi lahan ide dengan terlalu sedikit pengunjung. Saya kerap mengunjunginya, dan Anda pun saya harapkan untuk rajin berkunjung ke sana. Dikata­kan teramat penting, karena apa pun bentuk godaan dan angin ribut yang datang, ia tidak akan bisa merobohkan ayunan (baca: kepemimpinan) yang berfondasi hati. Jabatan dan kekuasaan memang datang dan pergi, tetapi ide dan nilai inspiratif yang dihadirkannya, hidup dan memimpin selamanya.

Saya tidak mengukur kepemimpinan dari lamanya duduk di kursi kekuasaan, tetapi dari seberapa banyak orang yang pikirannya kita jernihkan, serta jiwanya dimuliakan. Sebuah buku sederhana berjudul The Little Princes pernah bertutur,

yang hakiki hanya bisa dilihat dengan hati. Dengan kata lain, lebih dari sekadar menjernihkan pikiran dan jiwa orang, sang hati juga bisa membawa kita pada tataran haki­ki. Di tataran ini, sedikit sekali hal yang gelap. Teramat sedikit sinar yang menyilaukan.

Seperti sebuah perjalanan, bukankah kebanyakan hal jadi mudah dan menyenangkan, kalau hampir semuanya Terang dan tidak menyilaukan? Boleh saja Anda atau orang lain berkeyakinan lain, namun pengalaman saya bertutur, hatilah sinar yang membuat semuanya terang tanpa menyilaukan. Sudahkah Anda berkunjung ke sana?


Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB