Tuhan Menghendaki Kita Kaya (Bag 2)

Amri Knowledge Entreprene | Jum'at, 09 Mei 2008 19:58 WIB | 3.786 kali
Tuhan Menghendaki Kita Kaya (Bag 2)

Sekitar tahun 1978, 1979, dan 1980, yaitu sewaktu masih SMP, seperti biasa kalau orang kampung sekolah, sebagian besar harus menempuh puluhan kilo meter dengan akomodasi unggulan sepeda ontel yang walaupun sadelnya sudah dipendekkan tetep saja kaki sampai pedal belum sempurna. Bahkan bisa dibilang, yang berjalan lebih terlihat sepeda daripada orangnya. Maklum waktu itu masih sangat kecil sekali, dipaksa harus dengan gembira hati mengayuh sepeda 28 km perhari dengan kontur jalan naik turun. Sebab desa kami di lereng gunung dan tanpa uang saku, kecuali kalau diperjalanan ada buah jeruk yang jatuh atau pohon tebu yang sedang panen.

Kegembiraan menjadi meluap-luap ketika pulang sekolah kondisi hujan, disamping menjadi tidak panas, sebab pulang siang hari dan kondisi perjalanan 80 % nanjak Biasanya kalau hujan kami sering pulang balapan, tidak ada hadiah apa-apa, tapi kegembiraan bisa menang, dapat menghilangkan lapar, sebab tidak pernah sekolah dengan uang saku, kalau misalnya ada sarapan pagi, makanan faforitnya adalah nasi putih dan sambal kelapa atau singkong rebus.

Diperjalanan, seperti biasa, dipedesaan zaman dahulu, para penduduk banyak yang menyediakan air dalam kendi, yang boleh diminum oleh siapa saja. Begitulah, ketulusan dan solidaritas orang-orang kampung dahulu yang belum banyak terkonstaminasi dengan mental egoisme.

Diantara kendi-kendi air yang disediakan oleh penduduk, ada satu kendi sangat istimewa yaitu kendi air milik penambal ban. Sebenarnya bukan kendi air yang istimewa, tapi setiap kami minum air kendi pemilik tambal ban itu, kami bisa istirahat sebentar dan biasanya sambil ngobrol ringan sana-sini.

Setiap kami istirahat di tempat tambal ban, selalu ditawari minum air kendi, dan diajak ngonbrol ringan masa depan ala kampung. Sering kami melihat banyak anak-anak sekolah yang ban sepedanya bocor bukan karena kena paku, tapi ban itu memang sudah terlalu lelah setiap hari berputar dengan beban kerja tinggi. Bapak penambal ban ini, selalu membantu menambalnya, walaupun banyak diantara mereka tidak membayar, bukan karena tidak mau membayar, tapi memang tidak mampu membayar. Walaupun ada juga yang membayar, tapi menunggu orang tuanya ada rizki dari panen padi, singkong atau kambingnya yang beranak.

Penambal ban ini putra putrinya 12 orang, ekonominya sangat pas-pasan, mungkin kalau dulu ada survey ekonomi, maka beliau ini dibawah garis kemiskinan yang berposisi digaris paling bawah dan akut. Namun, yang menggetarkan hati kami pada saat itu, beliau tetap saja menyediakan air kendi untuk membantu orang-orang yang kehausan diperjalanan, termasuk kami anak-anak sekolah yang setiap hari harus mengayuh sepeda minimal 24 km. Ketika banyak yang tidak mampu membayar biaya penambalan ban yang bocor, atau membayar tiga bulan berikutnya, beliau tetap saja menambal ban dengan sungguh-sungguh.

Sahabat CyberMQ

Pernah suatu ketika penambal ban ini bertanya tentang cita-cita kami, maka banyak ragam diantara kami menjawab, walaupun yang dicita-citakan juga belum paham. Seperti saya menjawab bercita-cita ingin jadi konsultan, kata konsultan pada saat itu saya juga tidak paham, hanya kata itu pernah saya dengar dari TVRI di balai desa yang jaraknya dua kilo meter dari rumah kami dan hanya bisa dilihat hari Sabtu dan Minggu.. Ketika kami balik bertanya kepada penambal ban ini, beliau bercita-cita agar keduabelas anaknya menjadi sarjana. Walaupun beliau sendiri juga mengakui, sarjana itu tidak tahu apa maksudnya. Tapi intinya beliau tidak ingin anak-anaknya hanya menjadi sarjana muda, tapi ingin sarjana tua. Sarjana muda sama dengan D-2 atau D-3, sedangkan sarjana tua itu S-1, S-2, S-3.

Alhamdulillah, sekitar 25 tahun kemudian, saya mendapat informasi bahwa kedua belas anak penambal ban ini sarjana semua, dan tidak hanya sarjana sekedar lulus kemudian menganggur dan lebih banyak gengsinya daripada ilmunya. Tapi kedua belas anaknya itu, betul-betul jadi sarjana yang sangat produktif dibidangnya masing-masing.

Tuhan, memang menghendaki kita semua kaya, tapi jangan terjebak bahwa kaya harus uang, kaya itu sangat luas. Penambal ban ini, secara ekonomi sangat miskin, bahkan diantara kami banyak yang tidak mampu membayar, ketika menambal ban. Namun beliau mempunyai tiga amalan yang sangat keren. Pertama Selalu menyediakan air minum di kendi, untuk siapapun yang kehausan; Kedua, tetap sungguh-sungguh menambal ban, walaupun belum tentu semuanya mampu membayar; Ketiga, punya cita-cita, agar anak-anaknya semua bisa jadi sarjana tua.

Berani hadapi tantangan untuk menjadi kaya, minimal kaya masalah??? Bagaimana pendapat sahabat !!!.

Masrukhul Amri: Seorang Knowledge Entrepreneur-pengusaha gagasan, bertempat tinggal di hp. 0812-2329518, Aktivitas sehari-hari sebagai Konsultan Manajemen Stratejik-Alternatif dan Director The Life University; Reengineering Mindsets - Unlocking Potential Power, TIM Daarut Tauhiid Bandung, sampai sekarang mengasuh acara MQ Enlightenment di 102.7 MQ FM. Spesialis konsultasi alternatif di beberapa perusahaan nasional dan multi nasional MBA-Main Bersama Amri di CyberMQ dan dosen tamu di beberapa perguruan tinggi di Bandung dan luar Bandung. Mottonya adalah mari sama-sama belajar menjadi yang terbaik. Website http://amri.web.id e-mail : amri{at}mq{dot}



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Gagal Yang Sukses
Selasa, 10 Desember 2013 05:17 WIB
Dunia Semakin Sempit, Hati Harus Semakin Luas
Selasa, 12 November 2013 06:04 WIB
Maafkan Aku, Ayah dan Ibu.!
Senin, 20 Mei 2013 06:13 WIB
Kesalahan Pola Hati
Kamis, 27 Mei 2010 13:41 WIB