Ali sungguh tidak senang dengan
alasan anaknya. Tetapi, sebagai seorang ayah
sekaligus kepala negara, dia harus menyelesaikan
setiap masalah dengan kepala dingin. Dia tidak mungkin menghukum anaknya tanpa
mendengar dari orang-orang yang terlibat dari permasalahan itu. Maka, dia pun
mengutus salah seorang pembantunya untuk menemui Ibnu Abi Rafi`.
"Siapa yang telah menyuruhmu meminjamkan kalung itu
untuk putriku dengan mengkhususkan dari putra dan putri kaum muslimin yang lain, Wahai Ibnu Abi Rafi`? Apakah engkau ditugaskan menjaga Baitul Mal untuk engkau
gunakan sekehendakmu?" tanya sang khalifah setelah Ibnu Abi Rafi` telah berada di hadapannya.
"Aku minta maaf,
wahai Amirul mukminin. Aku tidak bermaksud menjerumuskan putrimu ke dalam
fitnah. Tetapi, aku sungguh tidak bisa menolak permintaannya. Selain hanya
sebentar, dia adalah putrimu sendiri!"
Ali bin Abu Thalib
mendengarkan penjelasan Ibnu Abi Rafi` dengan seksama. Tetapi, apa
pun alasannya, dia sungguh tidak bisa menerima itu. Dia tak ingin hanya karena
Zaenab putri seorang khalifah, lantas mendapatkan keistimewaan yang begitu
rupa. Dia takut di hadapan Allah nanti dia dikatakan sebagai seorang pemimpin
yang berlaku tidak adil dengan mendahulukan kepentingan pribadinya.
"Wahai Ibnu Abi Rafi`,
apakah putriku bisa meringankan siksaanku di akhirat kelak!"
Ibnu Abi Rafi` hanya
menunduk. Yang di hadapannya adalah seorang pemimpin negara yang sangat zuhud, dan yang sangat takut akan
hari akhir.
"Tidak, wahai Khalifah!, setelah lama terdiam.
"Sekarang ambil kembali kalung itu dan segera kembalikan ke Baitul
Mal!" perintah sang khalifah tegas.
Akhirnya, Ibnu Abi Rafi` mengambil kembali kalung itu dari tangan Zaenab untuk
dikembalikan ke Baitul Mal. Sebagai kepala lembaga milik kaum muslimin itu, tak
selayaknya dia menyalahgunakan wewenangnya. Sementara bagi Zaenab, dia telah
mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat berharga. Walaupun dia adalah seorang
anak kepala negara, tak sepantasnya memperturutkan segala keinginannya.
Begitulah, Ali bin Abu Thalib telah berdiri di
garda terdepan dalam kehati-hatian sebagai kepala negara. Dia harus tegas meski terhadap putrinya sendiri.
Sebab, kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban dirinya.
Disadur dari buku
Taubatnya Seorang Pelacur, Penerbit DIVA Press