Menanam Kebajikan

Rabu, 04 Januari 2012 00:00 WIB | 7.381 kali
Menanam Kebajikan Di tanah Persia, ada sebuah kerajaan yang sangat makmur. Wilayah kerajaan itu membentang dari barat ke timur dan dari utara ke selatan. Kehidupan rakyatnya yang mayoritas bertani hidup rukun dan tenteram. Sawah berkotak-kotak membujur sangat luas dengan pengairan teknis yang teratur. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Oleh karena itu, rakyat sangat mencintai sang raja. Pada suatu hari, seperti biasa, sang raja dan pe­ngawalnya sedang berjalan-jalan untuk meninjau ke­adaan rakyatnya. Ketika sampai di sebuah desa, sang raja melihat ada orang yang sudah tua sekali sedang menanam pohon buah-buahan. Dia dan pengawalnya pun berhenti. Lama sekali dia memperhatikan apa yang dilakukan orang tua itu. Dengan tangannya yang lemah, orang tua itu menggali tanah. Lalu, ditanamilah lubang-lubang itu.

Karena sudah tidak bisa menyembunyikan ke­ingintahuannya, maka sang raja pun akhirnya ber­tanya kepada lelaki itu tua, "Wahai Orang tua, apa gerangan yang engkau lakukan ini?"

Terlihat lelaki tua itu menghentikan aktivitasnya. Dia pun menengok dan ketika bertatapan dengan si penanya, lelaki itu mengenali junjungannya.

"Hamba tengah menanami kebunku dengan beraneka buah, Baginda. Aku berharap sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang kebunku ini akan penuh dengan aneka buah-buahan."

Sang raja kembali meman­dang salah satu rakyatnya itu. Dia mencoba mengira-ngira umurnya. Lelaki itu sungguh kelihatan sudah sangat tua. Kulitnya keriput dengan rambut yang dipenuhi uban. Lalu, untuk apa pula dia menanam buah yang mungkin baru akan berbuah sekitar sepuluh tahun yang akan datang? pikir sang raja.

"Wahai Kakek, untuk apa engkau menanam pohon yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk besar dan berbuah? Aku sendiri tak yakin engkau masih hidup kala pohon itu berbuah," kata sang raja.

Terlihat sang kakek tersenyum sesaat sebelum menjawab pertanyaan sang raja. "Wahai Baginda, bukankah buah yang kita makan itu adalah hasil dari tanaman yang ditanam ayah, kakek, atau bahkan buyut kita? Aku berpikir, kalaupun aku tidak bisa makan apa-apa yang aku tanam, setidaknya anak dan cucuku bisa menikmatinya. Oleh karena itu, aku pun tidak ragu-ragu lagi menanamnya, karena itu bisa menjadi tabunganku di akhirat kelak."

Sang raja sungguh terpesona oleh jawaban sang kakek. Meski dia hanya seorang rakyat biasa, tapi kearifannya sangat memukau dirinya. Tanpa merasa ragu, sang raja memerintahkan kepada salah seorang pengawalnya untuk memberikan sekantong uang sebagai hadiah untuk sang kakek.

"Kakek, hari ini aku telah belajar banyak darimu, maka terimalah uang ini sebagai hadiah dariku!" kata sang raja.

Sambil menerima hadiah itu, sang kakek ter­senyum lebar lagi, "Ternyata, tidak perlu menunggu lama. Sebab, Allah sudah membalas kontan segala kerja kerasku hari ini!"

Saat melihat kegembiraan sang kakek, raja dan para pengawalnya pun ikut senang. Lalu, menambah lagi pemberian itu sehingga menjadi dua kantong uang emas. Itulah hadiah dari keikhlasan kita. Apa­bila kita menanam kebajikan, maka Allah akan membalas kebajikan kita baik di dunia itu maupun di akhirat kelak.

 
Disadur dari buku Taubatnya Seorang Pelacur, Penerbit DIVA Press



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Pengobatan Dengan Air Liur dan Tanah
Selasa, 27 September 2016 16:52 WIB
Kisah Mengharukan Anak Yang Membawa Hidayah
Selasa, 12 Januari 2016 11:25 WIB
Merengkuh Hidayah Menuai Ma`unah
Jum'at, 04 September 2015 14:45 WIB