Walaupun seorang nabi, Rasulullah adalah manusia biasa yang
bisa sakit. Begitu juga hari-hari terakhir hidupnya. Dia sakit parah. Semua
sahabatnya bergantian menjenguk beliau. Sebelum benar-benar wafat, beliau
bersabda, "Wahai kaum muslimin! Sesungguhnya, aku tiada lain hanyalah
seorang hamba yang diberi tugas untuk memberi nasihat
kepada kalian, yaitu untuk menyeru kepada agama yang diridhai Allah," demikian kata Rasulullah.
Sementara itu, semua sahabat tampak mendengarkan dengan
khidmat. "Anggap aku seperti ayah atau saudara kalian. Meski begitu, aku
hanyalah manusia biasa yang tidak lepas dari dosa. Jika ada salah seorang dari kalian pernah aku sakiti, maka berdirilah dan
balaslah sebelum aku dibalas pada hari kiamat!" tambahnya lagi.
Suasana tampak lengang. Tak ada di antara para hadirin yang berdiri. Tetapi, itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba,
berdirilah salah seorang dari para sahabat itu, seorang pria bernama Akasyah
berdiri.
"Wahai Rasulullah, dahulu aku pernah bersamamu dalam
perang Badar. Saat itu, untaku mengikuti untamu. Ketika tungganganku itu
berjalan di sampingku, engkau pecut untaku biar dia berlari kencang. Dan,
engkau tidak tahu bahwa lecutanmu itu mengenai diriku. Aku sendiri tidak tahu
apakah engkau sengaja atau tidak. Yang jelas, aku kesakitan pada waktu itu!"
Rasulullah yang mendengar hal itu segera memerintahkan
Bilal untuk mengambil cambuk yang biasa beliau gunakan untuk menggiring
untanya. "Wahai Bilal, pergilah engkau ke rumah Fatimah dan ambillah cambukku!"
Dengan langkah berat, Bilal pun berangkat ke rumah Fatimah.
Sepanjang perjalanan, dia tak henti- hentinya menangis. Tidak ada yang
membuatnya bersedih melainkan orang yang dicintainya akan diqishas. Rasulullah telah
menyerahkan dirinya untuk di cambuk, aduhai kasihan engkau wahai kekasihku! katanya
dalam hati. Dan, yang membuat dia
tambah bersedih adalah pembalasan itu terjadi di kala Rasulullah dalam keadaan
sakit.
Sesampainya di rumah Fatimah, Bilal segera mengetuk pintu.
"Siapa di luar?" tanya Fatimah. Dia berseru dari dalam
rumah.
"Aku, Bilal! Aku
datang diutus oleh Rasulullah untuk mengambil cambuk milik
beliau."
"Untuk apakah gerangan cambuk itu?"
"Rasulullah telah menyerahkan dirinya untuk diqishas!"
"Siapakah gerangan yang tega hendak
mengqishas ayahku, wahai Bilal?"
"Akasyah!" jawab Bilal pendek. Usai berkata demikian, dia
segera mengambil cambuk dan segera berlalu dari rumah Fatimah.
Setelah sampai di hadapan Rasulullah, Bilal pun memberikan
cambuk itu kepada Akasyah. Sahabat Rasulullah itu pun menerimanya. Sementara
itu, orang-orang yang melihat peristiwa itu hanya bisa menunduk
sedih. Bagaimana mungkin Rasulullah yang dalam keadaan sakit keras dan akan
menemui ajal harus merasakan pembalasan, yaitu di cambuk. Sungguh teganya
Akasyah
Karena tidak bisa menahan amarahnya, maka Abu Bakar dan
Umar berdiri dan berkata, "Wahai Akasyah, kami berdiri di sini untuk
menggantikan Rasulullah. Qishas sajalah kami berdua. Asal
jangan engkau sentuh beliau!"
"Wahai Abu Bakar dan engkau Umar, duduklah kalian berdua.
Allah telah mengetahui kedudukan kalian berdua!" kata Rasulullah.
Mereka berdua pun kembali duduk. Sekarang giliran Ali
berdiri. Tatapan matanya tak lepas dari Akasyah. Tiada yang membuat dia
bersedih melainkan kekasihnya akan disakiti, "Akasyah, selama hidup aku selalu
berada di sisi Rasulullah. Aku sungguh tak tega kalau engkau mau menyakiti
beliau. Sekarang, aku berdiri di sini untuk menggantikan beliau. Cambuklah
aku!"
"Duduklah engkau, wahai Ali. sungguh Allah telah mengetahui
niatmu!"
Melihat Ali duduk, Hasan dan Husain pun tak ketinggalan. Mereka berdiri dan berkata dengan
tegas kepada Akasyah, "Engkau tahu, wahai Akasyah, bahwa kami adalah cucu
Rasulullah, dan mengqishas
kami sama saja mengqishas Rasulullah. Maka, qishaslah kami!"
"Duduklah kalian berdua, wahai permata
hatiku!" kata Rasulullah kepada Hasan dan Husain. Mereka pun menurut. "Sekarang tidak
ada yang menghalangimu untuk mencambukku, wahai
Akasyah!" "Wahai Rasulullah, dulu ketika engkau mencambukku, aku dalam keadaan
tidak memakai baju, maka sekarang tanggalkanlah bajumu."
Rasulullah pun segera menanggalkan bajunya. Ketika melihat
keadaan Rasulullah yang demikian, para sahabat semakin tersengat. Tetapi, di
luar dugaan, setelah Rasulullah membuka bajunya, Akasyah membuang cambuk itu.
Dia berdiri dan melangkah ke arah Rasulullah dan seketika memeluknya, "Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang tega akan mengqishasmu. Aku
melakukan itu agar aku bisa memeluk dan menciumimu. Aku berharap tubuhku dan
tubuhmu menyatu dan itu akan menjauhkan aku dengan api neraka!"
Setelah puas memeluk dan menciumi Rasulullah, semua orang
yang melihat kejadian itu menjadi terhenyak. Tetapi tak lama kemudian, mereka
semua tersenyum lega. Akasyah melakukan itu sebagai tanda cinta kepada sang nabi.
"Tidakkah kalian ingin melihat salah satu
penduduk surga, lihatlah Akasyah!" kata
Rasulullah.
Mendengar sabda Rasulullah itu, spontan semua
yang hadir di situ segera menyerbu Akasyah dan menciuminya.
Terlihat lelaki itu tampak kewalahan. Di antara mereka berkata, "Berbahagialah
engkau, wahai Akasyah. Engkau memperoleh derajat yang tinggi di hadapan Allah
karena cintamu kepada Rasulullah!"
Begitulah! Mencintai Rasulullah melebihi siapa
pun akan mengantarkan kita kepada derajat yang tinggi di hadapan Allah.
Disadur
dari buku Taubatnya Seorang Pelacur, Penerbit DIVA Press