Di tanah Persia, ada sebuah
kerajaan yang sangat makmur. Wilayah kerajaan itu membentang dari barat ke
timur dan dari utara ke selatan. Kehidupan rakyatnya yang mayoritas bertani
hidup rukun dan tenteram. Sawah berkotak-kotak membujur sangat luas dengan
pengairan teknis yang teratur. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang
arif dan bijaksana. Oleh karena itu, rakyat sangat mencintai sang raja.
Pada
suatu hari, seperti biasa, sang raja dan pengawalnya sedang berjalan-jalan untuk meninjau keadaan
rakyatnya. Ketika sampai di sebuah desa, sang raja melihat ada orang yang sudah
tua sekali sedang menanam pohon buah-buahan. Dia dan pengawalnya pun berhenti. Lama sekali dia memperhatikan
apa yang dilakukan orang tua itu. Dengan tangannya yang lemah, orang tua itu
menggali tanah. Lalu, ditanamilah lubang-lubang itu.
Karena sudah tidak bisa
menyembunyikan keingintahuannya, maka sang raja pun akhirnya bertanya kepada
lelaki itu tua, "Wahai Orang tua, apa gerangan yang engkau lakukan ini?"
Terlihat lelaki tua itu
menghentikan aktivitasnya. Dia pun menengok dan ketika bertatapan dengan si penanya, lelaki
itu mengenali junjungannya.
"Hamba tengah menanami
kebunku dengan beraneka buah, Baginda. Aku berharap sepuluh atau dua puluh
tahun yang akan datang kebunku ini akan penuh dengan aneka buah-buahan."
Sang raja kembali memandang salah satu rakyatnya itu.
Dia
mencoba mengira-ngira umurnya. Lelaki itu sungguh kelihatan sudah sangat tua.
Kulitnya keriput dengan rambut yang dipenuhi uban. Lalu, untuk apa pula dia menanam buah yang mungkin baru akan berbuah
sekitar sepuluh tahun yang akan datang? pikir sang raja.
"Wahai Kakek, untuk apa engkau menanam pohon yang
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk besar dan berbuah? Aku sendiri tak yakin
engkau masih hidup kala pohon itu berbuah," kata sang raja.
Terlihat sang kakek tersenyum sesaat sebelum menjawab
pertanyaan sang raja. "Wahai Baginda, bukankah buah yang kita makan itu adalah
hasil dari tanaman yang ditanam ayah, kakek, atau bahkan buyut kita? Aku
berpikir, kalaupun aku tidak bisa makan apa-apa yang aku tanam, setidaknya anak
dan cucuku bisa menikmatinya. Oleh karena itu, aku pun tidak ragu-ragu lagi
menanamnya, karena itu bisa menjadi tabunganku di akhirat kelak."
Sang raja sungguh terpesona oleh jawaban sang kakek.
Meski dia hanya seorang rakyat biasa, tapi
kearifannya sangat memukau dirinya. Tanpa merasa ragu, sang raja memerintahkan
kepada salah seorang pengawalnya untuk memberikan sekantong uang sebagai hadiah
untuk sang kakek.
"Kakek, hari ini aku telah belajar banyak darimu, maka
terimalah uang ini sebagai hadiah dariku!" kata sang raja.
Sambil menerima hadiah itu, sang kakek tersenyum
lebar lagi, "Ternyata, tidak perlu menunggu lama.
Sebab, Allah sudah membalas kontan segala kerja kerasku hari ini!"
Saat melihat
kegembiraan sang kakek, raja dan para pengawalnya pun ikut senang. Lalu,
menambah lagi pemberian itu sehingga menjadi dua kantong uang emas. Itulah
hadiah dari keikhlasan kita. Apabila kita menanam kebajikan, maka Allah akan
membalas kebajikan kita baik di dunia itu maupun di akhirat kelak.
Disadur dari buku Taubatnya Seorang
Pelacur, Penerbit DIVA Press