Sabtu pagi...
Berarti awal aktifitas belajar mengajar kembali dimulai. Dan Sabtu
pagi ini aku sudah berdiri di halaman Daruz Zahro di antara ibu-ibu yang juga berdiri
sepertiku menanti bis mengantar kami ke darul Faqih. Mulai hari ini aku dipercaya
untuk ikut serta mengajar Dauroh linnisa
1), yang rutin diadakan
setahun sekali oleh pengurus ma`had kami.
Darul Faqih letaknya sekitar lima kilometer dari Daruz
Zahro. Panitia menyiapakan bis antar jemput bagi peserta yang rumahnya jauh. Dan
ibu-ibu ini sudah berkumpul di halaman dari sebelum jam 06.30 pagi. Aku kagum
dengan semangat belajar mereka sekaligus bangga berada diantara mereka.
Tiba-tiba kulihat angin besar bertiup menerbangkan debu-debu
dijalanan. Aku jadi ingat jemuran bajuku di atas Suth
2) sana, jika
tidak segera kuselamatkan bukan tak mungkin bias berterbangan dan mendarat di
atas atap rumah tetangga atau tersangkut dipelepah pohon-pohon kurma. Aku segera
berlari masuk ke asrama menaiki tangga demi tangga dengan tergesa, mengangkat
baju-bajuku yang sebagaian sudah tidak lagi berada di tempatnya, kemudian
memasukkan begitu saja dalam sebuah bak cucian yang ada.
Setelah selesai, akupun bergegas turun, namun kemudian kecewa,
karena tak lagi kudapati seorangpun di halaman yang tersisa. Semua sudah
berangkat, berarti bisnya tadi sudah tiba dan lalu pergi tanpa aku terbawa
diantara mereka.
Lemas seketika aku rasanya, satu-satunya yang bisa aku
lakukan hanya menghubungi panitia, meminta dikirim mobil atau apa saja yang
bisa mengantarku kesana. Lalu aku menunggu lagi di halaman ini sampai
transportasinya tiba.
Bis besar itu kosong saat kumasuki, isinya hanya sopir,
kondektur dan aku yang duduk di tengah cukup jauh dari mereka. Aku betul-betul
sendirian tanpa ada teman yang bisa kuajak bicara, maka ketika seorang wanita
tua memberhentikan bis kami di jalan untuk ikut entah sampai dimana, akupun
mensyukurinya.
"Assalamu alaik ya Hubbah..." kataku menyapanya.
Dia sejenak menjawab salamku, kemudian memilih tempat duduk
di sebrang pintu tanpa merasa perlu mengajakku berbicara lebih panjang lagi. Maka,
akupun memilih menikmati pemandangan kota Tarim dari jendela.
Menatap Zambal dan Furait dari balik kaca bis selalu jadi
hiburan yang tak pernah aku lewatkan, letaknya di tengah kota. Bukan taman,
bukan pula kantor-kantor pemerintahan. Dua tempat tersebut adalah pemakaman. Ribuan
Waliyullah diyakini dimakamkan disini.
Diantara mereka AlFaqihil Muqoddam
3), Imam Al
Haddad
4) penyusun Ratib Haddad yang terkenal itu, Syekh Umar Mukhdor
5),
Abdullah Al Aydrus Al Akbar
6) dan para wali lainnya, yang bahkan
sekedar nama-nama merekapun sulit bagiku menghapalnya.
Pemakaman para wali bisa jadi sering aku jumpai, namun
lokasinya yang terletak di pusat kota, berdekatan dengan pusat keramaian dan
pasar adalah hal yang menarik. Melihatnya seperti melihat sebuah papan
pengumuman bertuliskan:
"Hiduplah di duniamu namun ingatlah tempat kembalimu adalah
kuburan."
Kemudian bis kami melewati pasar, aku lihat sayur-sayur
segar dijajakan, roti-roti besar khas arab, para pedagang buah yang menawarkan
dagangannya dan juga kerajinan tangan dari pengerajin berupa tembikar dari tanah
liat yang di bakar.
Pasar tradisional dimana-mana kulihat mirip-mirip saja tak
ada perbedaan mencolok disbanding pasar yang selama ini kulihat kecuali bahwa
aku tak menemukan seorangpun perempuan disana. Kota ini memiliki tradisi
perempuan memasak di rumah, dan suami atau saudara laki-laki berbelanja. Bagus juga
kurasa, menjadikan laki-laki lebih bertanggung jawab atas ekonomi keluarga. Dan
pasar disini cendrung lebih tenang di banding pasar manapun. Mungkin karena
tidak ada perempuan yang memang seringkali lebih rewel daripada laki-laki.
Aku masih merenung ketika bis kemudian tanpa kuduga mengerem
mendadak karena ada seorang anak yang tiba-tiba menyebrang jalan.
Bis itu mengerem begitu mendadak hingga tubuku condong ke
depan dan membuat kepalaku terantuk sandaran kursi dihadapanku. Hanya itu yang
terjadi padaku yang masih muda dan berat badanku ringan saja. Aku bisa menjaga
keseimbangan. Namun wanita tua yang duduk tepat dua baris dihadapanku
keadaannya benar-benar memprihatikan. Aku terkejut melihatnya, dia terpelanting
dan jatuh di tangga pintu masuk, untung saja pintunya tertutup rapat. Rupanya dia
berusaha memenggang besi pintu bis yang licin hingga membuatnya terjerembab dan
tangannya tergores besi di bagian bawah pintu sampai darahnya bercucuran.
Aku terkejut dan terperangah...
Benar-benar tidak menyangka keadaanya sebegitu parah.
Belum selesai keterkejutanku, aku dibuat lebih terkejut lagi
mendengar ucapan pertama yang mengalir dari lisannya saat menyadari darah
bercucuran dari tangannya. Dengan terlihat tanpa menahan perih, dia berkta
lirih:
"Alhamdulillah...
Terima kasih Ya Allah atas karunia dan pemberian-Mu yang tak
ada habis-habisnya"
Subhanallah... aku terkesima beberapa saat lamanya. Hingga akhirnya
ketika dia mulai bisa bangun, aku segera berusaha memapahnya dan menanyakan
keadaanya.
Dia menjawab...
"Alhamdulillah, tidak apa-apa kok nak... Allah, Tuhan kita begitu baik, dan selalu memberi
kita yang terbaik."
Aku semakin terkesima mendengar jawabannya. Betapa mulia
hati wanita tua ini, yang bahkan kala ditimpa kemalangan dia tidak hanya
bersabar tapi mampu menerima dan mensyukurinya.
Sejak kejadian pagi itu sampai malam hari aku terus
memikirkan kata-katanya sampai membuatku tidak bisa memejamkan mata. Aku begitu
malu, sungguh malu kepada Allah yang telah menganugerahkan padaku kehidupan,
sementara aku jarang sekali berterima kasih dan mensyukuri atas segenap nikmat
yang tak pernah putus-putusnya. Dan ironisnya, disaat tertimpa hal yang tidak
menyenangkan, aku seringkali segera berkeluh kesah. Padahal di atas muka bumi
ini ada hamba-hamba-Nya yang bahkan kala mereka ditimpa musibah, mereka
berterima kasih dan mampu mensyukuri segalanya, sembari meyakini bahwa yang
terjadi adalah yang terbaik untuk mereka. Dan wanita ini adalah salah satunya.
Entah kapan aku menjadi golongan mereka? Akankah seumur
hidup hanya menjadi hamba kebanyakan yang sulit dan tidak mengerti cara
berterima kasih kepada tuhannya?
Entahlah....
Dikutip dari buku Bidadari Bumi `9
Kisah Wanita Salehah` Penulis Halimah Alaydrus, Penerbit Wafa Production
1) Semacam pesantren kilat tanpa menginap untuk kaum
ibu.
2) Loteng
3) Muhammad bin Ali Ba`Alawy
4) Abdullah bin Alwi Al Haddad
5) Umar Al Muhdhor bin Abdurrahman AsSeqaf
6) Abdullah Al Aydrus bin Abu Bakar AsSakran