Mengalah tak berarti kalah. Mundur bukan berarti tak berani
bertempur. Ungkapan tersebut barangkali sering membuat kita bimbang.
Sebab, kadang ungkapan “pengecut” segera muncul akibat kita memutuskan
mundur sejenak. Padahal, ada kalanya, mundur sebenarnya sedang
mempersiapkan langkah terbaik untuk maju ke depan. Layaknya anak panah
yang ditarik ke belakang, justru siap meluncur dengan cepat menuju
sasaran.
Untuk itu, jika menghadapi kebimbangan dalam mengambil sebuah
keputusan—apakah akan mundur atau mengalah—mungkin tulisan serta cerita
berikut bisa kita jadikan pembelajaran bersama.
Dikisahkan, ada seorang bernama Zhang yang mempunyai dua orang
putra yang punya watak berlawanan. Yang pertama adalah Zhang Da yang
cenderung tamak, dan Zhang Er yang punya sikap suka mengalah. Zhang Er
punya prinsip, yang penting bahagia dan hidup harus mengutamakan
perdamaian. Karena itu, ketika orangtuanya Zhang meninggal dunia dan
harta warisan sang ayah lebih banyak didominasi oleh kakaknya, Zhang Da,
ia mengalah. Ia hanya berkata, “Jangan sampai karena masalah harta
warisan yang sepele, merusak hubungan persaudaraan.”
Dengan kondisi tersebut, Zhang Da berkembang jadi saudagar kaya. Banyak
penduduk desa yang bekerja padanya, meski sebenarnya kurang suka dengan
sikapnya. Sedangkan adiknya hanya menjadi orang yang biasa-biasa saja.
Namun, karena perangainya yang baik, sang adik disukai oleh banyak
orang.
Suatu kali, penduduk desa ingin membangun jalan raya yang menghubungkan
desa mereka dengan kota untuk mempermudah penjualan barang-barang hasil
desa. Namun, agar jalannya tak berkelok, jalan tersebut harus melalui
ladang milik Zhang Da. Karena tamak, ia mau memberikan tanah dengan
syarat siapa pun yang lewat harus memberikan sebagian besar
pendapatannya pada Zhang Da karena dianggap sudah mengurangi hasil
ladangnya yang akan diubah jadi jalan.
Penduduk desa tak mau mengikuti syarat tersebut. Beruntung, Zhang Er
yang baik hati mau memberikan tanahnya untuk dipakai. Warisannya yang
tak seberapa, diberikan kepada penduduk desa dengan cuma-cuma. Dan,
meski agak sedikit berbelok, hal itu tetap sangat membantu penduduk desa
sehingga mereka lebih mudah menjual dagangannya. Jalan itu pun makin
ramai. Dan, karena tanah itu milik Zhang Er, ia pun mendirikan sebuah
kedai teh di sana. Lama-lama, saking ramainya jalan, kedai teh Zhang Er
pun makin ramai hingga kedainya berkembang dan ia pun akhirnya jadi
saudagar kaya. Sebaliknya, sang kakak, Zhang Da, tak ada lagi penduduk
yang mau bekerja dengannya. Akibatnya, ladangnya pun berakhir terlantar
sehingga makin lama ia menjadi miskin.
Kisah tersebut mengajarkan kepada kita bahwa dalam kehidupan
sehari-hari terdapat banyak sekali hal, yang secara sepintas terlihat
merugikan, tetapi sebenarnya akan ada hasil yang baik di belakangnya.
Memang, acap kali kita harus berkorban. Tak jarang kita harus mengalami
banyak kegagalan. Namun jika kita mampu bersabar, layaknya Zhang Er, apa
yang kita “investasikan”—meski terkesan merugi pada awalnya—bisa
menjadi “tumbuhan dengan buah lebat” yang bisa kita petik setiap hari.
Mari, hidup dengan bersahaja. Jangan sampai kita mencontoh Zhang Da
yang tamak. Meski tampak menguntungkan, jika dilakukan dengan cara-cara
yang negatif, suatu kali pasti akan datang “balasan”. Sebaliknya, mari
teladani sikap Zhang Er, yang mengalah, namun ujungnya banyak
mendatangkan berkah.
Salam sukses, luar biasa!!!
sumber : http://www.andriewongso.com/articles/details/14596/Mengalah-Bukan-Berarti-Kalah