Salah satu pojokan dalam web site saya
yang kerap dikunjungi orang adalah konsultasi. Di sini, banyak orang yang mau
mengolah sampah-sampah hidup ke dalam pupuk- pupuk kehidupan yang berguna.
Persoalan yang dicoba dipecahkan pun sangat beragam-sebagian bahkan sama sekali
saya tidak tahu jawabannya. Dari soal neptu (ini salah satu soal yang namanya
saja baru saya dengar), percaya diri, tidak bisa memfokuskan pikiran, istri
nyeleweng, urusan- urusan surgawi, sampai dengan mengolah kesedihan.
Tatkala pikiran sedang tidak jernih, apa lagi dibebani
banyak target dan gangguan hidup, saya menghindar untuk
memberikan jawaban ke pertanyaan yang masuk. Akan tetapi, setelah mencermati
demikian banyak pertanyaan yang masuk, mengendapkan kembali sekian banyak sam-
pah kehidupan yang dimintakan ke saya untuk diolah, ada semacam pohon yang bisa
menaungi semua ini.
Stres, percaya diri, pikiran tidak terfokus, masalah hubungan
dengan atasan atau pasangan hidup, semua itu hanya ranting-ranting kering.
Bukan pohon itu sendiri. Sebagaimana pohon aslinya, upaya mengenali wajah utuh
pohon, tidak akan bisa diperoleh hanya dengan melihat rantingnya saja. Kumpulan
ranting saja bukanlah pohon.
Sayangnya, baik dari segi
pertanyaan yang diajukan maupun tingkat kepuasan terhadap jawaban yang
diberikan, banyak sekali orang yang mau memahami pohon hanya dengan melihat
ranting.
Sebut saja hubungan dengan orang lain yang
terganggu. Pertanyaan-pertanyaan seperti ’kenapa dia tidak mengerti saya’, atau
’seharusnya ini tidak terjadi’, adalah rangkaian ranting-ranting yang tidak
menunjukkan wujud utuh sang pohon. Ada juga orang yang ’menyakiti’
dirinya sendiri. Terutama dengan sebutan-sebutan tidak beruntung, kenapa saya
harus dilahirkan begini, dan seterusnya.
Digabung
menjadi satu, tampillah wajah pohon yang terdiri dari rangkaian
ranting-ranting kering. Ia tidak hanya tidak utuh, tetapi juga tidak tumbuh,
tidak berbuah dan tidak berbunga. Asai muasal dari timbulnya banyak penyakit
sosial, demikian juga dengan penyakit kejiwaan, bersumber dari sini.
Belajar dari
semua ini, saya ingin mengajak Anda ke dalam rangkaian pohon kejiwaan yang
kerap menjadi penyatu dari ranting, daun, batang sampai akar. Di satu
kesempatan sedang ditindih persoalan berat dan besar, seorang sahabat dekat
pernah bertutur tentang pohon pahit yang berbuah sangat manis. Pohon tersebut
bernama kesabaran.
Ketika
pertama kali cerita ini melintas di telinga, tidak ada
kedengaran sesuatu yang istimewa. Namun, begitu mencermati dan mencoba
merangkai persoalan banyak sekali orang, terutama ke dalam rangkaian pohon yang
utuh, terasa sekali kedalaman makna pohon pahit terakhir.
Kesabaran
memang pahit, bahkan sangat pahit. Tetapi soal manis buahnya, tidak ada seorang
pun yang meragukan. Ada banyak sekali orang, dengan gunungan pengalaman yang
bisa menjadi bukti dari argumen terakhir.
Dalam sebuah kesempatan menyelesaikan persoalan di Malang, saya sempat diancam dan dimaki orang. Bila ini diceritakan
ke pemilik perusahaan, atau orang-orang berpengaruh lainnya, bisa jadi
persoalan akan meledak. Tetapi, karena besarnya risiko yang mungkin muncul,
saya biarkan diri saya menjadi pohon pahit tadi. Di banyak persoalan keluarga
juga demikian. Ada banyak sekali kesempatan yang bisa membuat saya disebut dan
terlihat hebat. Hanya saja, karena ia bisa mengganggu harmoni keluarga, saya
biarkan orang menganggap saya biasa, dan bahkan sering dikira bodoh.
Tentu Anda bertanya, bagaimana kesabaran itu bisa dilatih
dan diperbaiki? Izinkan saya membagi sejumlah pengalaman gagal saya ke Anda.
Dalam waktu yang lama, saya mengikuti jalan pikiran Freud tentang emosi.
Terutama dengan pengandaian sistem hidraulik. Dalam sistem terakhir, setiap
tekanan emosi meningkat, ia membutuhkan penyaluran. Dan, saya telah ’keliru’
menempatkan rumah sebagai tempat penyaluran emosi semua anggota keluarga.
Termasuk diri saya sendiri.
Kendati didukung pengertian yang kuat dan mendalam dari
anggota keluarga, penyaluran model Freud ini lebih mirip
dengan menyiramkan bensin ke api. Semakin banyak disalurkan, emosi dan
kesabaran bukannya menurun.
Saya berkenalan dengan pengelolaan emosi model Dalai Lama. Kesabaran-demikian pemenang nobel perdamaian
ini sering bertutur-adalah sesuatu yang memerlukan latihan terus menerus.
Dalai Lama bahkan mencontohkan dirinya telah melatih kesabaran lebih dari empat
puluh tahun. Lebih-lebih kalau latihan ini dilakukan dengan penuh ketulusan dan
keikhlasan.
Entah bagaimana Anda akan mempraktekkan ketulusan terakhir.
Namun, kecintaan saya yang sangat mendalam terhadap almarhum ayah, mengajari saya untuk menempatkan latihan kesabaran ini
sebagai rangkaian doa buat ayah. Bila berlalu sebuah hari, di mana saya lulus
ujian kesabaran, saya meyakini kalau doa saya buat ayah hari itu sampai. Demikian
juga sebaliknya.
Entah dari
mana datangnya kekuatan, komitmen untuk mendoakan ayah, di satu sisi
menghadirkan godaan kesabaran yang tidak kecil. Sebagian bahkan sangat besar
sehingga bisa membuat tidak bisa tidur beberapa malam. Di lain sisi menumbuhkan daya tahan yang demikian luar biasa.
Belum
sempurna tentunya. Namun, sudah cukup bagi saya untuk menikmati buah sangat
manis dari pohon pahit yang bernama kesabaran.
Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo