Kembali Kepada Allah

abatasa | Kamis, 29 Agustus 2013 09:01 WIB | 7.729 kali
Kembali Kepada Allah
Allah swt. berfirman,
"Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka)...." (al-Hadid [57]: 16)

Kisah ini termasuk salah satu kisah kembali kepada Allah yang paling memukau.
Masjid Rasulullah (saw.) penuh dengan penuntut ilmu sehingga tidak ada tempat lagi yang tersisa. Mereka sedang menunggu seorang syekh dan guru yang telat, tidak seperti biasanya.

Tatkala mereka sedang menunggu, syekh itu pun datang. Dia berwibawa agung seperti para salihin. Melihatnya, mengingatkan kita kepada Allah, Tuhan sekalian alam. Syekh itu duduk di antara mereka di tempat biasa dia duduk. Dia menatap tanah sambil berpikir, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata, "Anak-anakku yang terhormat, selama ini aku selalu mengajari kalian tentang fikih dan urusan agama. Sekarang, aku akan bercerita tentang kisah perjalan Syekh kalian yang ada di depan ini."

* * *
Pada masa mudaku, di Irak, aku menjadi kepala keamanan pasar. Aku selalu memantau perkembangan harga dan gerak- gerik pedagang. Aku terkenal keras dan kasar, tidak ada orang yang suka kepadaku dan aku tidak pernah menghargai siapa pun.

Saat aku berjalan di pasar, aku melihat seorang pedagang tinggi besar, dadanya bidang, dan dahinya lebar. Dia memakai pakaian sutra dan melilitkan surbannya, harum parfumnya menyebar ke mana-mana, jarinya dipenuhi cincin besar, kesenangan dan kesejahteraan hidup tampak dari wajahnya. Di depannya, ada seorang miskin berlutut, memohon dan menangis. Pakaian orang itu banyak sobekannya, hampir tidak bisa menutupi tubuh kurusnya. Matanya cekung, wajahnya pucat, tangannya kasar, dan pecah-pecah ditimpa kesulitan hidup dan kesengsaraan.

"Tuan, kenapa Tuan mengambil uang tujuh dirham itu dariku? Itu adalah hasil jerih payahku seharian. Tolong kembalikan, malam ini aku sangat membutuhkannya untuk memberi makan malam anak-istriku. Jika Anda tetap mengambilnya maka anakku akan kelaparan di tengah malam yang dingin mencekam ini. Tolong kembalikan uangku, semoga Allah merahmati Anda dan menggantinya dengan yang lebih baik," kata orang miskin itu.

Tiap kali si miskin mengiba, pedagang itu berlagak sombong dan mengangkat pandangannya ke langit, seolah-olah dia berbicara dengan tembok atau batu, bukan dengan manusia yang mempunyai hati dan jiwa.
Aku tersentuh dengan pemandangan ini. Lalu aku menghampiri pedagang kaya raya itu, "Ada urusan apa Anda dengan orang ini?" tanyaku.

"Bukan urusanmu, pergilah! Kamu tidak tahu siapa orang ini. Dia adalah seorang penipu ulung. Aku memberinya pinjaman uang tujuh dirham setahun yang lalu. Setiap melihatku, dia selalu kabur. Hari ini, aku berjumpa dengannya di pasar, lalu aku mengambil uang itu darinya," ujar si pedagang.

"Hanya tujuh dirham? Anda ini sudah dikarunia kekayaan oleh Allah, kembalikan uang itu kepadanya!" kataku. Orang itu enggan mengembalikan sepeser pun, bahkan dia berlagak takabur. Lalu aku menamparnya sehingga telinganya panas dan matanya merah. Kemudian pedagang itu merongoh sakunya, mengambil uang dan memberikannya kepada orang miskin itu. "Sudah, pergilah," kataku kepada si miskin. Dia pun pergi dengan perasaan senang sambil berlari. "Hai," kataku memanggilnya, "Jika malam ini anakmu makan, tolong sampaikan kepada mereka untuk mendoakan Malik bin Dinar," mintaku.

Keesokan harinya, ketika aku sedang berjalan di pasar, aku merasa bahwa Allah menanamkan rasa keinginan menikah di lubuk hatiku. Aku mulai menawarkan diri kepada orang-orang, akan tetapi siapa yang mau menikahkanku? Aku orangnya keras, kasar, dan peminum, tidak ada seorang pun yang mau kepadaku. Ketika semua orang menolakku, aku pergi ke pasar budak, aku membeli seorang budak muslimah. Budak itu kemudian aku merdekakan dan kemerdekaannya itu sebagai mahar pernikahan.

Dia adalah istri yang kenal kepada tuhannya, patuh terhadap suaminya. Aku selalu melihat kebaikan sejak dia tinggal di rumahku. Aku meninggalkan khamer. Aku mulai melaksanakan shalat, berzikir, taat kepada Allah, dan memohon ampunan kepadanya sehingga hatiku menjadi lunak dan lembut. Aku senang melakukan kebaikan dan berdakwah untuk kebenaran. Allah mengaruniaiku seorang anak perempuan, padanya aku melihat kebahagiaan dunia. Dia suka bermain di depanku, menyambut kedatanganku dari kerja, tidur di sisiku pada malam hari, dan dia suka bercanda denganku. Aku melewati waktuku bersamanya di rumah.

Pada suatu hari, ketika sedang bermain di depanku, tiba- tiba dia jatuh di pangkuanku. Aku tidak tahu apa yang terjadi.

Jiwanya melayang. Aku memandanginya, hatiku hampir copot. "Buah hatiku, kamu kenapa?" keluhku.
Aku menggendongnya, kubawa dia pulang ke rumah. Ibunya menyambutnya, "Apa yang terjadi dengan anak kita?" tanyanya. "Tidak tahu. Saat dia bermain denganku, tiba-tiba dia roboh," ujarku. Aku dan ibunya pun duduk sambil menangis.

Setelah memakamkan dan menshalatinya, setiap aku menoleh ke rumah, aku selalu ingat kepadanya. Mainan dan pakaiannya menjadi rekaman kenangan bersamanya. Ketika makan, aku ingat padanya. Saat tidur, aku terkenang padanya. Aku selalu diliputi kesedihan sehingga aku tidak enak makan dan minum. Ketika malam hari, aku selalu menatap bintang, sampai aku terlelap kecapaian.

Suatu malam, ketika kesedihanku mencapai puncaknya dan keputusasaan menyelimutiku, aku bergumam, "Malam ini, aku akan minum sampai mati." Lalu aku mengambil khamer dan duduk sambil minum, sampai aku jatuh ke tanah, tidak tahu bagaimana dan kapan.

Tatkala aku bergelimangan dosa, berlumuran maksiat, dan tidak rela dengan takdir Allah-padahal Allah sebaik-baik penyayang, aku bermimpi Kiamat, seolah-olah bumi retak seperti belalang berserakan, langit hancur dan gunung menghacurkan segalanya, segala sesuatu hancur karena dahsyatnya hari Kiamat.

Seluruh makhluk berlarian, aku pun berlari. Tiba-tiba aku merasakan kobaran api di belakangku. Saat aku menoleh, aku melihat seekor ular menyemburkan api, lari mengejarku. "Ke mana aku akan lari?" aku terus berlari dan ular itu terus mengejarku. Saat aku kehabisan tenaga, aku melihat sebuat bukit di depanku. Di bukit itu terdapat lorong. Kulihat banyak anak perempuan keluar darinya. Ketika mereka melihatku, mereka berteriak, "Fatimah, temui ayahmu! Fatimah, temui ayahmu!" Kulihat anakku keluar dari bukit itu. Dia melihatku, lalu berkata, "Ayah." Kemudian dia menuding ular yang membuntutiku, ular itu berhenti. Lalu dia menjulurkan tangannya padaku, mengajakku naik, kemudian dia duduk di depanku sambil berkata, "Ayah, ’Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka).’ (al-Hadid [57]: 16)"

Fatimah membacanya berulang-ulang. Aku pun terbangun dari tidurku, seakan-akan suara Fatimah terus terdengar di telingaku. Lalu aku mendengar azan subuh, "Hayya ’ala as- shalah, hayya ’ala al-falah." (mari kita shalat, mari menuju kemenangan). Lalu aku sadar. Aku meminta ampun dan bertobat kepada Allah. Aku bersyukur kepada Allah karena dia memberiku kesempatan hidup sekali lagi. Kemudian aku pergi ke Masjid Jami’. Aku shalat bermakmum kepada Imam Syafi’i. Dalam shalatnya, Imam Syafi’i membaca firman Allah,

"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)." (al-Hadid [57]: 16)

Hatiku tersentuh, air mataku bercucuran, seolah-olah akulah satu-satunya orang yang dimaksud oleh ayat itu. Ini adalah karunia dari Allah. Aku malu kepada Allah.

Ketika shalat telah usai, Imam Syafi’i berbalik dan menafsirkan ayat yang beliau baca tadi. "Wahai hamba-hamba Allah, Allah mendorong kita untuk segera bertobat. Kata (alam ya’ni) adalah musytaqq (pecahan kata) dari kata al’-an sekarang’. Seakan-akan Allah berfirman, ’Sekarang kalian bertobatlah, sebelum kesempatan ini terlewatkan, niscaya kamu akan menyesal. Sekarang bertobatlah dan mengingat Allah dengan khusyuk," kata Imam Syafi’i menerangkan isi kandungan ayat tadi.

Aku bertobat kepada Allah dan meminta ampunan atas segala dosaku. Rahmat Allah sangat terasa olehku. Allah tidak mencabut nyawaku ketika aku bermaksiat. Allah membiarkanku sehingga aku bisa bertobat.

Aku pulang menemui istriku, "Mari kita berangkat ke Madinah Rasul. Aku akan menuntut ilmu di sana. Mudah- mudahan Allah membimbingku pada kebaikan dan memberikan pengganti yang lebih baik dari anak kita," kataku kepada istriku.

Allah memberi ganti anak-anak umat Islam dari seluruh penjuru dunia yang datang kepadaku siang dan malam menuntut ilmu. Aku memuji Allah atas segala nikmat-Nya.


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Pengobatan Dengan Air Liur dan Tanah
Selasa, 27 September 2016 16:52 WIB
Kisah Mengharukan Anak Yang Membawa Hidayah
Selasa, 12 Januari 2016 11:25 WIB
Merengkuh Hidayah Menuai Ma`unah
Jum'at, 04 September 2015 14:45 WIB