Di awal
tahun delapan puluhan, tatkala barang-barang Jepang baru saja berjaya di
mana-mana, Harley
Davidson sempat disebut sebagai
lambang kekalahan bangsa Amerika, Bagaimana tidak disebut lambang kekalahan,
kalau saat itu Honda dan
sepeda motor Jepang lainnya menggilas
habis-habisan pasar sepeda motor Amerika.
Dengan tuduhan enggan berubah, serta bernostalgia
selalu dengan masa lalu, maka jadilah Harley Davidson pecundang pasar. Siapa yang mengira kalau sepuluh tahun kemudian dia
bangkit dengan prestasi yang sangat mengejutkan?
Sebagaimana kita saksikan sekarang ini di banyak bagian
dunia, Harley Davidson
tidak hanya berhasil memuaskan
konsumen-sebagaimana digunakan banyak perusahaan sebagai barometer
keberhasilan. Dia bahkan digunakan sebagai lambang kebebasan. Dan jauh dari
sekadar mau membeli, tidak sedikit konsumen Harley yang
mentato badannya dengan tulisan Harley-Davidson. Sebuah prestasi yang tidak
pernah terjadi dengan merek-merek yang paling mahal
sekalipun. Coba perhatikan merek-merek mahal seperti Jaguar, Mercedes, atau
BMW, adakah dari konsumen merek-merek ini yang mentato badan mereka dengan
merek mobil yang mereka gunakan?
Tertarik dengan prestasi membanggakan ini, pelan-pelan saya
amati dari jauh apa-apa yang dilakukan produsen motor Amerika.
Akhir-akhir ini bertemu buku yang ditulis oleh mantan CEO yang mengkomandani proses turn around. Dalam
karyanya yang berjudul More Than
A Motorcycle: The Leadership Journey at Harley-Davidson, mantan CEO Rich Teerlink bersama konsultan
pengembangan organisasi
Lee Ozley, menulis
apa-apa saja yang dilakukan sehingga keluar sebagai pemenang yang membanggakan.
Seperti paham betul dengan prinsip ’technology makes it ig [ possible,
people make it happen`, raksasa
motor ini mengkonsentrasikan hampir
semua langkahnya untuk membenahi orang
lengkap dengan organisasinya. Dalam tabel yang menggambarkan kronologi
kejadian-kejadian dari 1987 Sampai dengan 1999, hampir semuanya mencakup pembenahan-pembenahan
manusia.
Coba cermati apa yang
dilakukan di sektor kepemimpinan. When the crisis goes away, leaders have to stop taking n answers to their
people instead take questions to their people.
Ini berarti, bertanya-sebagai sarana kepemimpinan-memiliki derajat efektivitas yang lebih tinggi
dibandingkan jawaban. Sebab, sebagaimana kita
alami bersama, dengan derasnya perubahan, jawaban
berganti setiap saat. Akan tetapi, pertanyaan bersifat jauh lebih kekal. Sebut
saja pertanyaan tentang efektivitas dan efisiensi organisasi, dia ditanyakan
orang sepanjang zaman. Dan jawabannya, berubah dari
satu zaman ke zaman lainnya. Demikian juga dengan pertanyaan peran dasar pemimpin dan
kepemimpinan. Dari dulu ditanyakan orang, namun sampai sekarang tidak ada jawaban
absolutnya.
Sayangnya, banyak di antara kita yang berhobi mengoleksi
dan menghapalkan jawaban. Dan muncullah obat-obat akrobatik
seperti kiat, siasat, solusi, formula dan sejenisnya dan
melupakan pertanyaannya. Jika kemudian banyak yang
terjebak, itu bisa dimaklumi. Sebab, seperti air sungai
yang mengalir dan berganti setiap detik,
potret (baca: kiat) manapun tidak akan bisa
mewakilinya secara utuh.
Lebih dari sekadar erat memegang hakikat,
pertanyaan juga lebih memanusiakan manusia. Sebab tidak
merendahkan derajat manusia serendah mesin
foto copi. Yang hanya mengikuti dan mengulang
saja kemauan atasan. Lebih-lebih bila ini semua dikaitkan dengan gelombang demokrasi yang melanda hubungan industrial, serta menigkatnya
rata-rata pendidikan karyawan.
Sebagaimana
dituturkan secara apik dalam buku di atas, di awal
pembenahan banyak sekali energi dihabiskan untuk memperbaiki kembali hubungan dengan serikat pekerja.
Rumit dan berat tentu saja, namun bermodalkan sarana kepemimpinan dalam bentuk pertanyaan, semuanya bisa dilalui secara memuaskan.
Sebagai latar belakang kepribadian dari CEO yang
mengkomandani turn around, Rich Teerlink bercerita tentang sang ibu yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. Seperti menyarikan
ajaran-ajaran sang ibu, Rich
menulis, ’she thought me that there is good in every person and
everyone is worthy of respect, find that it just takes longer to find the good
in some people’.
Luar biasa, seorang yang sempat duduk di kursi
karier yang sangat mentereng, sebagai orang nomor satu di sebuah
perusahaan terkemuka, masih menyimpan keluhuran kepribadian yang demikian
mengagumkan. Ini agak berbeda dengan banyak orang yang saya tahu. Di mana kursi
kekuasaan sering membuat orang jadi pelit senyuman, kehilangan empati akan
kebaikan, dan yang paling menonjol membuat orang
berhobi memamerkan kekuasaan di sana-sini.
Saya kira Rich Teerlink
benar, kebencian orang mudah sekali untuk dipancing keluar dari kandangnya.
Namun, untuk membuat kebaikan orang keluar dari kandang, dan memeluk kita,
sungguh diperlukan waktu yang jauh lebih lama dan panjang.
Sudah lama saya bermimpi untuk menjadi pemimpin
tanpa menggunakan kekuasaan. Banyak tantangan dan halangan tentunya. Sebagian
bahkan berujung sangat menyakitkan. Akan tetapi, cerita mengagumkan Rich Teerlink di atas membuat saya seperti battery yang baru saja di charge ulang. Kalau pendekatan
seperti ini bisa membuat Harley-Davidson lebih dari sekadar pembuat motor, bukankah sangat layak kalau kemudian kita bertanya tentang
kepemimpinan dari dalam hati?
Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo