Tukang Kebun

Selasa, 21 Februari 2012 00:00 WIB | 9.507 kali
Tukang Kebun Hidup di tengah kota dengan lalu lintasnya yang padat, membuat Pak Jay a memilih tinggal di belakang kantor. Lokasinya persis di belakang tempat ia kerja. Ada rumah petak yang cukup baginya tinggal di sana bersama istri dan kedua anaknya. Bukan perumahan elit. Orang lebih banyak menyebutnya kampung Gedong.

Minggu pagi, matahari masih tampak enggan bersinar. Sinarnya baru sebagian, ia lebih memilih bersembunyi di balik awan sambil menikmati kicau burung yang saling bersahutan.

Pak Jaya pagi itu sedang berada di luar. Tampak ia mengangkat kedua tangannya sambil menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar kemudian melepaskannya. Tak jauh dari tempat Pak Jaya berdiri, ada Pak Nana yang sedang berkebun di tempat tetangganya persis dari arah suara kicau burung tadi. Kicauan burung itu, rupanya datang dari ranting pohon milik tetangga Pak Jaya. Sengaja Pak Nana menunggu sampai Pak Jaya menyelesaikan gerakan embusan dan tarikan napasnya. Pak Nana memperhatikan sambil memotong rumput yang sudah hampir rapi.

"Assalamualaikum Pak Jaya, saya dengar Bapak punya rumah di Depok, ya?" tanya Pak Nana memberi salam.

"Waalaikumsalam! Eh, Pak Nana.... Bukan rumah saya Pak, rumah itu titipan... " jawab Pak Jaya kaget dan singkat, sambil menoleh ke arah datangnya suara.

"Titipan siapa, Pak? Wah, enak bener ya zaman sekarang ada yang nitipin rumah," jawaban itu rupanya mengundang penasaran Pak Nana.

"Titipan Allah, Jang..." jawab Pak Jaya dengan logat Sundanya yang khas. Dan Pak Nana hanya manggut-manggut tanda mengiyakan. Ia baru teringat pesan ustadz subuh tadi, dalam ceramahnya mengingatkan bahwa sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kita semua kembali.

"Kapan ujang ada waktu lagi? Saya mah, bisanya kalau hari Sabtu atau Minggu. Hari libur kantor. Kita berangkat jam 6 pagi, kalau bisa jam 11 kita sudah balik lagi ke sini, Shalat Dzuhur di sini," Pak Jaya menawarkan.

"Sabtu depan, insya Allah bisa Pak, gimana?" Pak Nana menyanggupi dan mengonfirmasi.

Singkatnya, mereka berdua berangkat ke Depok. Dengan perlengkapan seadanya Pak Nana menyelesaikan pekerjaan¬nya sesuai yang diminta dan tepat pada waktunya. Pak Jaya sudah cocok dengan hasil Pak Nana. Sudah dua kali Pak Jaya menggunakan jasa Pak Nana. Kegiatan ini dilakukan rutin untuk beberapa selang bulan berikutnya. Satu ketika Pak Jaya kembali ingin menggunakan jasa Pak Nana, namun Pak Nana berhalangan.

Mau tidak mau, Pak Jaya mencari tukang kebun yang lain. Cari punya cari, akhimya bertemulah Pak Jaya dengan Pak Maliki, juga sang tukang kebun rekomendasi dari relasi sang istri. Pak Jaya mengontaknya dan membuat janji.

Tukang kebun yang satu ini pun datang tepat waktu. Tapi dia membawa perlengkapan yang lebih banyak, tidak hanya ber¬modal arit dan parang, tapi mesin pemotong rumput. Cukup merepotkan ketika kami membawanya ke Depok menggunakan motor.

Setiba di Depok, seperti biasa ia mulai membersihkan, Pak Jaya pamit meninggalkan Pak Maliki untuk sementara waktu, karena ada beberapa pernik yang harus dicari Pak* Jaya. Belum jam 10 pagi saat Pak Jaya kembali, pekerjaan Pak Maliki tampak sudah selesai. Ia mengerjakannya lebih sigap dan cekatan. Bahkan beberapa pekerjaan yang tadinya urung diselesaikan, kini sudah rapi. Pak Maliki bekerja lebih dari yang diharapkan Pak Jaya.

Dalam perjalanan pulang, matahari masih belum meninggi. Pak Jaya masih saja tertegun dengan hasil yang dikerjakan Pak Maliki tadi pagi. Kejadian beberapa bulan ini rupanya rencana Tuhan untuk menggerakkan hati Pak Jaya. Tiba-tiba Pak Jaya terhenyak, melambatkan motor yang dikendarainya. Ia seperti mendapat teguran secara halus, halus sekali. Ia mengibarat sang tukang kebun adalah dirinya yang selama ini mengerjakan kewajiban-kewajiban-Nya di dunia sekenanya. Padahal ia tahu, satu hari nanti ia akan kembali. Padahal ia tahu, saat dipanggil nanti akan dibalas dengan apa yang sudah dikerjakan di dunia ini. Padahal ia pun tahu akan lebih bermakna jika ia dapat mempersembahkan yang terbaik. Berarti di dunia dan bermakna di akhirat nanti. 

"Astagfirullahal adziim..., Subhanallah..., Walhamdulillah, walaa illahaillalahu huwallahu akbar..." Pak Jaya pun mulai melafadzkan zikirnya dalam hati sambil mengendarai motor- nya kembali pulang bersama Pak Maliki. *jwb*


Disadur dari buku Tuhan Tidak Tidur, Penulis: Havabe Dita Hijratullail, Jimmy Wahyudi Bharata; Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Pengobatan Dengan Air Liur dan Tanah
Selasa, 27 September 2016 16:52 WIB
Kisah Mengharukan Anak Yang Membawa Hidayah
Selasa, 12 Januari 2016 11:25 WIB
Merengkuh Hidayah Menuai Ma`unah
Jum'at, 04 September 2015 14:45 WIB