Rezeki dari Allah itu bukan soal matematik!" Begitu kata seorang ustadz bernama Ahmad Yasin Ibrahim dalam taushiyahnya. "Jangan pernah khawatir akan rezeki dari-Nya. Allah tidak akan menyia-nyiakan hidup makhluk yang Ia ciptakan dengan tangan- Nya sendiri!" sang ustadz menambahkan.
"Tapi Ustadz, bagaimana kalau seorang hamba merasakan penghasilannya selalu kurang?" Seorang jamaah bermimik serius mencoba menyela.
"Kalau ingin rezeki lapang, selalu ada saat kita membutuhkan, jangan lupa menolong orang. Coba deh, berbagi dengan sesama! Sebab rezeki Allah bisa kita dapatkan, kita raih, kita beli dengan cara berinfak."
Ustadz Ahmad kemudian menjelaskan sebuah konsep. Ia menyatakan bahwa ‘nafkah yang selalu dicari manusia dalam bahasa Arab memiliki akar kata yang sama dengan kata ‘infak`. Nafkah berarti rezeki yang kita dapatkan, sementara infak adalah rezeki yang kita berikan kepada orang lain. Dalam Bahasa Arab, keduanya berasal dari kata nafaqa.
Hal menarik adalah saat Ustadz Ahmad menjelaskan bahwa orang Arab menyebut terowongan, terusan, selokan, dan saluran air dengan kata nafaq. Bila diperhatikan, sebuah terowongan pastilah memiliki lubang di kedua ujungnya. Kondisi yang terbaik adalah apabila kedua lubang itu lancar mengalir tanpa tersumbat! Bila ‘lubang masuk` yang dialiri air lancar, sementara ‘lubang keluar` tersumbat, maka yang akan terjadi adalah musibah banjir, penimbunan sampah serta kotoran dan banyak jentik nyamuk yang menyebabkan demam berdarah.
Begitulah gambarannya saat manusia hanya mengumpulkan nafkah namun tidak mau berinfak, maka yang akan terjadi adalah musibah dan bencana. Semakin besar lubang yang dibuat pada ‘lubang keluar,` maka akan semakin besar pula air yang masuk dan mengalir dari ‘lubang masuk.` Apalagi jika saluran itu mampu menampung air yang lebih banyak.
Siapa yang ingin diberikan harta atau nafkah yang banyak oleh Tuhan, sebaiknya ia banyak berinfak dan bersedekah di jalan Allah. Demikian Ustadz Ahmad menjelaskan.
Usai mendengarkan ceramah, seorang jamaah bernama Hadi, masih belum meyakini konsep yang telah dijelaskan ustadz. Tibalah sebuah kesempatan setelah beberapa bulan berselang setelah pengajian itu.
Hari itu sedang ‘bulan tua` bagi orang-orang gajian. Uang di tas Hadi hanya tersisa 50 ribu rupiah saja. Ia berniat uang itu akan digunakan sebagai ongkos jalan, sekaligus membelikan susu untuk anaknya seharga lebih-kurang 30 ribu rupiah. Ia tahu bahwa setelah ini ia dan keluarganya harus mengencangkan ikat pinggang dan bersabar menunggu datangnya tanggal 25, yaitu hari gajian yang dinanti-nanti.
Sesampainya Hadi di kantor, ada seorang sahabat yang mengeluhkan sebuah masalah keuangan yang sedang dihadapinya. Sahabat itu meminta bantuan Hadi. Sebagai teman, Hadi merogoh sakunya dan ia berikan selembar uang 50 ribuan yang ia punya. Aneh, tidak ada perasaan berat saat uang itu ia keluarkan. Namun setelah uang itu ia serahkan kepada teman, beberapa langkah setelah mereka berpisah, setan mengusik hatinya dengan perasaaan was¬was dan wajah mungil anaknya pun tergambar di benak dengan air mata menetes, merengek minta susu. Setan mulai merasuki hatinya, tapi Hadi masih berharap pertolongan Allah turun padanya.
Kini, saatnya Hadi perlu pembuktian konsep infak yang pernah Ustadz Ahmad Yasin ceritakan.
Allah tidak pernah mengelak dari janji yang pernah Ia ucapkan. Siapa yang mampu berinfak, Allah pasti akan membalas, menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi. Bahkan bila hidup sempit, pasti Allah akan membuat lapang hidup hamba yang mau berinfak. Allah Swt sampaikan dalam ayat, "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yangdisempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadarj apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan(QS. Ath-Thalaq [65]: 7)
Dalam hadits Qudsi, Allah memastikan eksistensi (keberadaan) sebuah hukum kausalitas. Hukum kausalitas absolut yang ia buat sendiri dalam firman-Nya:
"Allah Swt berfirman, ‘Wahai anak cucu Adam, berinfaklah, niscaya Aku pun berinfak padamu. " (Muttafaq ‘Alaihi)
Hadi melanjutkan pekerjaannya hari itu. Usai waktu istirahat, Manager HRD membuat acara rutin bulanan yang melibatkan seluruh karyawan. Salah satu agenda acara tersebut adalah pemilihan karyawan terbaik tahunan. Hadi tidak pernah menduga, namanya masuk nominasi karyawan terbaik tahun itu. Semua karyawan berharap mendapatkan gelar itu, karena iming-iming yang cukup menggiurkan yaitu uang tunai sebesar 10 juta rupiah. "Manusia berusaha, Allah punya kehendak!" Begitu kata pepatah.
Saat pemenang diumumkan, semua yang hadir tersenyum dengan jantung berdegup cepat. Begitu juga yang dialami oleh Hadi. Jantung itu hampir copot, seolah mau melompat keluar. Saat namanya, Hadi Purwanto, disebut oleh Direktur Operasional sebagai karyawan terbaik perusahaan tahun itu.
Hadi merasa senang, bahagia, dan gembira. Ia mendapatkan ucapan selamat dari seluruh rekan sejawat juga atasannya. Hal yang lebih membuat hadirin berteriak riuh rendah dan bertepuk tangan adalah saat pak direktur menyerahkan sehelai cheque kontan tertuliskan 10 juta rupiah untuknya.
Setelah ruang pertemuan agak sepi. Hadi saat itu sedang mengenakan kaos kakinya dan duduk di kursi. Sambil membungkukkan punggung untuk mengenakan kaos kaki dan sepatu, ia bergumam dalam hati, "Maha benar janji-Mu... ya Tuhanku!" Ia teringat sekelabatan akan sebuah kejadian tadi pagi ia berinfak, siangnya Allah sungguh membayar berlipat-lipat. "Segala puji bagi-Mu, ya Allah!" gumamnya dalam hati.
Rezeki mungkin terkadang sulit untuk diraih, apalagi dalam kehidupan dunia yang penuh persaingan ini. Mendapatkan pekerjaan saja sudah lumayan, maka tidak usah ngoyo untuk mencari pendapatan yang besar. Sudah mendapat bekerja saja, Alhamdulillah!
Namun, memang perasaan gundah dan khawatir masih sering bersarang di hati, dan hal itu membuat manusia was-was akan peruntungan nasib.