Memimpin dengan Hati I

Jum'at, 21 Oktober 2011 00:00 WIB | 7.110 kali
Memimpin dengan Hati I Di awal tahun delapan puluhan, tatkala barang-barang Jepang baru saja berjaya di mana-mana, Harley Davidson sempat disebut sebagai lambang kekalahan bangsa Amerika, Bagaimana tidak disebut lambang kekalahan, kalau saat itu Honda dan sepeda motor Jepang lainnya menggilas habis-habisan pasar sepeda motor Amerika. Dengan tuduhan enggan berubah, serta bernostalgia selalu dengan masa lalu, maka jadilah Harley Davidson pecundang pasar. Siapa yang mengira kalau sepuluh tahun kemudian dia bangkit dengan prestasi yang sangat mengejutkan?

Sebagaimana kita saksikan sekarang ini di banyak bagian dunia, Harley Davidson tidak hanya berhasil memuaskan konsumen-sebagaimana digunakan banyak perusahaan sebagai barometer keberhasilan. Dia bahkan digunakan sebagai lambang kebebasan. Dan jauh dari sekadar mau membeli, tidak sedikit konsumen Harley yang mentato badannya dengan tulisan Harley-Davidson. Sebuah prestasi yang tidak pernah terjadi dengan merek-merek yang paling mahal sekalipun. Coba perhatikan merek-merek mahal seperti Jaguar, Mercedes, atau BMW, adakah dari konsumen merek-merek ini yang mentato badan mereka dengan merek mobil yang mereka gunakan?

Tertarik dengan prestasi membanggakan ini, pelan-pelan saya amati dari jauh apa-apa yang dilakukan produsen motor Amerika. Akhir-akhir ini bertemu buku yang ditulis oleh mantan CEO yang mengkomandani proses turn around. Dalam karyanya yang berjudul More Than A Motorcycle: The Leadership Journey at Harley-Davidson, mantan CEO Rich Teerlink bersama konsultan pengem­bangan organisasi Lee Ozley, menulis apa-apa saja yang dilakukan sehingga keluar sebagai pemenang yang mem­banggakan.

Seperti paham betul dengan prinsip ’technology makes it ig [ possible, people make it happen`, raksasa motor ini mengkonsentrasikan hampir semua langkahnya untuk membenahi orang lengkap dengan organisasinya. Dalam tabel yang menggambarkan kronologi kejadian-kejadian dari 1987 Sam­pai dengan 1999, hampir semuanya mencakup pembenahan-pembenahan manusia.

Coba cermati apa yang dilakukan di sektor kepemimpinan. When the crisis goes away, leaders have to stop taking n answers to their people instead take questions to their people.

Ini berarti, bertanya-sebagai sarana kepemimpinan-memiliki derajat efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan jawaban. Sebab, sebagaimana kita alami bersama, dengan derasnya perubahan, jawaban berganti setiap saat. Akan tetapi, pertanyaan bersifat jauh lebih kekal. Sebut saja pertanyaan tentang efektivitas dan efisiensi organisasi, dia ditanyakan orang sepanjang zaman. Dan jawabannya, berubah dari satu zaman ke zaman lainnya. Demikian juga dengan pertanyaan peran dasar pemimpin dan kepemimpinan. Dari dulu ditanyakan orang, namun sampai sekarang tidak ada jawaban absolutnya.

Sayangnya, banyak di antara kita yang berhobi mengolek­si dan menghapalkan jawaban. Dan muncullah obat-obat akrobatik seperti kiat, siasat, solusi, formula dan sejenisnya dan melupakan pertanyaannya. Jika kemudian banyak yang terjebak, itu bisa dimaklumi. Sebab, seperti air sungai yang mengalir dan berganti setiap detik, potret (baca: kiat) manapun tidak akan bisa mewakilinya secara utuh.

Lebih dari sekadar erat memegang hakikat, pertanyaan juga lebih memanusiakan manusia. Sebab tidak merendahkan derajat manusia serendah mesin foto copi. Yang hanya mengikuti dan mengulang saja kemauan atasan. Lebih-lebih bila ini semua dikaitkan dengan gelombang demokrasi yang melanda hubungan industrial, serta menigkatnya rata-rata pendidikan karyawan.                           

Sebagaimana dituturkan secara apik dalam buku di atas, di awal pembenahan banyak sekali energi dihabiskan untuk memperbaiki kembali hubungan dengan serikat pekerja. Rumit dan berat tentu saja, namun bermodalkan sarana kepemimpinan dalam bentuk pertanyaan, semuanya bisa dilalui secara memuaskan.

Sebagai latar belakang kepribadian dari CEO yang mengkomandani turn around, Rich Teerlink bercerita ten­tang sang ibu yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. Seperti menyarikan ajaran-ajaran sang ibu, Rich menulis, ’she thought me that there is good in every person and every­one is worthy of respect, find that it just takes longer to find the good in some people’.

Luar biasa, seorang yang sempat duduk di kursi karier yang sangat mentereng, sebagai orang nomor satu di sebuah perusahaan terkemuka, masih menyimpan keluhuran kepri­badian yang demikian mengagumkan. Ini agak berbeda dengan banyak orang yang saya tahu. Di mana kursi kekua­saan sering membuat orang jadi pelit senyuman, kehilangan empati akan kebaikan, dan yang paling menonjol membuat orang berhobi memamerkan kekuasaan di sana-sini.

Saya kira Rich Teerlink benar, kebencian orang mudah sekali untuk dipancing keluar dari kandangnya. Namun, untuk membuat kebaikan orang keluar dari kandang, dan memeluk kita, sungguh diperlukan waktu yang jauh lebih lama dan panjang.

Sudah lama saya bermimpi untuk menjadi pemimpin tanpa menggunakan kekuasaan. Banyak tantangan dan halangan tentunya. Sebagian bahkan berujung sangat me­nyakitkan. Akan tetapi, cerita mengagumkan Rich Teerlink di atas membuat saya seperti battery yang baru saja di charge ulang. Kalau pendekatan seperti ini bisa membuat Harley-Davidson lebih dari sekadar pembuat motor, bukankah sangat layak kalau kemudian kita bertanya ten­tang kepemimpinan dari dalam hati?



Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB