Ketika kami menulis seminggu yang lalu dengan judul “bodohologi”, banyak komentar yang muncul, ada yang diblog dan sebagaian besar melalui sms dan email. Banyak yang setuju dan banyak juga yang tidak setuju.
Bodohologi adalah ilmu yang mempelajari tentang optimalisasi kebodohan untuk mencapai kesuksesan hidup. Maksudnya adalah, bagaimana kebodohan-kebodohan yang kita miliki, tidak boleh menghambat keberanian-keberanian kita dalam menghadapi aneka permasalahan kehidupan. Tulisan bodohologi seri dua, terinspirasi oleh beberapa teman dan jaringan bisnis yang saya jumpai selama tiga bulan terakhir
Secara garis besar, manusia dibagi menjadi empat kwadran; (1) Orang yang tahu dan dia tahu bahwa dia tahu, maka follow him; (2) Orang yang tahu tapi tidak tahu bahwa dia tahu, maka wake him up; (3) Orang yang tidak tahu dan dia tahu bahwa dia tidak tahu, maka teach him; (4) Orang yang tidak tahu dan dia tidak tahu bahwa dia tidak tahum maka ignore him
Kemudian ada yang bertanya, kalau “bodohologi” termasuk pada kwadran mana? Secara pribadi saya akan menjawab bahwa “bodohologi” termasuk pada kwadran yang pertama yaitu orang yang tahu dan dia tahu bahwa dia tahu, maka follow him.
Mengapa bodohologi termasuk pada kwadran yang pertama? Ya … sebab orang yang punya ilmu “bodohologi” bukan hanya sadar bahwa dirinya bodoh, kemudian mau bertanya. Namun, orang ini termasuk sangat pandai, sebab dia tahu tentang kobodohannya dan tidak mau terjebak dan terhambat terhadap kebodohannya. Sehingga tidak mau mengecilkan potensi dirinya untuk menjadi sukses, walaupun dengan modal sebuah kebodohan.
Jadi, orang yang punya ilmu bodohologi, seperti orang terjun payung, dirinya sadar bahwa tidak bisa hidup sendiri, maka ketika terjun, mau bersahabat dengan kawan yang namanya “payung parasut”. Ketika dirinya bersahabat dengan payung parasut, walaupun baru pertama kali terjung payung, insyaAllah masih selamat. Namun, kalau seseorang yang merasa sudah terjung payung sampai lima ribu kali, karena merasa berpengalaman, dirinya tidak mau lagi bersahabat dengan kawan yang selama ini setia menemaninya, yaitu payung parasut. Apa yang terjadi, akan hancur dan kemungkinan besar akan meninggal dunia, walaupun sudah sangat berpengalaman terjun payung.
Sahabat CyberMQ
Bukankah banyak contoh dilapangan, orang-orang yang tidak pernah belajar ilmu “bodohologi”, bisa jadi gelarnya berjejer sampai untuk membacanya saja memerlukan tahan nafas sangat lama, namun yang terjadi adalah potensi dirinya terkunci oleh gelarnya sendiri. Yaitu, maaf, banyak gelar tanpa karya nyata.
Berani hadapi tantangan untuk belajar ilmu bodohologi, karena itu ruh kecerdasan !!! Atau seumur-umur merasa pandai, tapi tanpa karya nyata yang berarti. Bagaimana pendapat sahabat.