"Aku menangisi dosaku, ya Rasulullah. Sebab aku telah melakukan
perbuatan dosa yang sangat besar. Aku takut akan murka Allah datang kepadaku"
Abu Laitsi mengisahkan sebuah riwayat yang
bersumber dari Umar bin Al-Khaththab r. a. Bahwasanya, suatu ketika
Umar masuk ke ruangan Rasulullah Saw. seraya menangis. Melihat
Umar menangis tersedu-sedu, Rasulullah Saw. menanyakan
penyebabnya. "Apakah gerangan yang telah membuatmu menangis, Umar?" tanya
Rasulullah Saw.
Rasulullah, di depan
pintu ada seorang pemuda. Ia menangis dengan sangat pilu.
Tangisannya telah membuat hatiku ikut merasa pilu juga," jawab Umar. Rasulullah
Saw. kemudian meminta kepada Umar mempersilakan pemuda
itu untuk masuk dan menemui Rasulullah Saw.
Setelah dipersilakan
masuk, pemuda itu pun datang menemui Rasulullah Saw. Sedang
matanya masih bercucuran air mata. Sedu-sedannya masih terdengar jelas.
Tangisnya tak bisa ia hentikan. Di hadapan Rasulullah Saw. pun, pemuda itu tetap saja menangis.
"Anak muda, apakah gerangan yang membuat engkau menangis?"
tanya Rasulullah Saw.
"Aku menangisi dosaku, ya Rasulullah. Sebab aku
telah melakukan perbuatan dosa yang sangat besar. Aku takut akan murka Allah
datang kepadaku," jawab pemuda itu di sela-sela isak tangisnya.
Mendengar penuturan anak muda itu, Rasulullah Saw. kemudian bertanya: "Apakah engkau telah menyekutukan
Allah?"
Pemuda itu menggelengkan kepalanya seraya berkata:
"Tidak, ya Rasulullah."
Rasulullah Saw. bertanya
lagi: "Apakah engkau telah membunuh seseorang tanpa hak?"
Pemuda itu kembali menggelengkan kepalanya seraya
berkata, "Tidak, ya Rasulullah."
Oleh karena pertanyaan Rasulullah Saw. selalu dijawab dengan kata ‘tidak’ oleh pemuda itu, sedang
pemuda itu sendiri tidak mau mengatakan perbuatan dosa macam apa yang telah
menyebabkan ia hingga menangis sehebat itu, maka Rasulullah Saw. berkata: "Anak muda, sesungguhnya Allah akan mengampuni
dosamu, meskipun dosamu seluas langit, sepenuh bumi dan ditambah sebanyak
gunung-gunung yang ada di muka bumi ini."
"Ya Rasulullah, sesungguhnya
dosaku lebih banyak daripaada itu," kata pemuda tersebut masih dalam keadaan
menangis.
Mendengar kata-kata pemuda itu, Rasulullah menjadi
agak heran. "Apakah dosamu itu lebih besar dari bumi ini?" tanya Rasulullah
kepadanya.
Pemuda itu menganggukkan kepalanya dengan mantap.
"Dosaku jauh lebih besar lagi dari bumi ini, ya Rasulullah," ujarnya dengan
penuh keyakinan.
"Apakah dosamu itu
lebih besar dari kursi
Tuhanmu?" tanya Rasulullah Saw. lagi. Oleh karena pemuda
itu merasa bahwa perbuatan yang telah dilakukannya itu sangat besar dosanya,
maka tanpa berpikir panjang lagi, ia menganggukkan kepalanya.
"Dosaku memang sangat
besar dan lebih besar dari kursi Allah, ya Rasulullah," ujarnya.
"Apakah dosamu itu
lebih besar dari ‘Arsy Allah?" kembali Rasulullah Saw. bertanya. Pemuda itu masih tetap merasa bahwa dosanya lebih
besar lagi. Sehingga ia menjawab, "Dosaku lebih besar lagi dari ‘Arsy Allah, ya
Rasulullah."
Melihat pemuda itu
merasa yakin bahwa dosanya sangat besar dan tak terampuni, maka Rasulullah Saw. berkata: "Sesungguhnya tak ada yang dapat mengampuni dosa
yang paling besar sekalipun kecuali hanya Allah Yang Maha-agung
semata. Sebab, Dia melampaui segala yang berbatas "
Kemudian Rasulullah Saw. bertanya lagi, "Manakah yang lebih besar, apakah dosamu itu
ataukah Allah?"
Pemuda itu baru
menyadari akan sifat Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Kasih Sayang. Sebab,
maksud pertanyaan Rasulullah Saw. memang untuk mengingatkan
kepadanya, bahwa ampunan dan rahmat Allah jauh lebih besar dari dosa yang
dilakukan oleh manusia.
Tangisnya pun mereda
dan ia menjawab, "Sudah tentu Allah jauh lebih besar. Sebab Dia adalah Kabir al-‘Azhim (Yang Mahabesar lagi Maha-agung) "
Selanjutnya,
Rasulullah bertanya kepada pemuda itu tentang perbuatan dosa yang telah
dilakukannya.
"Beritahukanlah
kepadaku, perbuatan dosa macam apakah gerangan yang telah engkau lakukan itu?"
tanya Rasulullah Saw.
Berbuat Fasik
Awalnya pemuda itu merasa malu untuk mengatakannya kepada
Rasulullah Saw. Namun, karena Rasulullah Saw. mengulang pertanyaannya sampai dua kali, pemuda itu pun mulai berkisah.
"Ya Rasulullah, pekerjaanku adalah sebagai
pembongkar kuburan. Hal itu sudah kulakukan sejak tujuh tahun yang lalu.
Beberapa waktu lalu, seorang tetanggaku meninggal dunia. la adalah salah
seorang putri dari kaum Anshar. Oleh karena aku ingin memiliki kain kafannya,
maka ketika orang-orang sudah pergi dan kuburan sudah sepi, aku pun kembali dan
membongkar kuburan gadis itu. Kemudian aku mengambil kain kafannya dan segera
berlalu dari situ," ujarnya.
"Akan tetapi," lanjut pemuda tersebut, "tiba-tiba
saja setan menggodaku dan nafsu syahwat menguasai diriku. Aku berbalik dan
mendekati kuburan itu lagi. Tampaklah olehku tubuh wanita itu yang terbujur di
dalam kubur tanpa kain kafan lagi, karena sudah kuambil. Tanpa berpikir lebih
lama lagi, aku segera melampiaskan nafsu syahwatku pada jenazah wanita itu."
"Tatkala aku melakukan hal itu," imbuhnya,
"mendadak jenazah itu bangkit dan berseru kepadaku: "Celakalah engkau, Anak
muda! Tidakkah engkau malu pada kitab Allah dan pada hari Dia melakukan
pengadilan dan memberi hukuman serta mengambil hak orang yang dizalimi untuk
membalas kepada orang-orang yang telah berbuat zalim? Engkau telah meninggalkanku
dalam keadaan telanjang di tengah para jenazah. Dan kini engkau bahkan
menjadikanku dalam keadaan junub di hadapan Allah Azza wa Jalla."
Mendengar kisah pemuda itu, Rasulullah Saw. terkejut dan secara refleks melompat dan menjauhkan dirinya
dari pemuda itu.
"Engkau telah melakukan perbuatan fasik. Sungguh,
engkau akan dimasukkan ke dalam neraka. Menjauhlah dariku," ujar Rasulullah Saw. Bersambung...
Disadur dari buku
Mutiara Hikmah, Kisah Para Kekasih Allah, karya Ummi Alhan Ramadhan Mazayasyah, Penerbit Darul Hikmah