Hari masih pagi, dan burung-burung masih bernyanyi. Suatu hari di masa lalu, dengan tidak indah mengusikku. Sedikit goresan di masa kecil, membekaskan luka yang kesembuhannya berusaha kucicil. Dan ternyata? Berhasil. Namun tiba-tiba teringat, tak ada salahnya diceritakan kembali, berharap menjadi cermin bagi tiap diri.
Sekitar pertengahan Ramadhan, seorang siswi kelas enam SDN Anggur II melangkah menuju sekolah. Sendiri seperti biasa, menapaki jalan yang tak terlalu jauh dari rumah. Hari ini pertama masuk di bulan puasa, setelah libur dua minggu lamanya.
Tiba di kelas. Canda tawa teman-teman terdengar tidak terlalu keras. Mungkin dirundung sedikit rasa malas. Hari-hari yang tidak ringan, bagi kami semua yang masih belajar melewati hari dengan rasa lapar dan kehausan. Maka hemat energi, adalah jalan terbaik yang kami pilih.
Beberapa saat kemudian, Guru agama memasuki ruangan. Aku memimpin ucapan salam, sebagai tugas ketua kelas tingkat enam. Setelah riuh salam serempak redam, Bapak Guru lama terdiam. Sunyi, lengang. Perlahan menggetarkan rasa tegang. Teman-teman menunggu, sebagaimana aku. Kami bertanya-tanya apa yang akan dikatakan Bapak Guru. Mengapa lama terdiam. Apakah karena sedang berpuasa? Tapi beliau kan sudah dewasa, apa mungkin sedang hemat energi seperti kami juga.
Akhirnya kata pertama terdengar. Kelas ini dimulai dengan absensi kehadiran. Nama kami dipanggil satu per satu. Kami mengangkat tangan seraya mengatakan, “Hadir, Pak!”. Setelah absen selesai, ternyata ada pemanggilan kedua. Kali ini berbeda, yang dipanggil diminta maju ke depan kelas. Terdengar lirih bisik teman-teman: Mungkin mau diberi hadiah lebaran..
Apa iya? Beberapa orang telah maju. Betapa terkejutnya saat tahu siswa yang dipanggil selanjutnya adalah aku. Jantung berdebar hebat, semoga kejang-kejang tidak kumat. Dengan wajah yang memucat, aku terus bertanya dalam hati, ada apa sebenarnya ini?
Genap sembilan orang. Berdiri mematung seperti monumen yang tengah dipajang. Kami menatap seisi kelas yang senyum -senyum, heran, ada juga yang berbisik satu sama lain, memperkirakan apa yang akan terjadi beberapa menit kemudian.
Sang Guru berdiri, lalu berjalan mondar-mandir di depan kami. Beliau menggendong tangan, dengan pandangan tertunduk menatap bumi. Dengan wajah dingin, beliau menembak kami dengan sebuah pertanyaan:
“Mengapa kalian tidak ikut sanlat?”
Kami tercekat. Tiba-tiba aku teringat, bahwa aku memang sengaja tidak menghadiri program tiga hari Pesantren Kilat. Lagi pula itu bukan sesuatu yang primer. Aku rasa tidak masalah jika hari itu aku tidak menjadi peserta.
Setelah itu, Bapak Guru yang terhormat terus menjejali kami dengan beragam pertanyaan. Kami membalas dengan berbagai alasan, namun tetap tidak mempan. Nada bicaranya yang semula datar, lama kelamaan terdengar menggelegar. Beliau mulai menggertak, dengan nada tanya yang kontan membuat kami tersentak. Tentu aku sangat kaget. Semua itu juga melukai hati, karena bapak-ibu saja tidak pernah berbicara dengan nada seperti ini. Terserang rasa sedih dan takut, aku mulai menangis. Lututku bergetar, rasanya ingin berlari pulang.
Gertakan demi gertakan, juga satu per satu pertanyaan, sukses membuat kami sangat menyesal, takut, dan terperangkap rasa bersalah yang luar biasa. Seolah-olah kami bagaikan penjahat yang baru saja mengentaskan misi pembantaian.
Tak usai disitu, Bapak Guru menghampiriku. Menunjuk wajahku,dan mengeluarkan murka yang luar biasa.
“Kamu ini ketua kelas! harusnya kamu ikut!! Yang lain saja ikut!!” Serunya dengan nada yang membuatku hampir pingsan. Mungkin sebangunnya dari tidur, beliau hilang ingatan. Bahwa aku adalah bocah 12 tahun. Pantaskah dihukum begini?
Aku terus menangis. Tak sanggup kubendung. Bahkan aku menggunakan dasi merahku untuk (maaf) menyeka cairan yang keluar dari hidung. Tapi beliau tetap tak peduli. Kesal dengan pertanyaannya yang tak mampu kujawab, beliau mulai menarik telingaku, dan memberikan sentuhan-sentuhan kasar.
Aku hanya absen sanlat. Aku bukan pelempar sebuah granat, yang menyebabkan sebuah kota meledak hebat. Aku hanya anak kecil. Bisakah Bapak menghukumku dengan cara yang lebih mendidik dan santun? Bukankah Bapak adalah ngajar agama? Tapi aku tak kuasa melawan! Begitu juga teman-teman. Seisi kelas diselimuti ketakutan.
Lebih dari satu jam berlalu. Akhirnya usai sudah funishment ini. Aku tak bisa menghentikan tangis hingga jam pelajaran usai.
Pulang ke rumah dengan hati yang luka, dan rasa sakit fisik yang masih terasa. Tapi tak sepatah kata pun kuadukan pada bapak-ibu di rumah, tidak juga pada kepala sekolah.
Begitu juga teman-teman. Aku pun terheran-heran. Mengapa saat itu kami tak terpikir untuk melayangkan pengaduan. Tak terbayang apa yang akan terjadi jika kami mengadukannya pada orangtua masing-masing. Entah, apa pula yang akan menimpa Bapak Guru itu! Pasti terjadi luapan kemarahan dari para orangtua yang anak-anaknya mereka titipkan. Tapi aku berfikir, adalah tetaplah manusia dan kesalahan, khilaf tetap akan bersamanya.
Delapan tahun berlalu sejak peristiwa itu. Hari ini, entah bagaimana kabarnya Sang Guru itu? Semoga dia sehat, semoga Allah melindunginya di hari tuanya. Aku tidak mendendam. Aku hanya tetap tak habis pikir. Bapak Guru agama, bulan Ramadhan, anak kelas enam, dan hukuman! Semuanya terkoneksi dengan cara yang sangat rusak. Jauh dari kata bijak. Sikap seorang guru, yang menjadi mimpi buruk sepanjang hidupku. Aku masih menyimpan keinginan untuk menanyakan,
“Mengapa?”
Diceritakan, bukan untuk menjatuhkan. Dikisahkan, dengan harapan hal serupa tidak terjadi pada adik-adik kelasku di sekolah itu, juga di seluruh sekolah di negeri ini. Mereka seharusnya mendapat perlindungan, bukan kekerasan. Sekali pun itu hukuman, semoga semua guru berhati-hati dalam memutuskan, apa yang sekiranya pantas untuk diberikan. Tentunya, tidak terlepas dari nilai-nilai pendidikan, (dikisahkan oleh SM di Bogor)
Disadur dari Kisah - Kisah Inspiratif, Karya DR. Ahmad Sastra