Pohon Pahit Berbuah Sangat Manis

Kamis, 06 Oktober 2011 10:43 WIB | 9.883 kali
Pohon Pahit Berbuah Sangat Manis Salah satu pojokan dalam web site saya yang kerap dikun­jungi orang adalah konsultasi. Di sini, banyak orang yang mau mengolah sampah-sampah hidup ke dalam pupuk- pupuk kehidupan yang berguna. Persoalan yang dicoba dipecahkan pun sangat beragam-sebagian bahkan sama sekali saya tidak tahu jawabannya. Dari soal neptu (ini salah satu soal yang namanya saja baru saya dengar), percaya diri, tidak bisa memfokuskan pikiran, istri nyeleweng, urusan- urusan surgawi, sampai dengan mengolah kesedihan.

Tatkala pikiran sedang tidak jernih, apa lagi dibebani banyak target dan gangguan hidup, saya menghindar untuk memberikan jawaban ke pertanyaan yang masuk. Akan tetapi, setelah mencermati demikian banyak pertanyaan yang masuk, mengendapkan kembali sekian banyak sam- pah kehidupan yang dimintakan ke saya untuk diolah, ada semacam pohon yang bisa menaungi semua ini.

Stres, percaya diri, pikiran tidak terfokus, masalah hu­bungan dengan atasan atau pasangan hidup, semua itu hanya ranting-ranting kering. Bukan pohon itu sendiri. Sebagaimana pohon aslinya, upaya mengenali wajah utuh pohon, tidak akan bisa diperoleh hanya dengan melihat rantingnya saja. Kumpulan ranting saja bukanlah pohon. Sayangnya, baik dari segi pertanyaan yang diajukan maupun tingkat kepuasan terhadap jawaban yang diberikan, banyak sekali orang yang mau memahami pohon hanya dengan melihat ranting.

Sebut saja hubungan dengan orang lain yang terganggu. Pertanyaan-pertanyaan seperti ’kenapa dia tidak mengerti saya’, atau ’seharusnya ini tidak terjadi’, adalah rangkaian ranting-ranting yang tidak menunjukkan wujud utuh sang pohon. Ada juga orang yang ’menyakiti’ dirinya sendiri. Terutama dengan sebutan-sebutan tidak beruntung, kenapa saya harus dilahirkan begini, dan seterusnya.

Digabung menjadi satu, tampillah wajah pohon yang ter­diri dari rangkaian ranting-ranting kering. Ia tidak hanya tidak utuh, tetapi juga tidak tumbuh, tidak berbuah dan tidak berbunga. Asai muasal dari timbulnya banyak penyakit sosial, demikian juga dengan penyakit kejiwaan, bersumber dari sini.

Belajar dari semua ini, saya ingin mengajak Anda ke dalam rangkaian pohon kejiwaan yang kerap menjadi pe­nyatu dari ranting, daun, batang sampai akar. Di satu kesempatan sedang ditindih persoalan berat dan besar, se­orang sahabat dekat pernah bertutur tentang pohon pahit yang berbuah sangat manis. Pohon tersebut bernama kesabaran.

Ketika pertama kali cerita ini melintas di telinga, tidak ada kedengaran sesuatu yang istimewa. Namun, begitu mencer­mati dan mencoba merangkai persoalan banyak sekali orang, terutama ke dalam rangkaian pohon yang utuh, terasa sekali kedalaman makna pohon pahit terakhir.

Kesabaran memang pahit, bahkan sangat pahit. Tetapi soal manis buahnya, tidak ada seorang pun yang meragu­kan. Ada banyak sekali orang, dengan gunungan peng­alaman yang bisa menjadi bukti dari argumen terakhir.

Dalam sebuah kesempatan menyelesaikan persoalan di Malang, saya sempat diancam dan dimaki orang. Bila ini diceritakan ke pemilik perusahaan, atau orang-orang berpengaruh lainnya, bisa jadi persoalan akan meledak. Tetapi, karena besarnya risiko yang mungkin muncul, saya biarkan diri saya menjadi pohon pahit tadi. Di banyak per­soalan keluarga juga demikian. Ada banyak sekali kesem­patan yang bisa membuat saya disebut dan terlihat hebat. Hanya saja, karena ia bisa mengganggu harmoni keluarga, saya biarkan orang menganggap saya biasa, dan bahkan sering dikira bodoh.

Tentu Anda bertanya, bagaimana kesabaran itu bisa dilatih dan diperbaiki? Izinkan saya membagi sejumlah pengalaman gagal saya ke Anda. Dalam waktu yang lama, saya meng­ikuti jalan pikiran Freud tentang emosi. Terutama dengan pengandaian sistem hidraulik. Dalam sistem terakhir, setiap tekanan emosi meningkat, ia membutuhkan penyaluran. Dan, saya telah ’keliru’ menempatkan rumah sebagai tempat penyaluran emosi semua anggota keluarga. Termasuk diri saya sendiri. Kendati didukung pengertian yang kuat dan mendalam dari anggota keluarga, penyaluran model Freud ini lebih mirip dengan menyiramkan bensin ke api. Semakin banyak disalurkan, emosi dan kesabaran bukannya menurun.

Saya berkenalan dengan pengelolaan emosi model Dalai Lama. Kesabaran-demikian pemenang nobel perdamaian ini sering bertutur-adalah sesuatu yang memerlukan latih­an terus menerus. Dalai Lama bahkan mencontohkan dirinya telah melatih kesabaran lebih dari empat puluh tahun. Lebih-lebih kalau latihan ini dilakukan dengan penuh ketulusan dan keikhlasan.

Entah bagaimana Anda akan mempraktekkan ketulusan terakhir. Namun, kecintaan saya yang sangat mendalam ter­hadap almarhum ayah, mengajari saya untuk menempatkan latihan kesabaran ini sebagai rangkaian doa buat ayah. Bila berlalu sebuah hari, di mana saya lulus ujian kesabaran, saya meyakini kalau doa saya buat ayah hari itu sampai. Demikian juga sebaliknya.

Entah dari mana datangnya kekuatan, komitmen untuk mendoakan ayah, di satu sisi menghadirkan godaan kesabaran yang tidak kecil. Sebagian bahkan sangat besar sehingga bisa membuat tidak bisa tidur beberapa malam. Di lain sisi menumbuhkan daya tahan yang demikian luar biasa.

Belum sempurna tentunya. Namun, sudah cukup bagi saya untuk menikmati buah sangat manis dari pohon pahit yang bernama kesabaran.

Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB