Jumat lalu, 25 Januari 2008, saya terbang ke Surabaya untuk memberikan seminar motivasi di Pakuwon Grup. Kala itu, saya berangkat pagi hari, pukul 10.00 WIB. Sejak pagi hari, Jakarta terus diguyur hujan. Karena itu, begitu mendarat di Surabaya dan mendengarkan siaran radio, baru saya ketahui jika itu adalah penerbangan terakhir hari itu. Sebab, semua penerbangan delay karena banjir dan jarak pandang yang terbatas di sekitaran bandara. Sungguh, itu adalah sebuah keberuntungan bagi saya bisa berangkat tanpa perlu ditunda.
Keesokan harinya, ketika hendak pulang ke Jakarta, saya mendengar berita bahwa Jakarta masih tergenang. Karena itu, jadwal keberangkatan pesawat yang harusnya pagi hari pukul 08.00 WIB, ditunda untuk waktu yang cukup lama. Setelah menunggu tanpa kepastian, akhirnya, baru pukul 11.00 WIB, atau tiga jam lebih lambat dari jadwal, saya bisa terbang menuju Cengkareng.
Pesawat akhirnya mendarat dengan selamat di Cengkareng pukul 12.30-an. Bayangan saya segera terbang ke rumah. Saya sudah ingin kembali ke rumah karena banjir kembali menggenangi rumah. Tahun lalu, banjir bahkan telah membuat kami serumah harus ngungsi. Maka, saya pun memutuskan untuk pulang segera.
Namun, karena memang akses jalan menuju bandara macet total, saya tak bisa pulang seperti biasa. Supir tak bisa datang menjemput. Karena itu, jalan satu-satunya adalah dengan menaiki kendaraan umum. Setelah menunggu beberapa saat, kebetulan ada sebuah bus Damri bandara yang berhenti. Maka, hasrat untuk segera bertemu keluarga membuat saya segera naik ke bus tersebut.
Begitu masuk ke dalam bus, aroma ketegangan dari sang supir terlihat. Barangkali dia kelelahan harus antri macet beberapa jam sebelumnya. Apalagi, jika mendengar siaran radio, ternyata Jakarta masih menyisakan banjir hari sebelumnya yang membuat akses ke bandara sangat terbatas.
Bus pun segera melaju membawa kami para penumpang. Entah apa yang ada di benak masing-masing. Yang jelas, aroma ketegangan karena melihat kemacetan di mana-mana, menyeruak di pandangan tiap orang dalam bus. Bus pun berjalan pelan. Kadang, bahkan tak berjalan sama sekali karena macet total. Rasa lapar, haus, kangen dengan keluarga, membuat suasana dalam bus makin kurang nyaman.
Namun, seiring berjalannya waktu. Karena rasa solidaritas sesama penumpang bus, karena merasa sama-sama menderita akibat kemacetan di mana-mana, pelan tapi pasti, rasa tegang itu justru bisa berubah jadi sebuah keakraban. Dari tadinya masing-masing sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, jadi berubah saling peduli. Yang punya makanan saling berbagi, yang punya cerita bisa saling bercengkerama. Sebuah penderitaan yang berbuah keakraban.
Bagi saya, inilah sebuah perjalanan yang penuh pembelajaran. Dalam hidup, apa yang kita rencanakan dengan matang, memang kadang tak berjalan sesuai yang diharapkan. Kadang, ada saja masalah yang menanti. Jika dikaji lebih jauh, sebenarnya penyebab masalah ada tiga hal:
masalah yang disebabkan oleh diri sendiri;
masalah yang ditimbulkan oleh karena tindakan orang lain
masalah yang dikarenakan oleh keadaan yang tak terduga sebelumnya.
Kali ini, yang saya alami adalah masalah karena sebuah keadaan. Dan, seperti saat menghadapi masalah-masalah lain, pembelajaran yang saya terima dari hidup yang sudah saya jalani puluhan tahun adalah dengan menerima tanpa mengeluh. Perjalanan yang seharusnya memakan waktu 2 jam, meski harus terlambat menjadi lebih dari 7 jam, jika kita bisa menerima dengan keikhlasan dan kesabaran, justru akan memperkuat dan memperkaya mental kita.
Sebagaimana dalam kehidupan, sukses dan gagal, acapkali kita hadapi. Baik dan buruk pun kadang berjalan beriringan. Namun, hanya dengan kekayaan mental, kita semua akan bisa menjadikan halangan dan tantangan itu berbuah pembelajaran. Sebagaimana penumpang dalam bus tersebut, dari sebuah ketegangan, justru berbuah kepedulian dan keakraban. Jika kita bisa menyikapi semua tantangan dan ujian seperti ini, niscaya, hidup ini akan dipenuhi kebahagiaan.
Salam sukses
Luar Biasa!!!
Andrie Wongso