Kecintaan Akasyah kepada Rasulullah

Senin, 24 Oktober 2011 00:00 WIB | 17.792 kali
Kecintaan Akasyah kepada Rasulullah Walaupun seorang nabi, Rasulullah adalah manusia biasa yang bisa sakit. Begitu juga hari-hari terakhir hidupnya. Dia sakit parah. Semua sahabatnya bergantian menjenguk beliau. Sebelum benar-benar wafat, beliau bersabda, "Wahai kaum muslimin! Se­sungguhnya, aku tiada lain hanyalah seorang hamba yang diberi tugas untuk memberi nasihat kepada kalian, yaitu untuk menyeru kepada agama yang diridhai Allah," demikian kata Rasulullah.

Sementara itu, semua sahabat tampak men­dengarkan dengan khidmat. "Anggap aku seperti ayah atau saudara kalian. Meski begitu, aku hanyalah manusia biasa yang tidak lepas dari dosa. Jika ada salah seorang dari kalian pernah aku sakiti, maka berdirilah dan balaslah sebelum aku dibalas pada hari kiamat!" tambahnya lagi.

Suasana tampak lengang. Tak ada di antara para hadirin yang berdiri. Tetapi, itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba, berdirilah salah seorang dari para sahabat itu, seorang pria bernama Akasyah berdiri.

"Wahai Rasulullah, dahulu aku pernah bersa­mamu dalam perang Badar. Saat itu, untaku meng­ikuti untamu. Ketika tungganganku itu berjalan di sampingku, engkau pecut untaku biar dia berlari kencang. Dan, engkau tidak tahu bahwa lecutanmu itu mengenai diriku. Aku sendiri tidak tahu apakah engkau sengaja atau tidak. Yang jelas, aku kesakitan pada waktu itu!"

Rasulullah yang mendengar hal itu segera me­merintahkan Bilal untuk mengambil cambuk yang biasa beliau gunakan untuk menggiring untanya. "Wahai Bilal, pergilah engkau ke rumah Fatimah dan ambillah cambukku!"

Dengan langkah berat, Bilal pun berangkat ke rumah Fatimah. Sepanjang perjalanan, dia tak henti- hentinya menangis. Tidak ada yang membuatnya bersedih melainkan orang yang dicintainya akan diqishas. Rasulullah telah menyerahkan dirinya untuk di cambuk, aduhai kasihan engkau wahai kekasihku! katanya dalam hati. Dan, yang membuat dia tambah bersedih adalah pembalasan itu terjadi di kala Rasulullah dalam keadaan sakit.

Sesampainya di rumah Fatimah, Bilal segera mengetuk pintu.

"Siapa di luar?" tanya Fatimah. Dia berseru dari dalam rumah.

"Aku, Bilal! Aku datang diutus oleh Rasulullah untuk mengambil cambuk milik beliau."

"Untuk apakah gerangan cambuk itu?"

"Rasulullah telah menyerahkan dirinya untuk diqishas!"

"Siapakah gerangan yang tega hendak mengqishas ayahku, wahai Bilal?"

"Akasyah!" jawab Bilal pendek. Usai berkata de­mikian, dia segera mengambil cambuk dan segera berlalu dari rumah Fatimah.

Setelah sampai di hadapan Rasulullah, Bilal pun memberikan cambuk itu kepada Akasyah. Sahabat Rasulullah itu pun menerimanya. Sementara itu, orang-orang yang melihat peristiwa itu hanya bisa menunduk sedih. Bagaimana mungkin Rasulullah yang dalam keadaan sakit keras dan akan menemui ajal harus merasakan pembalasan, yaitu di cambuk. Sungguh teganya Akasyah

Karena tidak bisa menahan amarahnya, maka Abu Bakar dan Umar berdiri dan berkata, "Wahai Akasyah, kami berdiri di sini untuk menggantikan Rasulullah. Qishas sajalah kami berdua. Asal jangan engkau sentuh beliau!"

"Wahai Abu Bakar dan engkau Umar, duduklah kalian berdua. Allah telah mengetahui kedudukan kalian berdua!" kata Rasulullah.

Mereka berdua pun kembali duduk. Sekarang giliran Ali berdiri. Tatapan matanya tak lepas dari Akasyah. Tiada yang membuat dia bersedih melainkan kekasihnya akan disakiti, "Akasyah, selama hidup aku selalu berada di sisi Rasulullah. Aku sungguh tak tega kalau engkau mau menyakiti beliau. Sekarang, aku berdiri di sini untuk menggantikan beliau. Cambuklah aku!"

"Duduklah engkau, wahai Ali. sungguh Allah telah mengetahui niatmu!"

Melihat Ali duduk, Hasan dan Husain pun tak ketinggalan. Mereka berdiri dan berkata dengan tegas kepada Akasyah, "Engkau tahu, wahai Akasyah, bahwa kami adalah cucu Rasulullah, dan mengqishas kami sama saja mengqishas Rasulullah. Maka, qishaslah kami!"

"Duduklah kalian berdua, wahai permata ha­tiku!" kata Rasulullah kepada Hasan dan Husain. Me­reka pun menurut. "Sekarang tidak ada yang menghalangimu untuk mencambukku, wahai Akasyah!" "Wahai Rasulullah, dulu ketika engkau men­cambukku, aku dalam keadaan tidak memakai baju, maka sekarang tanggalkanlah bajumu."

Rasulullah pun segera menanggalkan bajunya. Ketika melihat keadaan Rasulullah yang demikian, para sahabat semakin tersengat. Tetapi, di luar du­gaan, setelah Rasulullah membuka bajunya, Akasyah membuang cambuk itu. Dia berdiri dan melangkah ke arah Rasulullah dan seketika memeluknya, "Wa­hai Rasulullah, siapakah orang yang tega akan mengqishasmu. Aku melakukan itu agar aku bisa memeluk dan menciumimu. Aku berharap tubuhku dan tubuhmu menyatu dan itu akan menjauhkan aku dengan api neraka!"

Setelah puas memeluk dan menciumi Rasulullah, semua orang yang melihat kejadian itu menjadi ter­henyak. Tetapi tak lama kemudian, mereka semua tersenyum lega. Akasyah melakukan itu sebagai tanda cinta kepada sang nabi.

"Tidakkah kalian ingin melihat salah satu penduduk surga, lihatlah Akasyah!" kata Rasulullah.

Mendengar sabda Ra­sulullah itu, spontan semua yang hadir di situ segera me­nyerbu Akasyah dan men­ciuminya. Terlihat lelaki itu tampak kewalahan. Di antara mereka berkata, "Berbahagialah engkau, wahai Akasyah. Engkau memperoleh derajat yang tinggi di hadapan Allah karena cintamu kepada Ra­sulullah!"

Begitulah! Mencintai Rasulullah melebihi siapa pun akan mengantarkan kita kepada derajat yang tinggi di hadapan Allah.


Disadur dari buku Taubatnya Seorang Pelacur, Penerbit DIVA Press



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Pengobatan Dengan Air Liur dan Tanah
Selasa, 27 September 2016 16:52 WIB
Kisah Mengharukan Anak Yang Membawa Hidayah
Selasa, 12 Januari 2016 11:25 WIB
Merengkuh Hidayah Menuai Ma`unah
Jum'at, 04 September 2015 14:45 WIB