Waktu itu hujan turun sangat deras, beberapa
mahasiswa berlari mencari tempat berteduh, ada yang berteduh di pohon, ada yang
lari ke ruang makan bahkan ada yang menyerbu mini market 24
jam yang terkenal di kampus kami.
Aku dan beberapa rekan bergegas menuju warung
Mpok Ijah. Warung renyah spesial anak-anak kos-kosan, murah, meriah, nggak pake
lama. Kami
asyik berbagi cerita tentang kampus, dosen, dan yang lainnya. Tiba-liba,
seorang kawan menunjuk kepada anak kecil di seberang jalan.
Sang anak berlari ke sana ke mari sambil
membawa payung, dia menghampiri satu per satu orang yang lewat tanpa memperhatikan
dirinya sendiri yang basah kuyup. Banyak pejalan kaki yang tidak menghiraukan
hingga si anak pun duduk kelelahan dan mengangkat kedua tangannya seperti
hendak berdoa.
"Wah gawat, si anak
berdoa tu bisa nggak berhenti nih hujan." Belum selesai salah satu temanku
berucap, tiba-tiba "Jebrreeesss" hujan turun semakin deras. Temanku
berdiri dan mengatakan, "Yuk... bawa tu anak ke sini daripada hujan tambah
deras."
"Ehh...
enak saja, lu aja yang bawa ntar kita-kita kebasahan lagi," celetuk salah
satu anak. Melihat mereka adu mulut, aku pun berkata, "Sudah... sudah bawa
saja ke sini mungkin dia berdoa soal yang lain, kenapa juga sich ribut
banget kalian, kasihan kan."
Seketika
itu pula tidak ada yang berbicara di antara kami, masing-masing menyimpan
prasangka kepada si anak. Hingga salah satu dari kami berdiri dan memanggil si
adik.
Mendengat
teriakan Arif, si adik berlari menuju warung Mpok Ijah. "Ada apa om?"
tanyanya sambil ketakutan, melihat wajah beberapa dari kami yang tidak
bersahabat.
Arif tersenyum dan
mengatakan, "Adik jualan apa sich?"
"Sol
sepatu om, sama kebetulan bawa payung 2 biji, seharusnya payung ini dijual om,
tapi waktu hujan adik
kasihan
jadi adik buka satu per satu untuk membantu mbak dan mas yang lewat di
depan adik/’ jawabnya sambil menunduk.
"Emang dibayar
berapa?" tanya A rif dengan nada pelan.
"Terserah aja om,
mereka mau rigasih berapa, kalau hujan begini, nggak ada sepatu yang di sol,
soalnya pada bersih, jadi adik bakal nggak laku. Jadinya payung adik aja deh
yang digunakan untuk bantu. Payung ini buatan mbok di rumah om."
Temanku
tersenyum, sambil mengelus rambut si adik, beberapa teman yang tadi berdebat
mulai tersenyum bahkan ada yang sampai menangis meski tidak terlihat.
"Bagaimana kalau
adik ngelap sepatu om dan teman-teman om sampai kinclong, terus kita be li
payung adik buat jalan ke kampus, gimana dik?"
"Alhamdulillah...
iya om, adik mau, sebentar ya om, adik ambil dulu alatnya," dia pun
berlari ke seberang jalan meniti hujan yang deras dan jalanan yang semakin
becek.
"Mpok,
soto ayam
sama jeruk hangat satu ya, buat si adik."
Spontan
kami semua melihat ke arah Arif. Temanku itu melanjutkan makannya seakan-akan
dia tidak melakukan apa- apa.
Aku pun bertanya
"Rif, beneran nih?"
"Aku
cuma ingin menghargai kerja keras si adik, ingat dia tidak mengemis dan ingat,
dia tidak berusaha ngambil untung di saat orang lain kehujanan. Biasanya
semakin dibutuhkan bisa dijual semakin mahal, tapi dia tidak, masih ada hati
tulus dari hati seorang anak."
Kami pun mengangguk dan
saling melempar senyum.
Ketika
si adik mengelap sepatu yang basah dan kotor terkena tanah becek, kami pun
menatapnya dengan perasaan yang mendalam. Ada yang bersyukur dan ada yang
bersenda gurau berusaha menghibur.
Setelah
selesai dan akan mau pulang, Arif mengeluarkan selembar uang seratus ribu
rupiah dan memberikannya kepada adik. Spontan adik terkejut dan berusaha
mencari kembaliannya, dikumpulkannya uang receh yang berada di
sakunya. Melihat perilaku adik, Arif
berjongkok, "Dik terima aja uangnya, kan adik tadi bekerja, om terima
kasih sudah dibantu, lebihnya buat mbok di rumah aja ya."
Si adik pun menangis dan memeluk arif sambil berucap, "Makasih
om."
"Maukah kita menjadi Arif berikutnya?" *hh*
Disadur dari buku Tuhan Tidak
Tidur, Penulis: Havabe Dita Hijratullail, Jimmy Wahyudi Bharata; Penerbit: PT
Elex Media Komputindo