Selama el Faruq sekolah di sebuah pesantren di Bogor, dirinya tidak pernah mengeluh dan selalu mendengarkan nasihat orang lain. el Faruq selalu berkata dalam hatinya tak ada satupun nasihat orang tua dan guru yang sia-sia, sehingga nasihat dari orang tua dan gurunya selalu dijadikan motivasi dalam kehidupannya, el Faruq merupakan siswa yang ulet, tekun, dan disiplin. Suatu ketika ada seorang sahabatnya bertanya kepadanya akan tentang sifat terpuji dia, wahai sahabat bagaimana mungkin kamu mampu hidup dengan penuh kesemangatan? tanya sahabatnya.
Dia menjawab sambil tersenyum, sahabat sesungguhnya kita hidup di dunia ini hanya untuk mencari keridhoan Allah Swt, beribadah, beramal shaleh dan berlomba-lomba dalam kebaikan, dengan hal ini aku mampu hidup semangat karena aku ingin mendapatkan suatu kebahagiaan yaitu bahagia dunia dan bahagia akhirat. Selain itu pula aku sebagai anak dari keluarga yang sangat sederhana. Aku ingin memberikan kebahagiaan pada orangtuaku...sungguh hidup ini bukanlah untuk main-main, begitu sahabat. Sahabat tersebut masih penasaran pada sikap el Faruq tersebut, akan tetapi dia selalu meneliti segala apa yang dilakukan el Faruq.
Suatu hari dalam hari-hari kesemangatannya el-Faruq dilimpah musibah yaitu ketika duduk di kelas 2 SMA. Ayahnya jatuh sakit selama seminggu dan dilarikan ke RSUD Cibinong, penyakit ayahnya sangat parah dan komplikasi. Ketika el-Faruq sedang asyik mengikuti pelajaran Matematika yang mana pelajaran ini merupakan mata pelajaran yang sangat dia sukai, akan tetapi tanpa merasakan firasat tentang ayahnya, keluarganya menjemput dan membawanya ke RSUD Cibinong dengan hati yang terketuk, air mata yang tak tertahankan menahan rasa sedih dan tak menyangka akan semua kejadian ini. Sambil menangis el-Faruq pun mengelus-elus bagian kening ayahnya dan mencium pipinya seraya berkata,
“Ya Allah penyakit datang dari-Mu dan begitupula kesembuhan datang dari-Mu pula. Izinkan aku untuk membahagiakan orang tuaku.....” inilah lantunan bathinnya ketika dia mengelus-elus kening ayahnya.
Selama beberapa hari menemani ayahnya, el-Faruq pun tak melepaskan hari-hari sekolahnya. Ia tidak mau ketinggalan pelajaran dan ia berjanji,
“Aku harus tegar, aku harus semangat belajar, agar ayahku bisa tersenyum melihat girhahku”
Malam Jum`at el-Faruq merasakan hal yang sangat berbeda dengan kondisi ayahnya, seraya berkata
“Ayahku sembuh....Ibu ayah sembuh....,” el-Faruq berkata sambil tersenyum di depan Ibunya.
Dengan husnudzannya, el-Faruq mengelus-elus kening ayahnya. Akan tetapi, sungguh semua kematian hanyalah Allah Yang Maha Mengetahui. Pukul 12.00 wib, ketika terdengar suara adzan yang indah dari masjid sekitar, suara yang indah itu, mengiringi deraian air mata keluargaku. Saat itulah ayahku menghembuskan nafas terakhir.. .lnnalillahi wainna ilaihi rooji`un.
Inilah kalimat yang ku ucap ketika memandang kedua bola mata ayah yang tertutup rapat, sungguh kutak menyangka dengan semua yang terjadi.
Selang waktu persemayaman....hatiku sangat rindu pada ayah. Aku hanya bisa menggerakkan lisanku dengan untaian kata-kata, "Ya Allah bukakan pintu ampunan untuk ayahku, izinkan hamba untuk menjadi anak yang sholih” Hanya inilah kata yang bisa ku lafalkan dalam hati ketika jenazah dimasukkan ke liang lahat.
Beberapa hari pasca berduka, aku tetap kembali ke almamaterku untuk menuntut ilmu. Tak ada suatu motivasi besar kecuali dari orang tua, walau aku sangat merasa kehilangan dengan hal ini. Tapi aku tak kalah semangat, setiap hari aku selalu bangun pagi bermunajat pada Allah, waktu itu aku mengemban amanah dari Pimpinan Pesantren Terpadu Daaruttaqwa pada divisi koperasi.
Tak hanya memanage keuangan, tapi di luar itupun aku mendapatkan amanah untuk selalu merawat tanaman-tanaman yang terletak di samping koperasi. Walau prestasiku menurun, tapi aku selalu melakukan semua pekerjaan hanya untuk ibadah, bekal di akhirat nanti, dengan ghirohku tidak menghiraukan celaan-celaan dari temanku, walau aku selalu dikatakan 50
alim, akan tetapi aku selalu menjadikan kesemangatan itu ada ketika adanya cemoohan-cemoohan dari orang lain.
Cuaca yang dingin hanya selembar kain putih dan hijau yang selalu menemaniku dalam kegelapan ketika malam tiba, yaitu untuk memanjatkan segala hajatku pada Allah, segala keinginanku dalam kehidupan ini, fakta doa seseorang akan dikabulkan jika dia mampu berdoa dengan penuh kekhusyuan, dan waktu yang paling tepat untuk memunajatkan doa yaitu ketika hilangnya suara bising, leburnya kekafiran, pada saat inilah doaku selalu dipanjatkan pada Allah Swt.
Menjelang pelantikan atau pergantian pengurus baru (serah terima amanah), saat inipun hatiku selalu terketuk dengan nasihat ayah,
“Di manapun kamu berada disitulah Allah menyaksikan.” Namun rasanya lidahku berat untuk melantunkan lafadz-lafadz Allah karena pada saat itu aku sangat merindukan ayah. Teman-teman saling menyapa pada ibu-Bapaknya, sedangkan aku hanya bisa memanjatkan doa untuknya.........selang waktu pelantikan ini, salah satunya pengumuman murid teladan atau pengurus terbaik, saat itu aku membayangkan ketika aku bangun malam dan ditemani oleh selembar kain putih dan hijau, seraya berkata, “Ya Allah tunjukkan Maha Kebenaran-Mu, berikan kebahagiaan padaku di siang hari ini”, untaian doaku.
Pimpinan Pesantren Terpadu Daaruttaqwa pun membacakannya, dan ternyata aku terpilih menjadi pengurus terbaik atau murid teladan. Alhamdulilah saat itu aku bangga dan selalu berkata ayah aku jadi yang terbaik... Ayah mudah-mudahan bisa ikut bahagia. Dan ternyata kebahagiaanku tidak cukup sampai di sini, selang waktu perpisahan aku mendapatkan amanah untuk mengikuti
high school yaitu beasiswa di STAI
Laa roiba, dengan keghirohanku aku semakin yakin akan kehendak Allah, segala harapan yang kita dambakan akan terwujudkan jika kita selalu memunajatkannya pada Allah, karena hanya kekuatan doa yang bisa memberikan kenyataan, terkabulnya suatu harapan. (dikisahkan oleh AY di Bogor)
Disadur dari Kisah - Kisah Inspiratif, Karya DR. Ahmad Sastra