Nabi Zakaria a.s., sebagai seorang utusan Allah, kerap
menyampaikan ajaran-ajaran Allah kepada umatnya. Pesan-pesan yang
disampaikannya senantiasa mengajak kaumnya untuk menyembah hanya kepada Allah
Azza wa Jalla. Namun, sebelum ia menyampaikan ayat-ayat Allah Swt. yang telah
diwahyukan kepadanya, ia akan terlebih dahulu memerhatikan siapa saja yang
bakal menjadi audiennya.
Apabila di antara mereka itu tidak terdapat Nabi
Yahya a.s., ia akan membacakan ayat-ayat Allah yang berisi tentang ancaman
siksa api neraka. Namun sebaliknya, apabila di antara audiennya itu terdapat
putranya, yakni Nabi Yahya, tak sedikit pun ia menyinggung ayat-ayat yang
berisi tentang ancaman siksa neraka.
Sebab, Nabi Zakaria a.s. paham betul bagaimana
rentannya hati Nabi Yahya a.s. jika mendengar ayat-ayat Allah yang berisi
tentang siksaan Allah Swt. Nabi Yahya a.s. selalu menangis jika mendengar
ayat-ayat mengenai siksa neraka. Bahkan ia akan menyepi dan menangis sepanjang
hari, sampai akhirnya ibunya datang membujuk dan menenteramkan hatinya.
Demikianlah ciri sifat Nabi Yahya a.s., sebagai tanda rasa takutnya kepada Allah dan kuatnya keimanan yang tertanam di
dalam dirinya. Pernah, suatu ketika Nabi Zakaria a.s. akan menyampaikan ayat-ayat
Allah kepada kaumnya. Sebagaimana yang biasa ia lakukan, ia akan memerhatikan
dulu apakah di tengah orang yang hadir itu ada putranya atau tidak ada.
Setelah Nabi Zakaria a.s. memerhatikan dengan saksama tak
melihat Nabi Yahya ikut hadir di situ, mulailah ia menyampaikan
ajaran-ajaran Allah Taala yang telah diwahyukan kepadanya. Ia juga menyertakan
ayat-ayat yang berisi ancaman siksa neraka bagi mereka yang tak mau mengikuti
apa yang telah ditentukan oleh Allah. Ketika menyampaikan ayat-ayat tersebut, Nabi
Zakaria a.s. sendiri juga menangis. Itu tidak lain disebabkan
rasa takutnya yang amat sangat kepada Allah Rabbul ‘Izzati.
Di tengah isak tangisnya itulah, Nabi Zakaria a.s. berkata
kepada kaumnya:
"Malaikat Jibril telah mengabarkan kepadaku, bahwasanya di
dalam Neraka Jahanam itu terdapat sebuah gunung yang disebut Sakrana. Gunung itu berasal dari sebuah jurang yang
dinamakan Ghadhban. Sedang Ghadhban itu sendiri diciptakan dari murka Allah
Yang Maha Kasih Sayang."
"Pada jurang Ghadhban
tersebut," lanjut beliau, "terdapat beberapa sumur api. Kedalaman masing-masing
sumur itu mencapai dua ratus tahun perjalanan di bumi ini. Di dalam setiap
sumur, terdapat banyak rantai dan belenggu yang terbuat dari besi."
Bersamaan dengan itu, ternyata Nabi Yahya a.s. datang dan
sempat mendengar ayat-ayat yang berisi mengenai ancaman siksa neraka itu. Nabi
Yahya a.s. langsung melompat keluar dari majelis dan berlari pergi seraya
berteriak-teriak, "Aduh, Sakrana..., aduh
Ghadhban..." Dalam waktu yang relatif singkat,
Nabi Yahya a.s. telah menghilang dari
pandangan Nabi Zakaria a.s. dan orang- orang yang hadir dalam majelis itu.
Melihat hal itu, Nabi Zakaria segera mengakhiri ceramahnya
dan kemudian mengajak istrinya untuk pergi mencari Nabi Yahya yang telah lari
entah ke mana. Mereka bertanya kepada orang- orang yang ditemui di sepanjang
jalan, apakah mereka melihat orang yang memiliki ciri-ciri seperti putranya.
Namun, sebagian besar orang tak mengetahui ke mana Nabi Yahya pergi.
Hingga sore hari, mereka masih tak mengetahui
keberadaan Nabi Yahya. Dalam pencarian tersebut, Nabi Zakaria dan istrinya
bertemu dengan seorang penggembala yang akan pulang ke rumahnya. Setelah
bertanya kepada sang penggembala itu, Nabi Zakaria memperoleh jawaban, bahwa
orang yang dicarinya tengah berada di atas gunung.
"Aku tadi melihatnya di atas gunung sana. Ia menangis
seraya berkata tak akan makan dan minum sampai ia mengetahui apakah tempatnya
bakal di dalam surga ataukah di neraka," ujar si penggembala itu.
Segera Nabi Zakaria dan istrinya mendaki gunung yang
dimaksudkan. Setibanya di atas gunung, mereka memang melihat Nabi Yahya tengah
duduk berdzikir. Sebagai seorang ibu yang sangat khawatir dengan keadaan
putranya, istri Nabi Zakaria berjalan mendekati Nabi Yahya.
"Anakku yang telah kukandung dan kususui, kemarilah engkau,
dan ayo kita pulang bersama," bisik ibunya perlahan.
Nabi Yahya segera menunjukkan kepatuhannya kepada sang ibu.
Ia segera melangkah menuju ibunya dan mengikuti ayah dan ibunya pulang ke
rumah. Setelah tiba di rumah, Nabi Zakaria meminta putranya itu untuk mengganti
jubahnya dengan jubah
lainnya yang lebih bagus. Nabi Yahya menurutinya. Kemudian ibunya memasak gulai untuk
makanan mereka bersama.
Usai makan, Nabi Yahya langsung tertidur. Di dalam
tidurnya, tiba-tiba ia bermimpi ada suara yang memanggilnya.
"Hai Yahya, apakah engkau telah mendapatkan rumah yang
lebih baik dari rumah-Ku dan tetangga yang lebih baik dari tetangga-Ku?"
Demikian isi suara dalam mimpinya saat itu. Nabi Yahya langsung terbangun dan
menangis kembali.
Seraya masih tetap menangis, ia meminta kepada ayahnya agar
mengembalikan lagi jubah miliknya yang ia pakai semula. Kemudian ia
mengembalikan jubah barunya kepada ayahnya. Nabi Zakaria menuruti kehendak
putranya itu. Sebab, ia tahu betul bahwa semua itu dilakukan anaknya karena rasa takutnya kepada Allah.
Tatkala ibadah mereka bertambah kuat, Allah menurunkan
wahyu kepada Nabi Zakaria yang berbunyi: "Sesungguhnya
Aku telah mengharamkan neraka bagikalian semua" Ayat itu menjadi kabar
gembira bagi keluarga Nabi Zakaria, bahwa mereka telah dijamin Allah untuk
masuk ke dalam surga-Nya.
Karena kepatuhan, ketaatan dan ketakutan
mereka kepada Sang Pencipta itulah, Allah kemudian memuji keluarga Nabi Zakaria
dalam Al-Quran Surah Al-Anbiya` ayat 90 yang berbunyi: "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu
bersegera di dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, dan mereka berdoa kepada
Kami dengan rasa harap dan cemas. Dan mereka termasuk orang-orang
yang khusyuk kepada Kami" (QS Al-Anbiya`
[21]: 90)
Disadur dari buku terbitan Darul Hikmah, karya Ummi Alhan Ramadhan Mazayasyah
Mutiara Hikmah, Kisah Para Kekasih Allah