Suprapto lahir dari keluarga tukang becak. Ibunya berjualan kembang di pasar, sementara ayahnya menarik becak yang selalu mangkal di sebuah pasardi kampungnya.Tak ada pekerjaan lain yang dilakukan oleh ayahnya. Suprapto menempuh pendidikan mulai dari sekolah menengah pertama hingga masuk perguruan tinggi dibiayai oleh orang yang sangat simpati padanya. Tentu saja, untuk mendapatkan simpati dan biaya dari seseorang bukanlah hal yang mudah, membutuhkan usaha yang keras dan perjuangan yang tak mengenal lelah.
Rupakmo, ayah Suprapto adalah lelaki yang suka mem¬bantu orang lain. la juga sangat gampang apabila orang lain meminta pertolongan padanya. Pada mulanya, ia selalu dimintai tolong oleh seorang guru di kampungnya untuk melakukan beberapa hal berkaitan dengan pekerjaan rumah, mulai dari menyabet rumput hingga menyapu rumah. Pada akhirnya, terjadi keakraban di antara keduanya. Setiap akan pulang, ia diberi upah sepantasnya oleh guru tersebut.
Suprapto memang tergolong anak yang cerdas. Di sekolahnya, ia sering mendapatkan bintang pelajar, la anak yang rajin belajar. Semangatnya selalu terpacu oleh keinginan untuk mengubah nasib keluarganya. "Jika ayah saya seorang tukang becak, maka saya tidak boleh menjadi tukang becak. Jika ibu saya seorang pedagang bunga, maka saya tidak boleh menjadi pedagang bunga. Saya akan meng¬ubah hidup saya dan keluarga saya."
Prinsip tersebut tertanam sangat kuat di dalam jiwanya sejak dari bangku SMP. Banyak guru-guru di sekolahnya yang kagum kepadanya. Karena bagaimanapun, jarang sekali anak dari keluarga yang pas-pasan memiliki semangat dan kecerdasan seperti yang dimiliki oleh Suprapto.
Bagi Suprapto, kondisi perekonomian keluarga tidak akan menyurutkan semangatnya untuk terus belajar dan menjadi orang yang sukses. la rajin datang ke perpustakaan untuk membaca buku, membaca surat kabar, dan lain sebagainya. Dengan cara demikian, berbagai informasi diserapnya semenjak dirinya duduk di sekolah menengah pertama, la sangat yakin bahwa suatu hari nanti kesuksesan akan datang kepadanya, la sangat percaya pada peribahasa "Berkait-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu dan bersenang-senang kemudian."
Karena sering mendapatkan bintang pelajar, kepala sekolahnya kemudian mengajukan beasiswa terhadap anak didiknya tersebut dengan tujuan agar bisa melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, yakni SMA. Atas perjuangan kepala sekolah itu, Suprapto pun mendapatkan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional hingga ia selesai menem¬puh pendidikan di sebuah sekolah negeri. Karena tinggal di kota, ia memanfaatkannya dengan banyak berkunjung kepada orang yang banyak memiliki buku. Semua buku dari semua bidang ia lahap, mulai buku sejarah, sosial, politik, ekonomi, budaya, hingga sastra. Apa yang dilakukannya itu sangat bermanfaat untuk menambah luas wawasannya.
Suprapto mulai menuliskan gagasannya di majalah din¬ding sekolah. Kebetulan ada seorang guru yang membacanya. Guru tersebut sangat terharu karena ada di antara muridnya yang memiliki kemampuan menulis bagus. Kepala SMA itu memanggilnya, menanyakan tentang sumber tulisan ter¬sebut, tulisan sendiri ataukah plagiasi.
Suprapto dengan tegas mengatakan bahwa tulisan itu adalah karyanya sendiri. la kemudian mengungkapkannya secara lisan isi tulisannya sehingga sang guru dan kepala sekolah mengangguk-angguk dan tersenyum melihat murid¬nya itu sangat lancar berbicara.
Sejak saat itu, kepala sekolah itu selalu memfasilitasi buku bacaan dan menyarankan agar Suprapto mengirimkan tulisannya ke media massa, Suprapto pun mengikuti saran kepala sekolahnya. Tulisan-tulisan yang dikirimkan ke surat kabar banyak yang dimuat dan mengundang perhatian banyak orang. Setelah mengetahui bahwa yang menulis karya-karya tersebut adalah seorang anak SMA, banyak orang yang tertarik untuk memberikan beasiswa kepadanya, baik untuk dalam negeri maupun ke luar negeri. Namun, Supropto tidak terlena dengan semua tawaran tersebut, ia terus menulis dan tetap menjadi orang yang sederhana.
Ketika masuk dunia perguruan tinggi, ia selalu mendapat¬kan beasiswa. Praktis ia tidak banyak mengeluarkan uang untuk membiayai studinya. Bahkan, ia masih bisa menabung dari uang beasiswa dan honor dari karya tulis yang dikirim¬kan ke surat kabar. Meskipun demikian, Suprapto tetap menjalankan ritual dan rutinitasnya berpuasa pada setiap hari Senin dan Kamis.
Singkat cerita, setelah ia lulus dari perguruan tinggi, ia kemudian mendapat kepercayaan untuk menjadi dosen di kampus tempat ia menempuh pendidikan. Karena kinerjanya bagus dan memiliki potensi kepemimpinan yang luar biasa, oleh teman-teman sesama dosen, ia didaulat untuk menjadi rektor di perguruan tinggi tempat ia mengajar, la pun tidak bisa menolaknya dan menjalani hari-hari sebagai rektor dengan sangat sederhana.
Menjadi rektor tidak kemudian membuatnya berhenti dari rutinitas puasa Senin Kamisnya. Bahkan, ia bertambah semangat karena ia yakin bahwa ia menjadi orang yang sukses kini karena ia melakukan pertolongan Allah melalui puasa Senin Kamis.
***
Disadur: Kisah-Kisah Ajaib Pengubah Hidup!, Penulis: Ustadz Amrin Ali Hasan