Dzun Nun menjadi paham dan sadar, bahwa ternyata
Allah menurunkan hidangan dari langit itv bukanlah karena ibadahnya, melainkan karena rahmat Allah
atas put rinya. Buktinya, setelah putrinya itu wafat,
hidangan dari langit itu pun tak pernah turun lagi.
Dzun Nun Al-Mishri adalah salah seorang tokoh sufi dari
wilayah Ikhmim di Mesir. Nama lengkapnya idalah Abu Al-Faidh Tsauban bin
Ibrahim Al-Mishri. Di samping clikenal sebagai seorang tokoh sufi, Dzun Nun
juga merupakan salah seorang ahli kimia dan memahami tulisan-tulisan Mesir
kuno. Keahlian dalam bidang yang terakhir inilah yang kemudian membuat Dzun Nun
banyak terlibat di dalam dunia sastra.
Semasa hidupnya, Dzun Nun banyak melakukan
perjalanan ke berbagai daerah di wilayah Arab, termasuk Syiria. Kendati
ia
memiliki tingkat ilmu yang cuk ip tinggi, ia tak segan-segan mendatangi
beberapa guru untuk belajar agama. Kiprahnya di bidang penyebaran
agama, membuat Dzun Nun pernah ditangkap dan dipenjarakan di kota
Bagdad, sekitar tahun 829 M (204 H). Penyebabnya adalah ia dituduh
sebagai dalang yang telah menyebarkan bidah di dalam agama Islam. Akan tetapi, penangkapan itu tak berlangsung lama, karena
tuduhan tersebut dianggap tidak terbukti.
Di dalam sebuah riwayat disebutkan, Dzun Nun Al-Mishri memiliki seorang anak perempuan yang sangat saleh
seperti ayahnya. Ketika putrinya itu masih berusia sangat belia, Dzun Nun
pernah mengajaknya pergi berdua ke laut untuk menjala ikan.
Sesampainya di tepi laut, Dzun Nun mulai berjalan ke dalam air laut untuk
menebarkan jalanya. Sedangkan putrinya yang masih kanak-kanak itu menunggunya
di tepi pantai.
Setelah beberapa lama kemudian, Dzun Nun menarik
jalanya. Tampaklah seekor ikan yang cukup besar tertangkap di dalam jalanya.
Dzun Nun merasa sangat gembira. Ia segera bermaksud melepaskan ikan tersebut
dari jalanya dan disimpan di dalam wadah yang sudah disiapkan. Akan tetapi,
putrinya segera mengambil ikan itu dan melepaskannya kembali ke dalam air laut.
Ikan itu pun berenang menuju ke tengah lautan.
Diajak Bersabar
Melihat perbuatan putrinya itu, Dzun Nun menjadi terperangah.
"Mengapa engkau membuang ikan hasil jerih payah kita itu?"
tanya Dzun Nun kepada putrinya dengan nada heran.
"Aku menyaksikan ikan itu tengah menggerak-gerakkan
mulutnya. Sesungguhnya ia sedang berdzikir kepada Allah. Aku tidak mau memakan
makhluk yang berdzikir kepada-Nya," jawab putrinya yang masih lugu itu dengan
santai.
Dzun Nun terdiam. Ia menghela nafas seraya
bergumam, "Apa lagi yang harus kita lakukan?"
Putri Dzun Nun memegang tangan ayahnya sambil
berkata: "Bersabarlah, Ayah. Kita sebaiknya berserah diri kepada Allah.
Sesungguhnya Allah akan memberi kita rezeki berupa sesuatu yang tidak berdzikir
kepada-Nya "
Alhasil, Dzun Nun mengikuti saran putrinya. Mereka
hanya duduk di tepi pantai tanpa menjala ikan lagi. Akan tetapi duduknya mereka
saat itu bukan sekadar duduk seperti orang pada umumnya,
melainkan sambil mengolah hati mereka agar pasrah
kepada kehendak Allah.
Mereka berdua memilih melaksanakan shalat di tepi pantai
itu seraya berserah diri kepada Allah. Hingga sore hari,
tak ada sesuatu pun yang terjadi. Bahkan, sampai dengan waktu isya, tak ada
sedikit makanan pun yang dapat mereka makan.
Dalam kondisi perut yang tengah lapar itu,
tiba-tiba turunlah sebuah baki dari langit yang berisi aneka makanan yang
lezat. Bahkan, bukan hanya saat itu saja. Hidangan dari langit itu juga hadir
di hadapan mereka, ketika Dzun Nun dan putrinya sudah berada di rumah. Setiap
malam, ketika telah masuk waktu isya, Dzun Nun selalu memperoleh
hidangan dari langit yang sangat lezat.
Selama dua belas tahun, hidangan dari langit itu
menjadi menu makan malam mereka secara terus-menerus. Sampai suatu ketika,
putri Dzun Nun meninggal dunia. Malam harinya, hidangan dari langit itu pun tak
kunjung datang lagi. Melihat kejadian itu, tersadarlah Dzun Nun tentang
keistimewaan putrinya.
Selama dua belas tahun itu, ia mengira bahwa Allah
menurunkan hidangan dari langit itu adalah karena
kekhusyukan-nya dalam beribadah kepada Allah. Akan
tetapi, malam itu, Dzun Nun menjadi paham dan sadar, bahwa ternyata Allah
menurunkan hidangan dari langit itu bukanlah karena ibadahnya, melainkan karena
rahmat Allah atas putrinya. Buktinya, setelah putrinya itu wafat, hidangan dari
langit itu pun tak pernah turun lagi.
Disadur dari buku Mutiara Hikmah, Kisah Para
Kekasih Allah, karya Ummi Alhan Ramadhan Mazayasyah, Penerbit Darul Hikmah,
Bidah, menurut arti lughahnya., adalah sesuatu yang baru tanpa ada cor toh sebelumnya. Sedangkan
menurut syari’iy bidah sering diartikan seb.igai aturan baru mengenai aqidah dan ubudiah yang tidak dicontohkan
oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat. Yaitu aturan yang dibuat-buat oleh orang yang tidak
berhak. Bid’ah syar’iyah ini terlarang sebagaimana keterangan beberapa hadis sahih: "kullu bidatin dhalalah
wa
in ra’aha al-nasu hasanah" (semua bid ah itu menyesatkan,
meskipun manusia memandangnya bagas); Kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fi
al-nar"
(semua bid ah itu menyesatkan, dan semua yang menyesatkan itu tempatnya adalah di
neraka).