Beberapa hari kemudian, Khalifah Umar memanggil putranya yang masih bujangan. "Anakku, andaikata aku jodohkan engkau dengan seorang gadis yang selalu bertakwa kepada Allah di kala sunyi dan ramai, apakah kamu mau?" tanya khalifah. Diceritakannya tentang kepribadian gadis jujur penjual susu yang mengagumkan itu, dan tentang semua pengalaman di malam yang terkesan itu.
"Bila Ayah memiliki pilihan begini, alangkah senang hatiku. Sekarang sangat sukar mencari gadis yang sejujur itu."
Khalifah Umar sangat senang mendengar jawaban putranya. Kemudian dia segera pergi meminang gadis-jujur penjual susu untuk putranya. Betapa terkejut ibu gadis itu melihat Khalifah Umar datang ke rumah- nya. Apa kesalahannya? Bukankah dia tidak jadi menipu dengan mencampur susu dengan air?
Setelah mengucapkan salam, khalifah berkata, "Bolehkah kami bertamu?"
"Gerangan apakah yang membawa Khalifah berkunjung ke gubuk kami yang hampir rubuh ini?" jawab si ibu.
"Maksud kedatangan kami ke sini ada- lah untuk meminang putri ibu untuk menjadi istri anak kami, Ashim."
Sang ibu tertegun mendengar kata-kata khalifah. Tidak salahkah ia mendengar bahwa anak gadisnya hendak dipinang oleh putra khalifah? Apalagi dia adalah khalifah yang dikagumi oleh rakyatnya. Mimpi pun ia belum pernah. Melihat sang ibu kebingungan, khalifah berujar lagi, "Bagaimana pendapat Ibu?"
"Baik, akan kutanyakan dahulu kepada anakku. Kiranya Khalifah berkenan menunggu sebentar."
Tak lama kemudian, sang ibu kembali dan berkata, "Tidak aku peroleh jawaban darinya, Khalifah. Namun, kulihat wajahnya berseri-seri."
"Baiklah. Rasul pernah berkata, ’Diamnya seorang gadis yang dipinang menandakan kerelaan hatinya."
Maka, berlangsunglah pernikahan antara gadis jujur itu dan putra Khalifah Umar, Ashim. Sejak itu pula kehidupan gadis jujur dan ibunya berubah, dari gubuk kecil yang miskin pindah ke rumah yang lebih layak. Sang ibu merasa sangat bersyukur kepada Allah.
Suatu hari, gadis jujur itu bertanya kepada suaminya mengapa Khalifah Umar memilihnya menjadi menantunya. "Khalifah adalah orang yang tidak membedakan manusia. Sebab, sesungguhnya manusia di atas dunia ini sama, yang membedakan hanyalah ketakwaannya," jawab Ashim.
"Namun, dari mana khalifah mengenalku? Sekalipun aku belum pernah berjumpa dengan khalifah."
Kemudian, diceritakanlah peristiwa malam itu, ketika khalifah sedang meronda. Gadis itu tidak menyangka keteguhan imannya untuk tetap jujur dalam kondisi apapun telah membawanya ke derajat kehidupan yang lebih baik. Kini ia bisa merasakan manisnya buah kejujuran.***
Disadur dari buku Mutiara-mutiara Hati, Penulis Hadi S. Khuly, Penerbit Gava Media