Para siswi berhamburan masuk kelas, sibuk dengan tawa dan canda. Tiba-tiba ada orang mengetuk pintu dengan lembut, ternyata Bu Fatimah, guru pendidikan Islam. Aku suka dengan wajahnya yang bersinar dan hatinya yang baik nan lembut. Dia orang yang pertama kali tersenyum kepadaku di sekolah ini.
Para siswi berkumpul di kelas. Pelajaran dimulai dengan membaca beberapa ayat yang menyentuh hati. Namun di tengah keheningan suasana, aku dikagetkan oleh sebuah suara. Aku pasang telinga baik-baik. Suara isak tangis yang hampir tak terdengar. Aku melepaskan pandangan mencari sumber suara. Ternyata tangis seorang siswi yang duduk di kursi nomor tujuh di depanku. Dia dipanggil Afnan. Tidak ada seorang pun yang menyadari hadirnya tangisan itu. Setelah itu, ayat yang kami baca dijelaskan dan ditafsirkan. Dan, pelajaran hari ini pun selesai.
Afnan, nama yang selalu mengandung sejuta kenangan manis dalam ingatanku. Afnan apa kisahnya? Aku menyimpan rahasia ini untuk diriku sendiri. Aku kunci di dalam hati dan aku buang kuncinya.
Aku mulai menyelidiki keadaan siswi yang menarik perhatianku dan membuatku kagum dan bangga itu. Namun, aku hanya mendengar satu kalimat saja, "Afnan tidak seperti yang dulu.... Afnan telah berubah."
Aku tidak mengerti arti kalimat tersebut. Dan, kalimat itu menyisakan dampak yang dalam di dalam hatiku. Terus apa sih kisah Afnan?
Pikiran-pikiran ini seperti hantu yang berputar di otakku. Aku menyelamatkan diri darinya dengan selalu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sejak hari ini, aku harus mengakui rasa penasaranku ini kepada Afnan. Hari ini sudah dekat, dekat sekali.
Tempat ini dikuasai oleh ketenangan yang aneh. Aku tidak mengomentarinya dengan satu kata pun. Kata-kata itu memecah keheningan dengan suara penuh penyesalan dan kepedihan. Itu adalah suara pendosa yang durhaka. Aku menatap matanya yang kuyup dengan air mata, air mataku pun penuh dengan air mata. "Siapa dari kita yang tidak pernah berdosa, Sayang?" ujarku menghibur.
"Tapi aku beda dengan kalian. Aku, Afnan yang menyiapkan diri untuk menjadi penduduk neraka, apakah masih bisa diampuni?"
Aku teringat kelemahanku di hadapan Tuhanku. Aku teringat sedu sedan yang jujur itu. Aku melihat kedua mata yang menangis itu. Dari lubuk hatiku, keluar beberapa kata yang kuat yang mampu memecah jeritan kesakitan di hatinya,
"Katakanlah, ’Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.’" (az- Zumar [39]: 53)
Kalimat-kalimat ini keluar secara bening nan suci, ibarat mata air yang keluar dari hatiku untuk menyegarkan hati yang haus akan rahmat Allah. Aku merasa bahwa kisah yang berputar di hati ini sudah terkunci, tidak bisa keluar lagi. "Alangkah indahnya hidup di bawah naungan pengharapan akan rahmat Allah," kataku kepadanya.
"Kamu yang aku cari sejak dulu. Kamu.... Akhirnya, aku bisa menemukanmu. Alhamdulillah... alhamdulillah," jawabnya sambil memegang tanganku.
Hati mendahului lidah untuk mengikat persaudaraan dan melanjutkan perjalanan menuju Allah. Mata pelajaran telah usai. Saatnya pulang.
Aku memegang tangannya yang hangat dan aku bersandar kepadanya. Semua mata menatap kami dengan pandangan heran. Alangkah cepatnya persahabatan ini. Kami berjalan bersama di jalan, tidak peduli dengan semua perkataan orang tentang kami. Persaudaran di jalan Allah ini semakin bertambah erat, jam demi jam dan hari demi hari. Persaudaraan ini mendorong kami untuk terus maju dalam segala hal; dalam ketaatan kepada Allah, kepatuhan kepada orang tua, ketabahan menghadapi musibah, dan beramal karena Allah. Hari-hari semakin indah dengan adanya saudaraku, Afnan.
Aku selalu mencoba mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Namun di sana, ada pintu yang masih tertutup untukku, selamanya. Aku tidak menemukan kunci untuk membuka pintu ini. Aku mencoba berenang di dasar hatinya, namun aku tercekik. Apa rahasia yang tidak diungkapkan Afnan kepadaku? Setiap aku menyinggung masalah ini, dia menjawab dengan kalimat-kalimat aneh yang aku tidak mengerti maksudnya, "Perjalanan masih panjang dan bekal terlalu sedikit serta tidak ada waktu untuk berhenti. Orang-orang baik telah pergi, yang tersisa hanya para pendosa yang bejat."
Afnan tidak masuk sekolah. Aku tidak tahu sebabnya. Hari itu, hatiku gelisah dan aku terus menunggu Afnan dengan penuh kesabaran. Mejanya tetap kosong. Dia biasanya duduk di sampingku. "Afnan, Saudariku. Apa yang menghalangimu untuk hadir?" Hatiku mengeluh. Aku selalu berharap masa-masa belajar tidak akan pernah habis agar aku bisa selalu bersamanya. Tapi hari ini, aku merasakan lama sekali. Hari itu telah selesai. Ya telah selesai.
Tapi dengan apa?
Aku pulang ke rumah dengan penuh semangat untuk mendengar suara saudariku, Afnan. Tapi ada sesuatu yang menghalangiku untuk menghubunginya. Jam-jam berlalu dengan bentuk aneh.
Sore harinya, aku merasakan sebuah perasaan asing dan keinginan kuat untuk meneleponnya. Afnan... Afnan. Aku mengangkat ganggang telepon, untuk pertama kalinya, aku merasa takut, kenapa perasaan takut ini menguasaiku?
Tanganku terasa berat untuk menekan tombol. Tubuhku mulai gemetar, seolah-olah maut datang mendekatiku. "Maut... akhirat." Kalimat-kalimat ini yang dia ucapkan saat berbincang denganku di telepon. Lidahku kering dan anggota tubuhku berguncang serta kata-kataku mati. Yang tersisa hanya satu kata saja,
"Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Ya Allah berilah hamba pahala dalam musibah hamba dan berilah hamba ganti yang lebih baik darinya."
Afnan sudah pergi menghadap Allah mendahuluiku. Dia pergi dan meninggalkan kesedihan yang hanya diketahui Allah. Kata-kata suci ini terus menyertaiku selama masa sedih dan sakitku. Aku tidak akan bisa melihat Afnan lagi setelah ini. Aku tidak akan mendengar suaranya, saat dia membaca Al-Qur’an. Aku tidak akan melihat kedua matanya yang sayu. Aku tidak melihatnya lagi dan tidak akan melihatnya lagi.
Aku terus bersedih setelah kepergiannya selama beberapa hari. Namun, Allah menanamkan kesabaran dalam hatiku dan aku dipenuhi harapan bertemu dengannya. Ya, aku akan melihat Afnan.
Bersambung...