Menyelamatkan Nyawa II

Admin | Rabu, 17 September 2014 12:26 WIB | 3.729 kali
Menyelamatkan Nyawa II Sambungan dari Menyelamatkan Nyawa I

Lima tahun setelahnya, ketika saya membelokan kendaraan di jalan yang sepi pukul setengah sembilan malam. Tiba-tiba tiba sebuah palu godam seperti menghantam tengkuk saya. Mobil yang tengah saya kendarai membanting ke kiri masuk keselokan kecil dan saya tak sadarkan diri. Kelelahan yang amat sangat seharian membuat saya tak sadarkan diri ketika menyetir dan membawa saya dalam ketidaksadaran di pinggir jalan selama dua jam lebih tanpa ada yang menolong karena mereka mengira saya sedang parkir. Lamat-lamat ketika sedikit sadar saya paksa melajukan mobil menuju satu titik terang dan kembali tak sadar diri di depan sebuah wartel.

Bau alkohol menyengat ketika seseorang berbaju putih mengoles sesuatu ke hidung saya dengan selang infus yang siap ditancapkan ke lengan. Saya tergolek dan berusaha bangkit dari ruang UCD rumah sakit Cilandak, entah siapa yang membawa saya kesana. Seorang ibu setengah baya mengusap-usap kening saya dan membacakan beberapa doa dan di samping-nya berdiri dua lelaki yang tampak khawatir.

"Alhamduilillah bapak sudah sadar, tadi pingsan di depan wartel, saya ibu Hajjah Homsah yang punya wartel, tadi kita, bertiga bawa kesini naik taksi. Sebetulnya bisa bawa pakai mobil bapak, tapi nggak ada yang bisa bawa mobil matik!" Ibu Hajjah Homsah adalah penolong saya malam itu bersama dua lelaki di sampingnya.

Dokter datang dan mereka menyingkir sementara, saya diberi beberapa obat untuk mengembalikan kondisi. Usai itu ketiga orang ini menghampiri saya kembali dan memastikan kondisi diri saya lalu memberikan kembali dompet saya berisi uang dua juta rupiah, handphone beserta kunci mobil yang mereka amankan ketika saya tak sadarkan diri di kampung mereka.

"Ini dompetnya, tadi dipakai untuk bayar taksi seratus ribu dan bayar administrasi rumah sakit seratus ribu, jadi habisnya dua ratus ribu. Mobil masih aman di depan wartel ibu, jadi nggak usah khawatir. Yang penting istri di rumah sudah dihubungi dan akan menuju kesini!" Ujar bu Hajjah Homsah.

"Masya Alloh, sebegitu baik ibu Hajjah juga bapak-bapak bawa saya kesini, untung masih ada orang baik di Jakarta ini, kalau nggak, habislah semua uang dan mobil saya, dan mungkin nyawa saya juga nggak akan tertolong." Saya mengucapkan beribu terima kasih pada mereka.

"Ini Bang Udin dan Edi yang nolong bu Hajjah bawa bapak kesini!" Kata bu Hajjah, saya menggengam erat tangan Bang udin.

"Bang Udin ini montir Yamaha di bengkel depan wartel bu Hajjah!" Seru bu Hajjah Homsah menambahkan.

Lalu saya menjulurkan tangan pada Pak Edi untuk mengucapkan terima kasih dalam kondisi yang lemah.

"Terima kasih Pak, sudah menyelamatkan saya, juga sudah bikin repot bapak sama bang Udin!" tukas saya.

"Pak Edi ini Tukang Jahit di samping wartel, tadi dia masih njahit baju dan dia yang duluan nolong dan teriak ke bu Hajjah sama bang udin!" Ujar bu Hajjah.

"Ah... kebetulan aja. Saya kalau lihat orang sakit jadi ingat saya juga pernah ditolong orang dulu, di rumah sakit Bhakti Yudha, tapi saya nggak pernah ingat orang itu karena sibuk ngurusin anak saya yang ditahan rumah sakit!" Pak Edi tersenyum.

Entah mengapa. Saya menitikkan air mata. Samar-samar saya mengingat sedikit wajah Pak Edi ketika dulu wajah ku-rusnya yang kini berubah gemuk menangis di bibir loket kasir. Saya menarik tangannya dan memeluknya erat mendekat ke tempat tidur saya.

"Alloh mengirim bapak untuk saya, terima kasih!" Seru saya lirih. la tak mengerti apa arti seruan saya.

Pagi itu pukul tiga dini hari, Pak Edi menjadi sebuah episode ’Rahasia Ilahi’ yang menghampiri hidup saya.

Lima tahun lalu uang dua ratus ribu menyelamatkan urusannya di Rumah sakit Bhakti Yudha dan kini ia membalasnya dengan membawa saya ke rumah sakit Cilandak untuk menyelamatkan nyawa.

Ibu Hajjah Homsah, Bang Udin dan Pak Edi kini rutin saya kunjungi di Jagakarsa, karena disana persaudaraan tercipta dari sebuah sedekah yang balasannya hanya ada pada hak Tuhan untuk menentukan kapan mengembalikannya.

Hingga kami saling kunjung sampai kini, tak pernah saya ungkapkan bahwa sayalah orang di Rumah Sakit Bhakti Yudha dulu. Ini untuk melenyapkan sikap "Ria" dan membiarkan persaudaraan berjalan tanpa masing-masing membanggakan amal yang sudah diperbuatnya.

Cerita ini bukan bermaksud menyombongkan sedekah saya, namun bisa menjadi pelajaran bahwa sebuah sedekah dalam sebuah kesempitan akan berubah menjadi sebuah balasan kebaikan yang dahsyat pada suatu saat episode hidup kita.


Disadur: 33 Kisah Keberkahan Para Pengamal Sedekah, Penulis: Aqilah Selma Amalia


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Pengobatan Dengan Air Liur dan Tanah
Selasa, 27 September 2016 16:52 WIB
Kisah Mengharukan Anak Yang Membawa Hidayah
Selasa, 12 Januari 2016 11:25 WIB
Merengkuh Hidayah Menuai Ma`unah
Jum'at, 04 September 2015 14:45 WIB