Karena meyakini bahwa hidup penuh dengan
pesan-pesan kebijakan, ada saja kejadian yang membuat saya berefleksi. Kalau
kejadian tersebut hanya hadir sekali dua kali, mungkin
nilai pesannya biasa-biasa saja. Akan tetapi, kalau ia hadir hampir setiap
minggu, dalam kurun waktu yang lama, bisa jadi ada kekuatan
yang membuat saya harus berbagi kejernihan di sektor
yang satu ini.
Hampir setiap minggu, saya dihadang keluhan orang
yang tidak mencintai dirinya sendiri. Ada yang menyebut
badannya kurang langsing, mukanya kurang
lancip, matanya terlalu besar. Ada juga yang
mengeluhkan karier dan hidupnya yang begitu-begitu saja. Sampai dengan keluarga
yang tidak mendukung. Digabung menjadi satu, maka jadilah kehidupan
orang-orang seperti ini, mirip dengan kehidupan yang memukuli diri sendiri.
Jika benar badan
terdiri dari badan kasar dan badan halus, dengan pemberontakan terakhir,
sekilas kita memang seperti tidak melakukan apa-apa terhadap badan kasar kita.
Namun, karena pemberontakan tadi berpengaruh
langsung terhadap badan halus, yang pada ikutannya mempengaruhi juga badan
kasar, maka praktis kegiatan memukuli diri sendiri, bukan hanya dalam pengandaian
semata. Ia juga bermakna riil.
Ini juga yang bisa menjelaskan,
kenapa orang-orang yang jarang dan tidak pernah bersyukur, memiliki keceriaan
wajah yang sangat berbeda dengan mereka yang rajin bersyukur. Ini juga yang
menyebabkan, kenapa orang-orang yang memberontak terhadap dirinya sudah sampai
di neraka sebelum meninggal, sementara mereka yang penuh syukur sudah sampai di
surga sebelum kematian memanggil.
Ketika pertama kali membaca
karya fisikawan Einstein,
yang mengemukakan bahwa yang riil
hanyalah sebuah tipuan, saya sempat termenung lama tidak mengerti. Sekarang,
ketika hubungan antara badan halus dan badan kasar sebagian bisa dimengerti,
baru saya bisa memahami konsep Einstein. Badan kasar (baca:
badan riil) sangat besar dipengaruhi oleh badan halus (baca: badan yang tidak
kelihatan). Lebih dari sekadar berpengaruh terhadap badan kasar, badan halus
juga bisa membawa dan menarik kita pada serangkaian kehidupan.
Mirip dengan makanan untuk badan kasar, kalau makanannya
bersih dan bergizi, maka badan pun jadi sehat. Demikian juga dengan badan
halus, bila pemberontakan terhadap diri sendiri terus terjadi, tidak saja badan
halus jadi sakit- sakitan. Ia juga menarik dan membawa kita ke dalam
serangkaian kehidupan sebagaimana kita keluhkan.
Sudah banyak kehidupan orang dan kehidupan saya
sendiri yang menjadi saksi dan bukti dari keyakinan terakhir. Sahabat yang
membenci ayahnya beristri dua, akhirnya memiliki suami yang juga beristri dua.
Rekan yang sebenarnya gagah dan ganteng ketika muda, kemudian jadi cepat tua
dan tidak menarik, karena sejak kecil tidak pernah puas pada badannya sendiri.
Belajar dari semua ini, saya tidak pernah bosan
untuk sesering mungkin mengajak orang untuk jatuh cinta pada diri sendiri.
Izinkan saya bertutur sekelumit kehidupan saya
kepada Anda. Saya lahir sebagai bungsu
dari tiga belas bersaudara. Di masa kecil sampai
umur 27-an sempat minder berat karena bentuk hidung
dihina orang. Pernah heran dan sangat kagum dengan rekan-rekan SMP dan SMU yang
bisa berbicara di depan umum tanpa beban berarti. Ketika baru belajar berbicara
di depan umum, sering dihina orang. Sampai
sekarang pun hinaan orang masih datang.
Akan tetapi, ketika menyadari pentingnya jatuh
cinta pada diri sendiri, telah lama saya belajar memandikan badan halus
dengan
obat mujarab yang bernama rasa syukur. Setiap kali makan, baik makan
besar maupun makan kecil, selalu saya sisakan sekelumit makanan di
pinggir piring sebagai
ungkapan rasa syukur. Setiap kali mencium
pipi anak-anak kesayangan saya di rumah, hati saya berucap
syukur kepada Tuhan. Setiap malam ketika melihat
isteri sedang tidur pulas, dengan perasaan tulus kepada Tuhan saya
berucap
terima kasih karena diberikan teman hidup yang sangat mengagumkan. Apa
lagi
kalau dianugerahi rezeki-rezeki besar lainnya.
Singkat kata, ke mana mata saya memandang hanya ada syukur. Kemana
telinga mendengar hanya ada syukur. Sehingga dalam
totalitas, jadilah kehidupan saya sebagai kehidupan penuh dengan rasa
syukur.
Anda tentu bertanya tentang hasilnya. Kesehatan,
sangat dan sangat membaik sekali setelah belajar jatuh cinta pada diri sendiri.
Rezeki memang bukan urusan kita, namun ini pun bergerak naik, bahkan kadang
melampaui batas-batas yang pernah saya bayangkan. Kedekatan dengan anak dan
isteri, jauh sekali membaik. Kekaguman dari orang lain, ini juga membaik.
Coba Anda puji seseorang secara
wajar dan tulus. Bukankah wajah orang tadi terlihat lebih
simpatik dan berseri setelah dipuji? Demikian juga dengan
diri sendiri. Jatuh cinta pada diri sendiri, memuji diri di depan kaca, apa
lagi plus rasa syukur, juga membuat wajah dan kehidupan
kita lebih simpatik dan berseri.
Bagi Anda yang pernah
merasakan indahnya jatuh cinta demikian juga rasanya kehidupan yang disertai
kesediaan untuk belajar jatuh cinta pada diri sendiri. Bedanya, kalau jatuh
cinta pada orang lain mengenal permulaan dan perpisahan, jatuh cinta
pada diri sendiri akan menjadi kisah cinta sepanjang usia. Anda tertarik?
*Penulis: Gede Prama,
Penerbit: PT Elex Media Komputindo