Jika rasa benci atau cinta yang berlebihan tanpa sebab yang
jelas adalah salah satu penyakit yang harus diobati, itu sudah kutahu dari
dulu. Tapi kalau diobatinya adalah dengan cara dadamu diusap, kepalamu dipegang
sembari didoakan agar kebencian di hatimu terhadap seseorang bisa hilang,
seumur hidup baru kali ini ku rasakan.
Aneh memang...
Bagaimana rasa benci terhadap salah satu pelajar yang aku
mengajar di kelasnya bisa datang begitu tiba-tiba, tanpa ada sebab bahkan tanpa
aba-aba. Aku tiba-tiba tidak ingin memandang wajahnya, pusing mendengar
suaranya. Bahkan sungguh baru kutahu bahwa aku bisa benar-benar muntah tatkala
secara tidak sengaja melihat wajahnya.
Lebih anehnya lagi dia termasuk pelajar terbaik di kelasnya,
cerdas, aktif, penurut dan yang jelas dia tidak pernah bermasalah apapun
denganku. Dia pasti bertanya-tanya dan bingung ketika kemudian aku memintanya
untuk duduk di barisan belakang dan tidak tepat dihadapanku. Karena aku bahkan
tidak bisa berkonsentrasi sama sekali dalam posisi seperti ini. Dia dan juga
teman-teman sekelasnya pasti bingung ketika aku memintanya untk menuliskan saja
pertanyaan yang akan dia lontarkan agar tidak mendengar suaranya yang bisa
membuat isi perutku naik ke dada dan menyebabkan mual secara mendadak begitu
saja.
Jangan kau kira aku tak ada usaha apa-apa untuk menghilangkannya.
Berulang kali aku merenung, berperang dengan diri sendiri dan mencoba
menenangkan hati saat kebencian itu memanas-manasi. Usahaku tidak membuahkan
hasil.
Doa dan dzikir selalu kubaca setiap kali terpikir bahwa ini
merupakan salah satu ujian untukku. Namun semuanya belum cukup untuk
menghilangkan rasa itu.
Setengah mati kucoba sembunyikan kebencian ini darinya,
namun sepertinya dia mulai merasakannya juga. Dia lebih banyak diam di
sepanjang mata pelajaranku. Duduk paling belakang dan tak lagi terlihat
tersenyum seperti biasanya.
Duuh... Aku telah melukai hatinya, aku telah menyakiti
perasaannya.
Teman sekamarku yang juga seorang ustadzah mulai merasakan
ketidaknyamanan ini, kuceritakan padanya keanehan yang terjadi lengkap dengan
pembelaan bahwa rasa itu muncul tiba-tiba dan tanpa sebab apa-apa.
Dan entah apa yang ada dalam dibenaknya, hingga suatu siang
sepulang dari masjid selepas shalat Dzuhur dia memintaku berkemas dan kemudian
kami berdua bergegas pergi menemui seorang wanita berusia 60-an tahun, temanku
ini memanggilnya dengan panggilan Hubabah Umairoh.
Kami menunggu cukup lama di ruang tamu karena beliau masih
menemui tamu yang lain sebelum kami kemudian dipersilahkan menemui beliau di
ruang tengah rumahnya.
"Therapis? Dokter jiwa? Psikolog? Atau bahkan dukun?" Aku
menerka-nerka.
Namun bayangan itu hilang seketika, saat aku melihat sosoknya,
beliau adalah seorang wanita dengan
wajah keibuan, bicaranya lembut dan penuh senyuman, dihadapannya aku
merasa seolah bertemu dengan seseorang yang telah lama kukenal.
Siang itu masih dengan memakai mukena selepas sholat Dzuhur,
beliau menyambut kami dengan hangat lalu menanyakan kabar Al Habib Umar bin
Hafidz guru kami.
Kemudian dengan penuh perhatian beliau mendengarkan apa yang
dituturkan temanku mengenai diriku tentang rasa benci yang tiba-tiba kurasakan
sebagai sesuatu yang tidak wajar, mengingat aku sebelumnya tidak pernah
membenci seseorang tanpa sebab yang jelas.
Beliau lalu berdiri menghampiriku, memegang kepalaku sembari
menggumamkan doa-doa dan dzikir, tak lama kemudian beliau duduk dihadapanku,
mengusap dadaku sambil tidak berhenti berdoa. Dan beliau mengakhiri
bacaan-bacaannya dengan meminta kami semua membaca surat Al-fatihah bersama.
"Ada 2 orang yang paling banyak didengki oleh orang lain di
atas muka bumi ini" kata beliau sembari menuangkan the di cangkir kecil dan
menghidangkannya di hadapan kami.
"Orang yang berharta dan orang yang berilmu" lanjut beliau.
"Jika kamu jadi salah seorang dari mereka, pandai-pandailah
menjaga sikap saat bergaul dan berurusan dengan orang lain. Pandai-pandai-pulalah
menyimpan rasa. Karena bahkan orang yang terlihat dicintai oleh kedua orang
inipun akan menimbulkan iri dengki dari yang lainnya. Sepertinya itulah yang
terjadi padamu" katanya bijak.
Kami pulang setelah memperoleh anjuran beliau untuk membaca
beberapa dzikir saat suasana hati sedang tidak menentu.
Dan Subhanallah...
Apa yang kemudian terjadi sesampainya di asrama sungguh luar
biasa. Di pintu masuk aku berjumpa dengan pelajar yang pagi tadi perasaanku
padanya masih dipenuhi dengan kebencian. Aku pandang wajahnya dan dia menunduk
takut, kucari kebencian yang seminggu ini menyiksaku dan menyiksanya tentu
saja, namun rasa itu sungguh-sungguh tak lagi tersisa, sudah hilang entah
kemana.
Aku langsung menyalami dan memeluknya, sementara dia
kebingungan, tak mengerti apa yang terjadi.
"Maafkan aku.." kataku.
"Ada apa ustadzah?" tanyanya kebingungan.
"Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi yang pasti aku minta
maaf padamu atas semua kesalahanku yang kamu tahu ataupun tidak" jawabku lirih
sambil melepaskan pelukanku darinya.
Bersambung...
Dikutip dari buku Bidadari
Bumi `9 Kisah Wanita Salehah` Penulis Halimah Alaydrus, Penerbit Wafa
Production