Seringkali kita mendengar seseorang yang belum melakukan kebaikan atau belum menunaikan syariah Islam beralasan "Belum mendapat hidayah." Yang jadi pertanyaan adalah benarkah hidayah itu belum diberikan oleh Allah Ta’ala? Benarkah Allah Ta’ala hanya memberikan hidayah kepada sebagian orang dan tidak memberikannya kepada sebagian yang lain?
Tentu saja tidak, karena Allah Ta’ala bersifat Ar-Rahman yang artinya Maha Pengasih kepada semua umat manusia, maka Dia telah memberi berbagai macam hidayah, seperti yang dikatakan oleh Wahbah Az-Zuhaili, seorang ulama fiqih dan tafsir dari Syiria dan disempurnakan oleh ulama setelahnya:
1. Hidayah Ilham Fitrah Insani
Hidayah ini diberikan oleh Allah Ta’ala kepada manusia sejak ia lahir berupa insting. Dengan hidayah ini seseorang dapat merasakan kebutuhan dasarnya. Misalnya lapar, haus, sakit, tenang, gelisah, dsb. Jika seseorang merasakan hal-hal tersebut, otomatis ia akan bereaksi. Reaksinya bisa berupa isyarat, bisa dengan menangis atau berteriak ketika merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan, bisa dengan tersenyum ketika merasakan kenyamanan, atau reaksi yang lainnya.
2. Hidayah Indera
Hidayah ini yang merupakan penyempurna dari hidayah ilham fitrah insani. Hidayah ini diberikan oleh Allah Ta’ala sebagai pintu masuknya informasi dan rangsangan dari sekitar. Hidayah ilham fitrah insani dan indera tidak hanya diberikan pada manusia tetapi juga pada hewan. Tentunya dengan beberapa perbedaan.
3. Hidayah Nurani
Hidayah ini diberikan kepada semua orang berupa kata hati yang bersih suci. Dalam setiap perbuatan, kata hati seseorang akan selalu membisikkan kebaikan. Jika tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu maka hati nurani seseorang akan menuntunnya kearah kebaikan. Namun jika hawa nafsu yang diperturutkan maka kata hati nurani akan tertutup.
4. Hidayah Akal
Hidayah ini hanya diberikan kepada manusia, tidak kepada malaikat, tidak juga kepada binatang. Dengan akal ini manusia bisa mengolah informasi yang diterima oleh inderanya, yang disuarakan oleh instingnya dan yang dibisikkan oleh nuraninya. Dengan akal pula manusia bisa menganalisa mana yang baik mana yang buruk, bisa menemukan hal-hal baru, dan bisa menelaah hal-hal yang tersembunyi. Akal ini pula yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu atau mencegah seseorang dari suatu tindakan. Dengan akal pula peradaban dan ilmu pengetahuan manusia bisa terus berkembang.
5. Hidayah Diin (Agama)
Hidayah ini yang memberikan tuntunan, panduan dan petunjuk kepada akal dan nurani untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Tuntunan agama yang berasal dari Allah Ta’ala tidak mungkin salah. Karena Allah Ta’ala yang menciptakan manusia maka Dia pula yang paling tahu tentang ciptaan-Nya. Apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang buruk, semua diketahui-Nya dan diberitahukan kepada manusia melalui Rasul-Rasul-Nya. Sementara akal boleh jadi memberi tuntunan yang salah, sedangkan agama tidak mungkin memberi tuntunan yang salah. Karena akal dapat dipengaruhi oleh hawa nafsu, sedangkan agama sama sekali tidak dipengaruhi oleh apapun. Justru agama dipakai untuk mengendalikan hawa nafsu dan mengarahkannya kepada jalan yang benar.
6. Hidayah Mau’nah dan Rahmat
Hidayah ini diberikan kepada seseorang agar tetap berada jalan kebaikan dan keselamatan. Dengan hidayah ini seseorang akan istiqomah memegang Dinul Haq Al Islam. Dengan hidayah ini manusia akan selamat dunia akhirat.
Berdasarkan uraian di atas sangat jelas bahwa Allah Ta’ala telah memberikan hidayah kepada semua insan tanpa terkecuali. Baik yang terlahir di tengah keluarga muslim maupun yang terlahir di tengah keluarga non muslim.
Lalu mengapa ada orang yang beriman, ada yang kufur, ada yang tebal imannya dan ada pula yang ala kadarnya? Hal itu dikarenakan manusia berbeda dalam memberdayakan hidayah yang dipunyai, berbeda dalam menyambut hidayah yang datang, dan berbeda dalam mengambil keputusan setelah adanya hidayah.
Coba kita cermati ayat-ayat Qur’an tentang hidayah ini:
1. "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya" . (QS. Asy-Syam: 8)
2. "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur (menerima dengan senang hati) dan ada pula yang kafir(mengingkari)." (QS. Al-Insan: 2-3)
3. "Dan orang-orang yang menyambut hidayah, Allah akan menambah hidayah kepada mereka, dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya." (QS. Muhammad: 17).
Bersyukurlah kita yang dilahirkan dari orangtua muslim. Sejak dini kita sudah mendapatkan masukan melalui indera kita tentang Dinul Islam, akal kitapun sudah dituntun dengan fikrah Islam. Perilaku kita juga sudah banyak dihiasi dengan akhlaqul karimah. Alhamdulillah hidayah sudah lengkap, hanya perlu disempurnakan untuk mendapatkan hidayah keenam, yakni istiqomah.
Coba kita bandingkan dengan mereka yang dilahirkan di tengah-tengah keluarga nonmuslim. Masukan yang diterima indera mereka jauh bahkan bertolak belakang dari Dienul Islam. Akal dan nafsu mereka tidak dituntun dengan lurus. Untuk itu mereka harus sungguh-sungguh menggunakan hidayah indera, nurani dan akalnya untuk mendapatkan hidayah diin. Tidaklah heran tatkala kita baca kabar tentang mu’alaf yang baru mendapatkan hidayah diin setelah menggunakan inderanya untuk mencari masukan. Kemudian menggunakan akalnya untuk memikirkan, mendengarkan kata hati nuraninya, mempelajari atau bahkan membuktikan Sunnatullah (tanda-tanda kekuasaan Allah Ta’ala di muka bumi). Itupun tidak akan cukup jika mereka tidak mampu melawan hawa nafsunya dan mengesampingkan keyakinan sebelumnya. Faktor penting yang lainnya adalah teman dan lingkungan.
Lalu bagaimana dengan ayat-ayat ini yang sepertinya Allah hanya memberi hidayah hanya kepada orang-orang yang dikehendakinya saja? Coba kita perhatikan peristiwa dan ayat-ayat ini:
1. Abu Tholib adalah paman Nabi yang sangat besar kasih sayang dan dukungannya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW juga sangat kuat, bahkan dengan memohon juga dengan setengah memaksa untuk mengajak Abu Tholib agar bersyahadat. Tapi sampai akhir hayatnya dia tidak bersedia masuk Islam. Sehingga Allah Ta’ala berfirman: "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al-Qashash: 86)
Di ayat ini disebutkan bahwa Allah Ta’ala mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah Ta’ala mengetahui bahwa Abu Tholib tidak akan mau menerima ajakan bersyahadat. Adakah sebabnya? Tentu saja.....Abu Tholib adalah pembesar Quraisy yang setiap hari dilingkupi oleh orang-orang kafir yang selalu mempengaruhi dirinya agar tetap kafir. Bahkan disaat sakaratul mautnya mereka terus ada disisinya dan selalu membisikkan hasutan agar Abu Tholib tidak meninggalkan kepercayaan nenek moyangnya dan agar tidak menuruti ajakan Rasulullah SAW. Hingga di akhir hayatnya Abu Tholib memutuskan untuk mati dalam kesetiaan dan keyakinan nenek moyangnya. Itulah sebabnya kenapa kita harus mencari teman dan berkumpul dengan orang-orang shalih, agar mereka mempengaruhi dan mengajak kita pada jalan kebenaran.
2. Berkaitan dengan ayat-ayat ini:
"Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Al-An’am: 111)
"Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman." (QS. Al-An’am: 125)
Asbabunnuzul ayat tersebut dan beberapa ayat sebelumnya adalah tantangan orang-orang kafir Makkah yang meminta Nabi SAW menunjukkan mu’jizat kepada mereka agar mereka percaya. Namun ketika Nabi SAW memohon kepada Allah perihal permintaan itu, Allah Ta’ala menolak dan menurunkan ayat tersebut karena Allah Ta’ala sudah tahu bahwa mereka hanya berolok-olok dan tidak sungguh-sungguh ingin beriman.
3. Demikian pula dengan ayat ini:
"Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus." (QS. Al-Baqarah: 213)
Masih ada beberapa ayat yang senada. Tatkala manusia masih memperturutkan hawa nafsunya (dalam ayat di atas berupa dengki, sombong, dan juga hawa nafsu yang lain) maka petunjuk tentang kebenaran sebagai suatu hidayah dari Allah tidak akan bisa masuk ke dalam jiwanya. Walaupun telah didatangkan seorang Nabi dan diturunkan Kitab.
Allah Ta’ala berkehendak tidak semena-mena, tetapi berdasarkan sebab. Manusia mendapatkan jalan yang lurus karena berusaha mencarinya dan mendapatkan jalan kesesatan karena mengingkarinya dengan kesombongan dan kecenderungannya untuk memperturutkan hawa nafsu syaithoniyah.
Masihkan pantaskah seseorang mengatakan belum menjalankan Syariatullah dengan alasan belum mendapat hidayah?
Mari kita perhatikan ilham fitrah insani, kita buka lebar-lebar semua indera untuk mendapatkan masukan sebanyak-banyaknya, kita dengarkan bisikan hati nurani yang bersih suci, kita gunakan akal untuk memikirkan dan menelaah tanda-tanda kekuasaan Allah Ta’ala dalam diri sendiri dan di alam semesta, kita kendalikan hawa nafsu syaithoniyah, kita ambil Dienullah sebagai rujukan, dan kita rengkuh semua hidayah itu agar menuai Ma`unah dan Rahmatullah. Allah Ta`ala pasti mengetahui mana makhluknya yang bersungguh-sungguh dan mana yang lalai. Bagaimanapun juga tetaplah INNALLAAHA `ALAA KULLI SYAI`IN QODIR. Allaahu `Alam.
Sumber Link