"Kami menyebutnya si yatim, sebagai bentuk kebanggan dan rasa syukur yang tak terhingga atas keberadaannya di
tengah-tengah kami."
Ada sebuah hikmah yang kami peroleh ketika belajar bersama
dengannya tentang makna kesederhanaan. Sekilas memang tampak seperti
biasa-biasa saja, namun lambat laun sosok kesederhanaan ternyata mampu mengubah
cara pandang bahkan perilaku orang-orang yang ada di sekitar.
Kami menyebutnya si yatim, seorang anak berusia 17
tahun yang disekolahkan oleh sebuah yayasan di sekolah menengah negeri di
Surabaya. Pada awalnya kami mengenalnya sebagai sosok yang biasa saja, hingga
suatu hari seorang guru
bercerita kepada para guru di ruang kerja mereka tentang seorang anak yang tidak akan
pulang sebelum mencium tangan bapak/ibu gurunya.
Pemandangan
ini menjadi kontras dengan perilaku anak muda
seusianya. Ketika ditanya tentang perilakunya tersebut, anak
yang masih polos ini menjawab, "Aku mencium tangan mereka-para guru-sebagaimana aku mencium
tangan kedua orangtuaku ketika mereka ada dan dengannya aku merasakan keberadaan mereka."
Siapa pun yang mendengar akan terharu, bahkan
beberapa guru pun kagum untuk mengenal lebih dekat sosok si
yatim. Dia tidak pernah meminta untuk dikasihani, berusaha mandiri meskipun
dengan membawa beberapa bungkus roti untuk dititipkan di kantin sekolah. Si
yatim pun tidak sungkan untuk mendatangi siapa pun yang bisa mengajarkannya
banyak hal tentang pelajaran sekolah maupun organisasi kerohanian yang dia
sukai. Dia dikenal jujur dan sopan kepada siapa pun vang berinteraksi dengannya.
Pernah suatu saat
kami mendapati si yatim berdoa khusyuk setelah Shalat Dzuhur berjamaah. Matanya
berlinang air mata dan tidak terusik oleh suara berisik para siswa yang sedang
bercanda tawa di sekelilingnya. Suatu saat salah satu dari kami iseng
menanyakan tentang apa yang didoakan olehnya. Dan dia pun menjawab, "Sekian banyak orang yang membantuku hingga bisa bersekolah, dan aku pun tidak merasa memiliki
apa-apa untuk
membalasnya kecuali mendoakan kebaikan, keselamatan,dan kesejahteraan
orang-orang yang telah berbesar hati membantuku dari sekian anak di luar
sana."
Dia telah menjadi dewasa dengan sosok
kesederhanaannya, berakhlak karimah di antara para siswa dan memberikan contoh
kepada kami bahwa kesederhanaan dapat mengubah lingkungan dengan
keteladanannya.
Sejak si yatim berada di tengah-tengah kami, banyak
siswa yang tidak malu untuk mencium tangan gurunya, banyak siswa yang menyempatkan dirinya untuk berdoa bersama setelah
Shalat Dzuhur, salam menjadi sesuatu yang menjamur di lingkungan pelajar bahkan
grup belajar sambil mengaji menjadi sesuatu yang menarik di lingkungan SMA.
Keberadaan sang yatim bukan hanya penguat bagi kami
tetapi juga mengingatkan kami bahwa sosok yang paling diteladani
oleh umat manusia di dunia ini adalah seorang yatim, dan keteladanannya mampu
mengantarkan ilmu yang haq kepada kami, dialah Rasulullah Muhammad saw. *hh*
Disadur dari buku Tuhan Tidak Tidur, Penulis: Havabe Dita Hijratullail, Jimmy Wahyudi Bharata; Penerbit: PT Elex Media Komputindo