Afnan, Sahabatku (bag 2)

abatasa | Rabu, 26 Juni 2013 07:05 WIB | 4.805 kali
Afnan, Sahabatku (bag 2)
Aku tahu, pertemuanku dengan Afnan merupakan takdir, begitu juga kepergiannya. Aku tidak akan protes terhadap takdir Allah. Jiwa Afnan akan terus bersamaku untuk menyelesaikan perjalanan bersama.

Ya, Afnan telah pergi, tapi untukku, dia meninggalkan sebuah surat kesedihan yang dilipat dengan air mata derita dan kepedihan, penuh dengan nasihat dan ditulis dengan penuh kepercayaan kepada Allah. Aku tidak ingin memberitahukan kepada siapa pun tentang isi surat itu, tetapi kandungan surat itu menuntutku untuk menyebarkannya agar kehidupan Afnan terus menjadi pelajaran bagi setiap gadis yang tenggelam di lautan yang dalam dan di tebing yang terjal. Aku berharap penaku bisa menuliskan kata-katanya, tapi dia enggan kecuali dengan menggunakan tinta air mata kesedihan dan pengharapan. Aku berharap kertasku bisa memuat kandungan bahasanya, tapi dia berat kecuali dengan air mata perpisahan dan derita.

Betapa beratnya kertas beserta isinya dan alangkah suci kata-kata itu.
Kalimat-kalimat bertaburan di atas kertas-kertasku yang buruk, menyebarkan wewangiannya bagi setiap hati yang pernah merasakan sakit. Afnan yang menjadi temannya, mati yang menjadi kafannya, dan pulang menghadap Allah yang menjadi jalannya.

Kata-kata itu terus bergulir melalui lidah tintaku, penaku sangat menyukai Afnan. Batapa rindunya untuk berjumpa dengan Afnan. Afnan menulis dalam suratnya,

‘‘Afnan lama hidup dalam gelimang maksiat dan dosa. Setiap sesuatu mengajakku untuk bermaksiat; rumah, televisi, teman, keluarga, pasar, mode Barat, lagu Arab, dan lagu Asing. Semuanya menyeretku menuju Jahannam, tempat yang paling buruk. Aku benar-benar sesat pada masa itu. Afnan adalah kalimat yang indah di mulut para pengagumnya, ’Kamu cantik. Alangkah indah bajumu!!! Berapa kamu beli? Betapa indah rambut yang berkilau ini!!!’

Aku menipu semua orang, begitu juga diriku. Aku mempelihatkan senyum bagi mereka, namun diriku sendiri tercabik-cabik penuh derita. Kata-kata mereka mendorongku untuk terus maju. Tapi sampai kapan ? Kata-kata kosong, penuh dengan dusta dan kepalsuan. Setiap aku menyendiri, air mata berjatuhan dari mataku dan hatiku semakin tercekik. Aku melupakan Tuhan, bagaimana aku menemui-Nya? Bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku dengan penyakit jiwa kronis ini? Bagamana cara aku selamat?

Kata-kata ini berputaran di benakku. Tapi aku cepat mengusirnya dengan iming-iming setan tentang umur panjang. Meski demikian, aku tidak pernah menemukan kenikmatan hidup. Ini perasaanku dan perasaan orang yang satu kondisi denganku, selama jauh dari Allah dan akhirat.

Kelalaian ini harus dilawan dengan tamparan keras yang bisa mengembalikan akalku dan menyadarkanku dari tidur panjang. Tamparan yang menggetarkan sukma dan menghidupkanku kembali. Tamparan yang tidak pernah aku bayangkan selama hidupku.

Penyakit jiwa itu merambat menjadi penyakit fisik yang menjalar ke seluruh tubuhku. Sakit yang tidak mampu aku pikul, seakan-akan aku dipotong dengan gergaji. Wajah cantik dan betis yang indah itu pun berubah, dia menunggu detik-detik giliran baru, mungkin giliran mati.

Tidak ada seorang pun yang merasakan keanehanku. Aku terus merasahasiakannya. Namun tanda-tanda sakit tampak di tubuhku. Ibu... Ibu... Sakit ini hampir membunuhku. Ibu... Ibu... tubuhku tercabik karena sakit. Aku tidak sadar kecuali saat aku berada di rumah sakit, semua orang memandangku. ’Afnan.... Kamu sudah membaik sekarang.’ Kalimat ini yang aku dengar di detik-detik terakhir. Kemudian aku memejamkan mata, menunggu rahmat Tuhan. Aku digerogoti kanker yang berdiam di dalam tubuhku.

Hidupku berubah total setelah itu. Aku menjadi Afnan yang suka bangun malam dan berdoa di waktu sahur. Padahal, dulu, aku tidak pernah melewatkan waktu ini kecuali dengan bermaksiat... televisi... film panas... dan lagu cengeng. Al-Qur’an menjadi obatku dan doa menjadi penawarku. Aku menyerahkan hidupku kepada Allah. Firman- firman-Nya mengalir di dalam jiwaku. Aku sering mengulangi ayat ini dengan air mata berderai untuk mencuci dosa hatiku. Aku mengulanginya dan aku merasa bahwa dunia ini juga mengulanginya bersamaku....

’Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana?’ (al-An’am [6]: 122)

Ini adalah karunia dari Tuhanku. Betapa aku suka ayat ini. Ya, sekarang aku merasakan kebahagiaan hakiki. Ahh... seandainya setiap gadis bisa merasakan kebahagiaan ini sepertiku. Hatiku hidup karenanya. Aku merasakan kenikmatan hidup bersama Allah. Cahaya keluar dari jiwaku dan menyinari setiap sesuatu di sekitarku. Demi Allah, aku berharap, seandainya penyakit ini menyerangku sejak dulu, niscaya aku sudah sadar dan melalui jalan menuju rahmat Allah. Alangkah bahagianya... Betapa itu merupakan kesempatan untuk minta ampun kepada Allah. Demi Allah, kebahagianku mengalahkan sakit di dalam tubuhku. Aku merasa tenang.

Wahai pembaca tulisanku, kalimat-kalimat ini bukan dari hasil rajutan imajinasi. Namun ini adalah kenikmatan berjalan menuju Allah, walaupun sakit dan sedih.

Saudariku karena Allah. Bersamamu aku menemukan persaudaran sejati. Aku memohon kepada Allah untuk mengumpulkan kita di surga, sebagaimana dia mengumpulkan kita di dunia."

Sekian surat dari Afnan.

Afnan, Allah menyelamatkanmu dari selimut dosa dan maksiat.
Afnan, selamat berpisah dan sampai jumpa.

"Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan." (as-Sajdah [32]: 17)


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Pengobatan Dengan Air Liur dan Tanah
Selasa, 27 September 2016 16:52 WIB
Kisah Mengharukan Anak Yang Membawa Hidayah
Selasa, 12 Januari 2016 11:25 WIB
Merengkuh Hidayah Menuai Ma`unah
Jum'at, 04 September 2015 14:45 WIB