Kalau temen-temen pernah membaca detik.com pada tanggal 11 Mei 2009, Belasan kepala keluarga turun ke laut dangkal. Diangkatnya serpihan kayu kapal yang lapuk dan teronggok tak bertuan. Kemudian, kapal kayu itu dipreteli dari rangka utama, dikumpulkan dan dijemur sampai kering. "Untuk kayu bakar," kata Nano (37) di pantai Muara Baru, Pluit, Jakarta Utara.
Cukup lama untuk menjemur tumpukan kayu basah kapal sampai kering. Sedikitnya dua minggu untuk membuatnya siap bakar. Itupun bila matahari selalu terik. "Sabar saja. Namanya juga buat ngirit. Nggak ada duit beli gas," kilah Khotijah (26) menimpali.
Menurut sejumlah warga, sejak minyak tanah ditarik paksa dari pasar, warga miskin sekitar pintu air waduk Pluit kelimpungan. Untuk membeli gas 5 kiloan yang tidak bisa eceran, anggaran belanja sehari-hari tak mencukupi. "Kalau minyak tanah kan bisa eceran Rp 3.000 atau Rp 5.000. Sekarang nggak bisa," keluh Khotijah.
Dengan onggokan kayu lapuk itu warga terus bertahan. Mereka tinggal di rumah panggung sederhana diatas waduk dan berprofesi apa saja. Rumah itu terbuat dari dinding kayu atau seng yang sangat rentan terhadap kebakaran ataupun wabah penyakit. Padat, bau dan kumuh. "Yang penting kita tidak mengemis dan tidak nodong," ucap Nano berusaha tegar.
Beda lagi dengan temen-temen saya lainnya, untuk menyiasati kehidupan, dia memakai ilmu imajinasi sederhana, namun sangat bermanfaat bagi keluarganya. Karena keuangan harus dihemat sana-sini, dan agar keluarganya tetap lahap makan, yang dilakukan adalah membeli piring yang ada gambar ikan. Harapannya adalah, ketika makan kalau ikannya satu dan kecil maka bisa terkesan secara imajinatif seakan-akan terlihat tiga atau empat, sebab dibantu dengan gambar ikan. Mungkin bahasa kerennya adalah mendapat efek plasibo.
Sedangkan teman saya yang lain memakai ilmu pemadatan, yaitu kalau kita pada umumnya makan tiga kali sehari, maka temen saya ini, agar hemat makannya cukup dua kali yaitu pagi dan sore. Sedangkan, siangnya hanya minum air putih saja. Sebab kalau siang makan di tempat kerja biayanya menjadi mahal. Sedangkan kalau membawa bekal dari rumah, disamping sarapan pagi sudah dibagi-bagi dengan keluarganya, juga tidak memungkinkan bekal makanan dimakan di kantor.
Ada juga yang melakukan jalan kaki ke kantor, khususnya pagi hari. Disamping sehat, juga menghemat keuangan. Tentunya temen saya ini memang kantornya kisaran 7 KM. Sambil menutupi kemiskinannya, dia selalu berangkat ke kantor seolah-olah dengan alasan berolah raga, padahal aslinya tidak punya uang untuk membayar ongkos kendaraan. Sehat dapat, keren juga dapat ……..
Sahabat CyberMQ …..
Banyak cara untuk menghadapi seni hidup. Permasalahannya adalah kita siap tidak untuk selalu belajar menyiasati kehidupan agar keuangan kita yang pas-pasan ini, bisa untuk menghidupi keluarga. Memang, salah satu syarat pokoknya adalah kita berani melepas jauh-jauh yang namanya gengsi. Cara melepasnya adalah, kita harus yakin bahwa gengsi itu tidak bisa dimakan.
Berani menghadapi seni hidup produktif kawan …….. !!! Atau lebih memilih setiap detik kehidupan kita selalu merasa kekurangan yang akhirnya menyempitkan hati dan kehidupan kita !!! Bagaimana pendapat sahabat.