Ngobrol dengan hati

administrator | Jum'at, 22 Juni 2012 05:43 WIB | 8.502 kali
Ngobrol dengan hati

Seperti biasanya sore itu terasa hening di ruang kerjaku. Padahal ada 9 orang yang berada di dalamnya dengan berbagai tingkah laku. Sesekali terdengar ketukan dan tarian dari jari-jemari di atas papan ketik. Suara yang paling keras berasal dari tempat Hasan yang sore itu tampak asyik. Ia serius menyelesaikan email yang ditujukan untuk mitra bisnis yang ada di kota Riyadh. Tampak semua sedang terbius menghadap layar datar komputer yang masih mulus di depannya. Sesekali muncul komentar selingan atau guyonan yang mencairkan suasana.

Tiba-tiba dari pintu masuk terdengar suara, ``INI ADA KUE!`` Hampir semua mata tertuju pada Nashief, sang pembawa makanan yang selalu bersemangat. ``Ada berapa orang, nih?`` Nashief segera menghitung penghuni ruang kerja itu. Ia mulai menghitung satu per satu. Bahkan, ia menghitung ulang agar semuanya kebagian. Setelah tugas ia selesaikan, kemudian ia pamit untuk membawa makanan ke ruangan selanjutnya. ``Udah gue hitung, jumlah rotinya semua pas, yee!``

Hampir serentak kesembilan orang itu mengucapkan terima kasih, ``Terima kasih, Shief! Besok ke sini lagi ya!`` canda dari salah seorang.

Hasan sengaja menunda mengambil kue itu. Ia tahu karena terhitung cukup. Namun, ketika ia berdiri ingin mengambil, Hasan hanya bisa terdiam menatap dari kejauhan piring yang sudahkosong. Ia membalik, ``Loe ngambil berapa, Jun!``

Junaidi yang masih menikmati kue kedua menjawab santai, ``Dari tadi gue perhatiin nggak ada yang ngambil kue itu, ya udahgue embataja.``

``Jun, saya nggak ngambil karena puasa, dan kue itu mo saya bawa buat dua anak di rumah.``

``Lho, anak bapak, kan satu?`` Jun tak mau kalah menimpali.

``Saya bagi dua. Saya biasakan anak untuk selalu berbagi.`` Jawab Hasan sambil menghela napas. Tiba-Tiba dari arah belakang menimpali lagi dari rekan yang satu lagi. ``Loe Jun... kalo urusan makanan nomor satu, kalo urusan bayar pura- pura ngga tahu.``

Semenjak itu, peristiwa demi peristiwa menjadi perbincangan hangat di antara teman-teman seruangan, bahkan tingkahpo- lah Jun tidak hanya dibahas dalam satu lantai, bahkan lantai lainnya.

Sesekali Hasan yang duduk bersebelahan, senantiasa meng- ingatkan. Hasan justru tidak dendam, tapi ia kasihan, karena gelagat Jun menjadi sorotan. Rupanya, lambat laun Jun mera- sakan apa yang menjadi ganjalan teman-teman sekantomya. Ia kecewa dan marah.

Di satu kesempatan, Hanif datang pada Hasan. Ia menceritakan bahwa Jun datang curhat kepada Hanif. Kesedihan apa yang dialami Jun ditumpahkan pada Hanif. ``Kenapa sih Pak, kok merasa dilakukan tidak adil sama teman-teman?`` tanya Jun kepada Hanif.

``Loe bangun malam-malam, coba renungi apa yang kamu lakukan selama dua hari dua malam,`` jawab Hanif dengan bijak. Hasan pun penasaran dengan jawaban Hanif, ``kenapa harus dua hari?`` pikirnya.

Malam pertama, dilalui Hasan bersama kedua anaknya, Nanda sang kakak yang berusia 4,5 tahun dan Nindi adiknya

berusia 3 tahun. Ada sepotong apel yang sudah terbagi dua masih tersisa di meja depan televisi. Hasan yang sedari tadi menonton film bersama Nindi, menawarkan apel itu. ``Dek, apelnyakenapa nggak dihabiskan saja?``

Nindi yang masih berusia 3 tahun menjawab, ``... kalena *baca: karena  red*, apelnya buat Kakak.`` Hasan tertegun bangga. Ia melepas senyum dan kecupan sang ayah melayang pada pipi Nindi

Hari yang ditunggu sudah tiba. Hanif berharap Jun sadar apa yang sudah dilakukannya selama ini. Jun datang kepada Hanif, ternyata Jun belum menemukan jawabannya. Hasan yang berdiskusi di samping Hanif bersiap menyimak jawaban Hanif kepada Jun yang sudah menunggu sambil berdiri. jawab Hanif singkat, ``Jun, loe sama diri sendiri aja nggak bisa ngobrol, hati loe aja nggak nyambung, gimana sama orang lain?``



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Pengobatan Dengan Air Liur dan Tanah
Selasa, 27 September 2016 16:52 WIB
Kisah Mengharukan Anak Yang Membawa Hidayah
Selasa, 12 Januari 2016 11:25 WIB
Merengkuh Hidayah Menuai Ma`unah
Jum'at, 04 September 2015 14:45 WIB