Tokoh kita ini dikenal dengan nama Abu Ghayyats, seorang
sufi yang memilih tinggal di pinggiran kota, menjauh dari keramaian. Tepatnya
ia berteduh disebuah rumah sederhana yang dekat dengan pekuburan Bukhara.
Kesederhananaan Abu Ghayyats tidak menghalanginya untuk terus mengibarkan bendera
amar maruf nahi mun`kar.
Suatu ketika lewatlah serombongan anak-anak pejabat setempat
yang dipimpin oleh Nashir putra Amir. Dalam rombongan itu terdapat biduan yang
menyanyi dan berjoget. Di mata Abu Ghayyats, perilaku mereka ada satu bentuk
kemungkaran. Abu Ghayyats mengambil tongkatnya lalu mengobrak-abrik gerombolan
itu. Nashir terkena pukulan tongkat Abu Ghayyats.
Nashir mengadu kepada orang tuanya. Abu Ghayyats dipanggil
menghadap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Abu Ghayyats memenuhi
undangan, ia sama sekali tidak takut, sebab yang dilakukannya benar.
"Hai Abu Ghayyats, tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang
membangkang terhadap penguasa, dia akan diberi makan siang di penjara?" hardik
Amir.
"Tidak tahukah kamu bahwa siapa saja yang membangkang
terhadap Allah, dia akan makan malam di dalam neraka?" balas Abu Ghayyats.
"Kalau begitu, siapa yang memberi wewenang melakukan amar
maruf nahi mun`kar di sini?" tanya Amir.
"Yang menyuruhku adalah Dia adalah Yang telah mengangkatmu
ke tampuk kekuasaan ini," jawab Abu Ghayyats.
"Yang mengangkatku adalah Khalifah," kata Amir.
"Kalau begitu, yang mengangkatku adalah Tuhannya Khalifah,"
jawab Abu Ghayyats.
"Abu Ghayyats, bukankah aku hanya mengangkatmu melakukan
amar maruf nahi mun`kar di daerah Samarkand saja," kata Amir.
"Aku sudah mencopot diriku dari bertugas di sana," jawab Abu
Ghayyats.
Amir mulai kesal. Selalu saja Abu Ghayyats menyangkal dan
membalas perkataanya." Aneh kamu, engkau melakukan dakwah di tempat yang tidak
diperintahkan kepada dan menolak melakukannya di tempat kamu diperintahkan?"
kata Amir lagi.
"Sesungguhnya jika engkau yang mengangkatku, maka suatu
ketika kamu akan mencopotku akan tetapi bila Yang mengangkatku adalah Rabbku,
maka tidak akan ada seorangpun yang dapat mencopotku," tegas Abu Ghayyats.
"Baiklah, sekarang mintalah apa keperluanmu!"
"Yang aku perlukan adalah kembali lagi ke masa muda," kata
Abu Ghayyats.
"Wah, itu bukan wewenangku, mintalah yang lain" kata Amir.
"Kalau begitu, tulislah surat kepada Malaikat Malik, penjaga
neraka, agar tidak menyiksaku kelak."
"Itu juga bukan wewenangku, mintalah yang lainnya!" kata
Amir.
"Tulislah surat kepada malaikat Ridwan penjaga surga, agar
memasukkanku kelak ke dalam surga!" jawab Abu Ghayyats.
Amir menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, keperluanku hanya kepada Allah Yang merupakan
Pemilik semua keperluan dan kebutuhan, Yang tidaklah aku meminta kepada-Nya
suatu keperluan melainkan pasti Dia akan mengabulkannya," jawab Abu Ghayyats.
Sumber:
Buku Mutiara-Mutiara Hati, Penulis Hadi S. Khuly, Penerbit Gava Media