Alkisah, di sebuah padepokan yang asri, tampak sang Guru sedang bersantai memandangi pohon-pohon bunga anggrek yang tertata artistik, terawat, dan sedang mekar dengan indahnya.
Pada suatu hari ketika hendak berkelana, dia berpesan kepada muridnya, "Anakku, gurumu akan pergi mengunjungi kakek guru dan saudara-saudara seperguruan lainnya. Tetaplah rajin belajar dan berlatih. Dan jangan lupa untuk hati-hati merawat tanaman bunga anggrek kesayangan gurumu ini." Murid yang menerima pesan itu, dengan teliti memelihara pohon-pohon bunga anggrek tersebut. Namun, pada suatu hari, ketika sedang merapikan dan menyiram bunga-bunga anggrek, tanpa sengaja dia menyenggol rak-rak pohon tersebut. Prang! Bunyi keras mengiringi berjatuhannya pot -pot bunga anggrek yang pecah berantakan dan tanaman anggrek pun berserakan di sekitarnya. Murid itu dengan rasa panik dan ketakutan berusaha membenahi sebisanya. Tetapi apa daya, hanya sedikit yang terselamatkan. Dengan rasa was-was, dia pun menunggu gurunya pulang untuk meminta maaf dan siap menerima hukuman apapun yang akan diberikan nantinya. Setelah sang Guru pulang dan mendengar kabar itu, ia lalu memanggil para muridnya. "Guru, ampun Guru! Saya mengaku salah telah mengecewakan dan merusak bunga anggrek kesayangan Guru. Saya siap menerima hukuman..." sela si murid dengan penuh sesal. Sambil tersenyum bijak sang Guru berkata, "Muridku. Memang bunga anggrek adalah bunga kesukaan Gurumu ini, maka Guru merawatnya dengan baik sehingga berbunga dengan indah. Perlu kamu ketahui, Gurumu menanam bunga anggrek, alasan utamanya adalah untuk menikmati indahnya warna-warni bunga-bunga anggrek sekaligus untuk memperindah lingkungan di sekitar sini. Bukan demi untuk marah Guru menanam pohon anggrek ini. Walaupun menyukai bunga anggrek tapi Guru tidak terikat akan bunga-bunga itu, karenanya Guru tidak perlu marah karena anggrek. Tetapi lain kali mengerjakan apapun harus lebih hati-hati. Bunga anggrek bisa ditanam lagi, tapi ketidakhati-hatian adalah sikap yang harus selalu diwaspadai karena bisa berakibat negatif dan berdampak buruk bagi siapa pun." Netter yang Luar Biasa! Perkataan sang Guru sungguh benar, "Bukan demi untuk marah menanam tanaman anggrek". Kita pun bisa belajar dari sini. Seandainya amarah sedang menguasai kita, cobalah berhenti sejenak dan berpikir, "Bukan demi marah menjadi sahabat," "Bukan demi marah menjadi suami istri," dan "Bukan demi marah melahirkan dan mendidik anak." Dengan demikian, sikap toleransilah yang akan muncul. Kemarahan akan mencair dan damai pun akan menyertai hati kita. Ketika kita hendak bertengkar dengan sahabat, orang rumah, atau keluarga, hendaklah perlu diingat, perjumpaan yang telah terjadi, bukan demi untuk rasa marah, tapi sepatutnya untuk disyukuri. Mari kita semua belajar untuk berlapang dada sehingga kehidupan akan damai penuh sejahtera! Salam sukses luar biasa!