Abdullah bin Mubarak adalah seorang ulama yang masyhur di masanya. Hampir
setiap tahun dia bisa menunaikan ibadah haji ke Makkah. Pada suatu masa,
setelah menunaikan kewajibannya berhaji, dia tertidur di Masjidil Haram. Dalam tidurnya,
dia bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit. Mereka berdiri
mengawang di hadapan Ibnu Mubarak. Kedua malaikat itu saling bercak ap- cakap.
Salah satu di antara mereka bertanya, "Berapa kiranya orang yang menunaikan
haji tahun ini?"
Malaikat satunya menjawab, "Seratus ribu orang!"
"Banyak sekali! Tetapi sayang, tidak ada seorang pun
di antara mereka yang hajinya diterima Allah! kata malaikat itu.
"Namun, di Damaskus ada seorang
tukang sol sepatu bernama Muaffag. Dia ingin menunaikan ibadah haji,
tapi karena sesuatu hal dia tidak bisa berangkat. Meski dia tidak
bisa menunaikan ibadah haji,
tapi sesungguhnya Allah telah
menerima ibadah haji Muaffag. Berkat hajinya itu, maka seluruh jamaah haji tahun ini diterima oleh Allah!
Tiba-tiba, Ibnu Mubarak terbangun. Keringat dingin
membasahi dahinya. Lama sekali dia termenung. Sebenarnya, dia ingin
mendengar lebih lanjut kabar dari langit itu, tapi sungguh sayang dia keburu terbangun.
Setelah menguasai diri, Ibnu Mubarak pun memutuskan
akan pergi ke Damaskus. Demi sebuah ilmu, dia rela menempuh perjalanan yang
sangat jauh. Berhari-hari dia menempuh perjalanan itu. Rasa penasaranlah yang mendorongnya berjalan sejauh itu. Dia hanya
membayangkan kiranya sosok yang bernama Muaffag itu pastilah orang yang
istimewa.
Sesampainya di kota Damaskus, dia mencari seseorang
yang diberitakan oleh malaikat itu. Tetapi,
Damaskus adalah sebuah kota metropolitan yang sangat
besar. Tidak mudah mencari seseorang yang hanya tahu nama dan pekerjaannya.
Tetapi, sekali lagi, demi ilmu dia akan mencarinya sampai ketemu.
Setelah menyusuri jalanan Damaskus, dan bertanya ke
sana ke mari. Dia pun menemukan seseorang yang ciri-cirinya sangat mirip dengan
orang yang didengar dari kedua malaikat itu. Dia pun bertanya kepadanya,
"Siapakah namamu?"
"Muaffag!" jawab lelaki itu ringan.
"Wahai Saudaraku, kiranya amalan apakah yang
menyebabkan engkau memperoleh derajat yang tinggi di hadapan Allah? Engkau
telah memperoleh ganjaran ibadah haji tanpa berangkat ke Makkah. Selain itu,
ribuan jamaah yang hajinya tidak diterima menjadi diterima oleh Allah karena
engkau!" tambah Ibnu Mubarak lebih lanjut.
"Sungguh, telah lama aku ingin menunaikan ibadah haji.
Lalu, aku pun bekerja dengan giat sekali. Bertahun-tahun aku mengumpulkan uang
sedikit demi sedikit. Setelah terkumpul tiga ratus dirham, aku pun berniat untuk menggunakan uang itu untuk berangkat haji
tahun ini," ujar lelaki tukang sol sepatu itu. "Pada saat yang sama, istriku
sedang hamil. Saat itu, dia sedang mengidam ingin makan makanan yang dimasak
tetanggaku. Dari uapnya pun memang serasa sangat nikmat sekali. Maka, aku pun datang ke
rumahnya untuk meminta barang sedikit. Tetapi, wanita tua tetanggaku itu
menolaknya. Dia berkata, `Makanan
itu halal untukku tapi haram bagimu!`
"Karena penasaran, aku pun bertanya lebih lan- jut
perihal maksud perkataannya itu!
"Wanita itu menjawab, `Anak-anakku itu telah yatim. Sudah beberapa hari aku tidak
masak. Karena memang sudah tidak ada makanan di rumahku. Di hari ketiga itu,
aku hanya masak kerikil untuk mengelabui anakku sampai mereka tertidur. Karena
mereka terus merengek, maka aku pun berniat keluar rumah. Barangkali ada
makanan yang bisa kami makan. Ternyata di luar, tidak jauh dari tempat tinggalku, ada bangkai
keledai. Maka, aku pun membawa keledai yang telah mati itu ke rumah dan segera aku potong dan aku masak. Bagiku,
keledai itu halal karena terpaksa, haram untukmu.`
Tukang sol sepatu itu melanjutkan ceritanya. "Mendengar
perkataan wanita itu, maka aku segera pulang dan mengambil uang yang ada padaku untuk
aku berikan kepada wanita itu. Dalam hati aku berkata, `Demi Allah, keadaan wanita itu lebih darurat ketimbang
ibadahku. Demi Allah, aku telah menunaikan ibadah haji itu di dekat rumahku
saja. Aku tidak perlu pergi ke mana-mana!``
Mendengar perkataan lelaki tukang sol sepatu itu, Ibnu
Mubarak manggut-manggut. Kini, dia tahu mengapa lelaki itu begitu istimewa bagi
penduduk
langit sehingga menjadi sebab diterimanya semua yang menunaikan ibadah haji.
Tak lain dan tak bukan karena dia lebih peduli saudaranya daripada dirinya
sendiri.
Disadur dari buku Taubatnya Seorang Pelacur, Penerbit DIVA Press