Angin kering bertiup di sepanjang
jazirah
Arabia. Putarannya
menerbangkan debu-debu gurun yang membuat pandangan menjadi kabur. Sudah sejak
beberapa bulan yang lalu hujan tidak turun hingga menyebabkan udara semakin
panas. Musim kemarau kali itu memang terasa
sangat panjang bila dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu.
Bagi para petani atau tukang kebun, musim kemarau yang panjang berarti
masa paceklik. Harga bahan makanan dan keperluan sehari-hari menjadi melonjak
beberapa kali lipat. Untuk itulah, salah seorang ulama yang sangat terkenal saat itu,
Ibnu Mubarak, bermaksud melaksanakan shalat istisqa.
Orang tua bijak itu mengajak masyarakat berduyun- duyun ke lapangan.
Setelah berkumpul banyak, beliau segera memimpin shalat
meminta, hujan. Tetapi, sampai hari ketiga, hujan yang didamba- dambakan itu
tak kunjung tiba.
"Aku akan memisahkan diri dari
mereka. Semoga dengan begitu hujan lekas turun!" kata Abdullah bin Mubarak.
Karena berkali-kali shalat istisqa dan hujan belum turun, maka sang imam berencana pergi ber- uzlah. Beliau menyepi dari
kehidupan ramai untuk meminta kepada Allah. Maka, dia pun pergi ke sebuah gua
yang ada di desa itu. Tak lama berselang, datanglah seorang laki-laki yang
berkulit hitam. Dengan serta merta, lelaki itu shalat dua rakaat, lalu sujud
sangat lama sekali. Dalam sujudnya terdengar suaranya lirih penuh permohonan, "Ya Allah, di sana hamba-hamba-Mu memohon dengan
tulus supaya engkau beri hujan. Tetapi, kiranya jika Engkau masih menahannya,
Ya Allah, demi kemuliaan-Mu, hamba berjanji tidak akan mengangkat kepala hamba
sebelum, Engkau menurunkan hujan kepada kami!"
Tiba-tiba, saja suasana yang tadi cerah berangsur- angsur menjadi redup.
Satu, dua, gumpalan awan mengumpul di atas desa itu. Semakin lama mendung itu
kian tebal dan turunlah gerimis-gerimis kecil.
Dan, beberapa saat kemudian,
hujan pun turun dengan lebat-nya.
Setelah hujan turun dengan
derasnya, laki-laki hitam itu pun lantas pergi. Abdullah bin Mubarak yang melihat kejadian itu sangat kagum
atas doa orang itu. dia pun mengikuti lelaki berkulit hitam itu dari belakang.
Setelah beberapa saat, dia pun tahu bahwa laki-laki itu ternyata adalah
salah seorang budak milik juragan kaya yang ada
di kota itu. Abdullah bin Mubarak pun menemui majikannya. Setelah bertemu, dia pun mengemukakan
niatnya untuk membeli salah satu dari budaknya itu.
"Wahai Fulan, aku akan membeli
salah seorang budakmu!" kata Ibnu Mubarak.
Sang majikan itu pun mengeluarkan
budak-budak yang ada padanya. Tetapi, Ibnu Mubarak tidak mendapati laki-laki
hitam tadi. "Bukan itu yang aku Maksud, apakah ada yang lain?"
"Ya Tuan, masih ada satu. Tetapi, menurutku
dia bukanlah budak yang pantas Anda beli. Dia hanyalah seorang budak hitam yang
malas!"
"Kalau tidak keberatan maukah engkau
menunjukkan kepadaku, mungkin aku tertarik padanya!" pinta Ibnu Mubarak.
Majikan itu pun mengeluarkan
budak hitam yang terakhir. Saat melihat budak hitam tersebut, Ibnu Mubarak
segera mengenalinya. "Ya, itulah yang aku maksud. Berapa harga budak itu!"
"Dulu aku membelinya seharga dua
puluh dinar. Tetapi, setelah mengetahui tabiatnya, aku pikir nilai- nya tak
semahal itu. Untuk engkau, belilah dengan harga setengahnya saja!"
"Tidak. Aku akan membelinya
seharga kamu membelinya dulu," kata Ibnu Mubarak sambil menyerahkan uang
sebanyak dua puluh dinar. Akhirnya, terjadilah jual beli di antara mereka.
Setelah transaksi itu berakhir, sang Imam membawa budak itu ke rumahnya.
Di tengah perjalanan, terjadilah
dialog antara sang Imam dan budak itu. "Wahai
Ibnu Mubarak, untuk apakah engkau membeliku?"
"Untuk membantuku!" kata Ibnu Mubarak. Dia menyamarkan kata
membantu dengan sebuah kalimat yang lirih. Yang dimaksud membantu di situ adalah supaya budak
itu mengajarinya
sebuah amalan agar doanya dikabulkan Allah.
"Sungguh, aku tak akan
membantumu!" kata budak itu. Rupanya dia mengetahui arti kata ‘membantu’ yang
dimaksud majikan barunya.
"Baiklah, siapakah namamu?"
"Ahibbah... !" setelah
menyebutkan namanya, budak itu pun diam. Sesampainya di rumah Ibnu Mubarak,
budak itu pun meminta izin untuk berwudhu dan shalat dua rakaat. Diam-diam, Abdullah bin Mubarak memperhatikannya.
Setelah selesai shalat, budak
hitam itu pun lantas berdzikir. Tetapi, di antara dzikirnya dia melantunkan
sebuah syair, "Wahai pemilik rahasia,
sungguh rahasia itu telah terlihat. Dan, aku tak mau lagi hidup setelah
itu!"
Usai berkata demikian, terlihat
budak itu lunglai. Abdullah bin Mubarak mencoba
mengerakgerakkan tubuhnya. Tetapi, dia diam saja. Ternyata, budak itu telah
meninggal dunia. "Innnalillahi wa
innalillahi raji’un."
Abdullah bin Mubarak segera memanggil semua tetangga dan saudaranya. Setelah itu,
dia segera memandikan dan mengafaninya. Usai dishalatkan, sebagai kewajiban
yang terakhir adalah mengebumikannya.
Sore telah hilang dan berganti malam, peristiwa hari itu telah membuat Abdullah bin Mubarak merenung akan rahasia si budak hitam. Tetapi, sampai saat itu, dia belum juga mengetahui makna semua itu. Sampai
pada malam harinya, dia bermimpi. Dalam mimpinya itu, dia melihat sesosok wajah bercahaya: Rasulullah. Saat itu, Rasulullah diapit oleh dua orang. Orang pertama
wajahnya sangat cerah. Lalu, di kiri beliau, dia melihat wajah budak hitam yang
tadi meninggal dunia.
"Salam untukmu, wahai Ibnu
Mubarak. Semoga Allah memberi kebaikan dan menjauhkan kemudharatan kepadamu
karena hari ini engkau telah berbuat baik kepada kekasihku," kata Rasulullah.
"Apakah yang engkau maksud adalah
orang yang di sisi kirimu itu, wahai Rasulullah!" tanya Ibnu Mubarak.
Rasulullah mengangguk.
"Benar. Dia adalah kekasihku dan
kekasih Nabi Ibrahim!"
Tak berapa lama kemudian, Ibnu Mubarak terbangun. Lama sekali dia termenung membayangkan budak yang
baru saja meninggal di rumahnya.
Kini, dia tahu bahwa budak tadi
ternyata mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di hadapan Allah dan rasul-Nya.
Dan, yang membuat dia heran
adalah budak itu mencapai derajat yang sedemikian tinggi karena suatu amal yang
sangat sederhana. Sederhana tapi luar biasa, yaitu selalu dekat dengan Allah
dan rasul- Nya.
Disadur dari buku Taubatnya Seorang Pelacur, Penerbit DIVA Press