Kesederhanaan Ali Bin Thalib II

Kamis, 20 Oktober 2011 00:00 WIB | 9.385 kali
Kesederhanaan Ali Bin Thalib II Ali sungguh tidak senang dengan alasan anaknya. Tetapi, sebagai seorang ayah sekaligus kepala negara, dia harus menyelesaikan setiap masalah dengan kepala dingin. Dia tidak mungkin meng­hukum anaknya tanpa mendengar dari orang-orang yang terlibat dari permasalahan itu. Maka, dia pun mengutus salah seorang pembantunya untuk me­nemui Ibnu Abi Rafi`.

"Siapa yang telah menyuruhmu meminjamkan kalung itu untuk putriku dengan mengkhususkan dari putra dan putri kaum muslimin yang lain, Wahai Ibnu Abi Rafi`? Apakah engkau ditugaskan menjaga Baitul Mal untuk engkau gunakan sekehendakmu?" tanya sang khalifah setelah Ibnu Abi Rafi` telah ber­ada di hadapannya.

"Aku minta maaf, wahai Amirul mukminin. Aku tidak bermaksud menjerumuskan putrimu ke dalam fitnah. Tetapi, aku sungguh tidak bisa menolak permintaannya. Selain hanya sebentar, dia adalah putrimu sendiri!"

Ali bin Abu Thalib mendengarkan penjelasan Ibnu Abi Rafi` dengan seksama. Tetapi, apa pun alasannya, dia sungguh tidak bisa menerima itu. Dia tak ingin hanya karena Zaenab putri seorang khalifah, lantas mendapatkan keistimewaan yang begitu rupa. Dia takut di hadapan Allah nanti dia dikatakan se­bagai seorang pemimpin yang berlaku tidak adil dengan mendahulukan kepentingan pribadinya.

"Wahai Ibnu Abi Rafi`, apakah putriku bisa meringankan siksaanku di akhirat kelak!"

Ibnu Abi Rafi` hanya me­nunduk. Yang di hadapannya adalah seorang pemimpin negara yang sangat zuhud, dan yang sangat takut akan hari akhir.        

"Tidak, wahai Khalifah!, setelah lama terdiam.  

"Sekarang ambil kembali kalung itu dan segera kembalikan ke Baitul Mal!" perintah sang khalifah tegas.

Akhirnya, Ibnu Abi Rafi` mengambil kembali kalung itu dari tangan Zaenab untuk dikembalikan ke Baitul Mal. Sebagai kepala lembaga milik kaum muslimin itu, tak selayaknya dia menyalahgunakan wewenangnya. Sementara bagi Zaenab, dia telah mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat berharga. Walaupun dia adalah seorang anak kepala negara, tak sepantasnya memperturutkan segala keinginannya.

Begitulah, Ali bin Abu Thalib telah berdiri di garda terdepan dalam kehati-hatian sebagai kepala negara. Dia harus tegas meski terhadap putrinya sendiri. Sebab, kelak Allah akan meminta per­tanggungjawaban dirinya.


Disadur dari buku Taubatnya Seorang Pelacur, Penerbit DIVA Press



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Pengobatan Dengan Air Liur dan Tanah
Selasa, 27 September 2016 16:52 WIB
Kisah Mengharukan Anak Yang Membawa Hidayah
Selasa, 12 Januari 2016 11:25 WIB
Merengkuh Hidayah Menuai Ma`unah
Jum'at, 04 September 2015 14:45 WIB