``Jangan berbangga hati ketika bertemu dengan orang yang selalu menyanjung kita, namun bersyukurlah ketika bertemu dengan orang yang selalu mengingatkan kita bahwa masih banyak yang hams dibenahi dalam diri kita.``
Suatu hari ada seorang sahabat, pada awalnya dia mengharapkan sebuah pekerjaan. Dan Tuhan pun memudahkan dia untuk mendapatkan pekerjaan, penghasilan yang layak bahkan di atas rata-rata, kedudukan yang signifikan dan kedekatan dengan perusahaan yang memudahkan dirinya untuk membuat keputusan-keputusan publik. Suatu hal yang memang harus disyukuri olehnya.
Aku berbincang dengannya cukup lama, mendengarkan keluhannya dan merasakan kegundahannya terhadap sikap atasannya yang berhari-hari memberi beban kerja yang lebih kepadanya. Ada makian bahkan ada emosi-emosi sesaat untuk meninggalkan semuanya.
Bagaimana dengan diriku, ahh... aku tidak bisa menasihatinya, pengalaman dan usianya sangat jauh di atasku. Seperti labirin yang tidak bisa dimasuki seketika, nasihat hanya membuatnya berputar-putar dengan emosi yang ada.
Dalam diam dan posisiku mendengarkan, aku terus berdoa agar Tuhan menunjukkan jalan yang tepat bagi sahabatku ini. Kebenaran yang bisa membuka jalan pikirannya dan menum- buhkan rasa syukur yang mendalam.
Waktu terus berlalu, lewatlah seorang bapak berusia 51 tahun sedang menjajakan dagangannya di depan kami. Dagangannya masih penuh, kuah bakso pun sepertinya juga masih penuh, sedangkan hari sudah mulai sore. Sang bapak berdagang bakso keliling dengan memikul barang dagangannya. Jauh dari yang kulihat selama ini, abang bakso biasanya pake gerobak, ada es biar lebih menarik atau mungkin menu pilihannya diperbanyak, Sedangkan bapak ini hanya berbekal menu biasa, dipikul dan itu pun suara ketukannya tidak keras.
Aku pun memanggilnya, dan berusaha menggali informasi dari keanehan yang kulihat, sebenarnya sahabatku enggan membeli apalagi barang dagangan belum ada yang tergerak.
khawatir tidak enak katanya, tapi sedikit rayuan akhirnya dia pun mau ikut membeli bakso tersebut.
``Pak, boleh tanya...?`` kataku.
``Boleh nak,`` jawabnya.
``Pak kok masih pake dipikul nggak takut kalah saingan...?`` tanyaku pelan.
``Iyaa nak, bapak mah punyanya ini aja, jadi ini yang digunakan daripada beli lagi modalnya mahal.``
``Ooo... terus kayaknya baru mulai ya Pak, kok sepertinya masih belum tergerak apa tidak takut tidak ada pembeli kan hari sudah mulai malam? Maaf lo pak nanya beginian.``
Dia pun menyeka keringat di dahinya dan mengatakan ``Nggak apa-apa, nak. Alhamdulillah Tuhan sudah menyediakan ladang amal kita masing-masing begitu pula ladang hasil yang kita buat. Bapak mah hanya jalani aja, bapak tahu saingannya banyak, bahkan bapak nggak ada apa-apanya tapi bapak mah ikhtiar buat keluarga siapa tahu dari sekian rumah ada orang-orang bijak yang manggil, bakso bapak sederhana tapi nggak kalah lho nak he... he...`` tawanya membuat kami berdua tertawa.
``Kalau dah kenal dan sering beli biasanya bapak lebihin, kalau baru sekali beli bapak juga lebihin. Kata orang, nggak takut rugi kang...? Bapak sih berpikirnya ini bakso lebihbaik dilebihkan ngasihnya, jadi biar nggak mubazir... bapak takut mubazir nak... selama masih bagus pasti bapak ngasih,`` kali ini aku tidak berani tertawa setelah tahu bapak ini menyimpan hati mulia.
``Kalau nggak habis gimana pak...?`` tanyaku terharu mendengar cerita bapak. ``Dua hari ini Alhamdulillah habis nak, kalau nggak habis di rumah banyak anak-anak TPA, beberapanya ada yang tidak mampu, bapak kasih aja lewat ibu gurunya dan minta didoakan agar dagangan bapak laris esok hari.``
``Kalau hujan atau panas banget gimana pak...?`` tanyaku. Sang bapak tersenyum... ``Alhamdulillah dibuatkan jas hujan sama istri dari plastik besar terus ada topi anak bapak yang kedua.``
Sahabatku meletakkan mangkoknya dan mengusap air mata
yang jatuh sedari tadi tanpa disadari. Hari ini kami merasa kalah karena banyaknya keluhan, sedangkan Tuhan sudah memberikan banyak keuntungan yang lebih. Dan kondisi sang bapak merupakan teguran halus bagi kami untuk senantiasa bersyukur dan tabah menghadapi cobaan.
Sang bapak pun pergi meninggalkan kami, langkahnya yang tertatih menunjukkan bahwa dia sudah tua namun semangatnya menjadikan dia sebagai guru yang layak kami contoh. Raut wajahnya kepayahan tapi tetap tersenyum meski keberatan membawa dagangannya.
Pandangan kami tak henti hingga langkah bapak tidak terde- ngar lagi. Sahabatku pun menjabat tanganku dan memelukku, dia pun membisikkan sesuatu.
``Aku bersyukur bertemu denganmu dan aku bersyukur bertemu bapak tadi... doakan sahabatmu untuk semangat kembali ya.``