Jangan Takut Bermimpi

Rabu, 12 Maret 2014 16:24 WIB | 5.904 kali
Jangan Takut Bermimpi Semua berawal dari sebuah mimpi, sebuah mimpi yang mungkin tak terlalu berarti bagi orang lain. Tak seperti remaja pada umumnya, dia sama sekali tak pernah mendapat kasih sayang dari kedua orangtuanya. Sejak masuk sekolah dasar, orangtuanya sudah memberikan kebebasan untuknya.
“Ibu sama Bapak, udah gak mau tau urusan kamu, kamu mau sekolah di mana, makan sama apa itu bukan urusan kita lagi, karena Ibu udah gak bisa membiayai kamu!”

Begitulah pernyataann pahit yang dikatakan secara terang-terangan kepadanya. Yah, semenjak Ayahnya kecelakaan hingga syaraf otaknya terganggu, sudah tak ada yang mencari nafkah untuk keluarga. Ibunya, hanya sebatas ibu rumah tangga biasa, tak berdaya melakukan apa-apa. Putus asa pernah terlintas dalam pikirannya, tak ada yang peduli padanya, tak ada yang membiayai hidupnya, seakan-akan hidup sendiri di dunia yang luas ini. Satu-satunya motivasi terbesarnya adalah tujuh orang adiknya yang masih sangat kecil. Yang masih harus ia bantu, usia sekecil mereka menurutnya tak pantas jika harus merasakan kesengsaraan seperti yang ia rasakan.

Dengan tujuan ingin menjadi seorang kakak panutan, dia tetap menuntut ilmu meski tak punya uang sama sekali. Setiap hari ia mencari uang untuk biaya sekolah, ongkos, jajan adik-adiknya dan untuk makan kedua orangtuanya. Dari mulai berjualan gorengan, orderan jahit sampai menjadi tukang panggul sayuran di Pasar Parung. Semua ia lakukan, seenggaknya adiknya dapat bersekolah dengan baik.

Semua yang dia lakukan semata-mata hanya ingin berjuang, karena ia tahu bahwa Allah tidak akan menurunkan hujan emas dari langit. Namun, hidup tetaplah hidup. Terkadang perjuangan yang ia lakukan sering kali mendapat ujian dan rintangan yang tak terkirakan. Setiap harinya ia selalu diejek karena kemiskinan, karena kekurangan dan juga karena cacat fisik yang dideritanya. Pernah ia dipukul batu, karena dianggap orang aneh. Makhluk dari luar angkasa, sehingga tak ada satupun yang mau berteman dengannya. Namun, inilah kuasa Allah. Cacat fisikyang ia miliki justru menjadi semangat terbesar untuk membuktikan kepada semua orang yang menghinanya bahwa ia jauh lebih baik.

Buktinya, ia sekarang masih bisa melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi dan itupun ia dapat tidak secara cuma-cuma, akan tetapi karena ia adalah orang pilihan. Meskipun ada kelainan pada matanya, namun ia masih rajin menggunakan potensi matanya untuk melakukan sebuah da’wah dengan tulisan. Orang meremehkannya, dan kelainan mata itu selalu mengganggunya dalam kegiatan belajar mengajar karena ia tak dapat melihat tulisan dari jarak jauh. Namun, tanggal 7 Februari tahun kemarin, yakni tahun 2011 ia telah berhasil membuktikan dedikasinya dengan berhasil menerbitkann hasil karyanya di Radar Bogor. Meskipun, dulu ia sama sekali tak didukung menulis bukan hanya oleh orang lain, akan tetapi juga keluarganya sendiri dengan alasan membuat tulisan seperti itu membuang-buang uang, seperti untuk membeli buku tulis, pensil dan biaya ke warnet untuk mencari informasi-informasi lomba.

Hidup dalam keluarga tanpa kasih sayang, penuh dengan beban dan masalah meliputinya tak lantas membuatnya menjadi pribadi yang pesimis. Seperti yang telah dikisahkan sebelumnya, hidupnya berawal dari sebuah mimpi. Baginya dengan berani bermimpi, berarti telah berani untuk hidup. Namun, dengan keajaiban yang sempat ia raih tak lantas membuat segala konflik dalam hidupnya terselesaikan begitu saja. Tapi, makin bertambah karena takkan menantang hidup ini tanpa adanya konflik. ’Hidup adalah anugerah, maka berbahagialah’ (kayak lirik lagu ne) dan syukuri setiap detiknya.

Baginya, hidup ini adalah kesemuan belaka. Ketidakadilan kerap kali menghantui hari-hari seorang gadis yang kini berusia kurang lebih tujuh belas tahun ini. Dengan segala masalah yang dihadapinya, beban berat yang ditanggungnya dan keinginan untuk bisa merasakan hidup seperti para remaja pada umumnya. Hari-harinya selalu dipenuhi dengan kekecewaan dan rasa ketidakadilan. Hingga ia pun tumbuh menjadi anakpemberontak. Jengkel melihat teman-temannya dapat bermain bebas, mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan, sedangkan yang bisa ia lakukan hanyalah mengkhayal yang entah kapan jadi nyata.

Melihat orangtuanya yang sudah tua. Tak mampu lagi mencari nafkah, hingga kadang berhari-hari ia tak makan sampai akhirnya ia menderita penyakit maag. Kesalnya lagi, dalam kondisi seperti ini, sama sekali tak ada keajaiban yang datang dalam hidupnya. Terlintas dalam fikirannya untuk apa ia melakukan ibadah, taat namun Allah sama sekali tak pernah adil padanya. Padahal kenikmatan yang luar biasa itu Allah berikan dengan cuma-cuma kepada koruptor dan wakil-wakil rakyat, yang benar telah mewakili kesengsaraan rakyatnya. Hidup tak punya apa-apa dan justru setiap harinya mendapat hinaan dan ejekan, tak punya teman, tetangga bahkan semua saudara tak mengakui keberadaannya, hanya karena ia “miskin”. Tapi apakah lantas sebuah kemiskinan selalu menjadi faktor penghambat?

Ketidakadilan ini membuat ia tak mau lagi capek-capek melakukan ibadah, hingga tumbuhlah ia menjadi anak yang nakal. Atas kemiskinan ini, ia membenci setiap orang. Setiap hari kerjanya hanya membantah, menyakiti hati kedua orangtuanya bahkan sampai-sampai suka menonton kaset-kaset biru yang sangat dilarang oleh agama. Namun, sudah tak kuasa lagi ia menjadi manusia yang taat, karena Allah tak pernah melihatnya dan tak pernah mau merubah nasibnya.

Hingga tibalah suatu hari, hari di mana ia dipertemukan dengan seorang guru yang baikyang selalu membantunya. Guru itu senantiasa menasehati, dan tiga hal yang selalu diajarkan sang guru, yakni sabar, syukur dan ikhlas. Bimbingan itu seakan-akan menyentuh hatinya, ia menyadari bahwa selama ini ia telah melakukan kesalahan besar. Allah menguji seorang hamba karena hamba itu adalah pilihan yang akan diangkat derajatnya. Lama merenung dengan renungan yang panjang, ia mulai merubah dirinya untuk jauh lebih baik. Kemiskinan tak lantas menjadikan bumerangnya untuk menjadi pribadi yang lemah. Meski banyak cibiran dan remehan. Dengan cepat ia berhasil merubah dirinya menjadi jauh lebih islami. Ia tak pernah meninggalkan shalat, sadaqah dan berusaha mencari beasiswa sebagai ikhtiarnya. Karena Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu yang merubahnya. Bahkan tak hanya itu. Ia juga menjalankan syariat Islam dan mulai berda`wah dengan teman-temannya penasehat dan pemberi solusi atas masalah yang dihadapi teman-temannya. Dengan seperti itu, hidupnya jauh lebih bermakna. Dan disanalah Allah menunjukkan keadilannya.


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Pengobatan Dengan Air Liur dan Tanah
Selasa, 27 September 2016 16:52 WIB
Kisah Mengharukan Anak Yang Membawa Hidayah
Selasa, 12 Januari 2016 11:25 WIB
Merengkuh Hidayah Menuai Ma`unah
Jum'at, 04 September 2015 14:45 WIB