Kisah Sa`id bin Jubair [ bag 2 ]

abatasa | Jum'at, 17 Mei 2013 05:51 WIB | 7.679 kali
Kisah Sa`id bin Jubair [ bag 2  ]
...... bag 1 .....

Kemudian giliran Hajjaj memanggil Kamil bin Ziyad An-Nukhai dihadapkan dan ditanya:
Hajjaj, "Apakah engkau mengakui dirimu telah kafir?"
Kamil, "Tidak. Demi Allah aku tidak mengakuinya."
Hajjaj, "Bila demikian, aku akan membunuhmu."

Kamil, "Silakan saja kalau engkau mau melakukannya. Kelak akan bertemu di sisi Allah dan setiap pembunuhan ada perhitungannya."
Hajjaj, "Ketiku itu, kesalahan ada di pihakmu."
Kamil, "Benar, bila engkau yang menjadi hakimnya di hari kiamat itu."
Hajjaj, "Bunuh dia!"

Lalu beliaupun dibunuh...
Selanjutnya dihadapkan pula seseorang yang sudah lama menjadi buronan Hajjaj karena dianggap menghinanya. Hajjaj berkata, "Kurasa orang yang dihadapanku ini mustahil mengakui dirinya kafir." Namun orang itu menjawab, "Janganlah tuan memojokkan aku dulu dan jangan pula berdusta tentang diriku. Sesunggulah aku lah orang yang paling kafir di muka bumi ini, lebih kafir daripada Fir’aun yang semena-mena itu." Hajjaj terpaksa membebaskannya, padahal ia sudah gatal untuk membunuhnya.

Konon, pembantaian besar-besaran tersebut telah menelan ribuan korban dari orang-orang mukmin yang teguh pendiriannya. Dan ribuan lain yang selamat adalah yang dipaksa mengaku dirinya kafir. Sa’id bin Jubair merasa yakin bahwa kalau tertangkap, maka akan menghadapi dua pilihan seperti yang lain juga, yaitu dipenggal lehernya atau mengakui dirinya kafir. Dua pilihan, yang paling manis dari keduanya pun begitu pahit. Oleh sebab itu, beliau memilih keluar dari Irak, ia menyembunyikan diri dari masyarakat. Maka berkelilinglah ia di bumi Allah dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di sebuah desa di dekat Makkah.

Selama sepuluh tahun beliau tinggal di sana, waktu yang cukup lama untuk menghilangkan dendam dan kedengkian Hajjaj.

Akan tetapi, ternyata ada perkembangan situasi yang tak terdua. Seorang amir baru didatangkan ke Makkah, yaitu Khalid bin Abdullah Al-Qasri yang juga berasal dari Bani Umayah. Para sahabat Sa’id bin Jubair menjadi gelisah dan khawatir karena mereka tahu tentang kekejaman wali baru itu. Mereka menduga bahwa wali baru tersebut pasti akan menangkap Sa’id bin Jubair.

Di antara mereka segera menemui Sa’id bin Jubair lalu berkata, "Orang itu telah datang ke Makkah. Demi Allah, kami khawatir akan keselamatan Anda, maka sebaiknya Anda keluar dari sini." Namun beliau menjawab, "Demi Allah, sudah lama aku bersembunyi sampai malu rasanya kepada Allah. Aku telah memutuskan akan tetap tinggal di sini, pasrah dengan kehendak Allah."

Dugaan orang-orang tentang kekejaman Khalid ternyata tak meleset. Ketika mendengar dan mengetahui tempat persembunyian Sa’id bin Jubair, dia langsung mengirimkan pasukannya untuk menangkap Sa’id, mengikat lalu mengirimkannya kepada Hajjaj di kota Wasit nanti.

Tentara Khalid mengepung rumah Syaikh tersebut lalu menangkan dan mengikatnya di depan murid-murid dan para sahabatnya. Setelah itu mereka bersiap-siap untuk membawanya kepada Hajjaj. Sa’id menghadapi semua itu dengan tenang. Beliau menoleh kepada para sahbatnya dan berkata:

"Saya merasa akan terbunuh di tangan penguasa yang zhalim itu. Sesungguhnya pada suatu malam aku pernah melakukan ibadah bersama dua orang teman. Kami merasakan manisnya ibadah dan doa kepada Allah, lalu kami bertiga memohon syahadah (mati syahid). Kedua teman tersebut sudah mendapatkannya, tinggal aku yang masih menunggu."

Belum lagi beliau selesai bicara, seorang gadis cilik muncul dan demi melihat beliau diikat dan diseret oleh para prajurit, dia langsung merangkul Sa’id sambil menangis. Sa’id menghiburnya dengan lembut dan berkata, "Katakanlah kepada ibumu wahai putriku, kita akan bertemu nanti di surga, insya Allah." Bocah itupun pergi.
Sampailah utusan yang membawa Sa’id seorang imam yang zahid, abid dan berbakti itu di kota Wasit. Sa’id dihadapkan kepada Hajjaj bin Yusuf.

Setelah Sa’id berada di hadapan Hajjaj, dengan pandangan penuh kebencian Hajjaj bertanya:
Hajjaj, "Siapa namamu?"
Sa’id, "Sa’id (bahagia) bin Jubair (perkasa)."
Hajjaj, "Yang benar engkau adalah Syaqi (celaka) bin Kasir (lumpuh)."
Sa’id, "Ibuku lebih mengetahui namaku daripada engkau."
Hajjaj, "Bagaimana pendapatmu tentang Muhammad?"
Sa’id, "Apakah yang engkau maksud Muhammad bin Abdullah?"
Hajjaj, "Benar."

Sa’id, "Manusia utama di antara keturunan Adam dan nabi yang terpilih. Yang terbaik di antara manusia yang hidup yang paling mulia di antara yang telah mati. Beliau telah mengemban risalah dan menyampaikan amanat, beliau telah menyampaikan nasehat Allah, kitab-Nya, bagi seluruh kaum muslimin secara umum dan khusus."
Hajjaj, "Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?"

Sa’id, "Ash-Shidiq khalifah Rasulullah saw. beliau wafat dengan terpuji dan hidup dengan bahagia. Beliau mengambil tuntunan Nabi saw., tanpa merubah ataupun mengganti sedikitpun darinya."
Hajjaj, "Bagaimana pendapatmu tentang Umar?"

Sa’id, "Beliau adalah Al-Faruq, dengannya Allah membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Beliau adalah manusia pilihan Allah dan rasul-Nya, beliau melaksanakan dan mengikuti jejak kedua pendahulunya, maka dia hidup terpuji dan matai sebagai syuhada."
Hajjaj, "Bagaimana dengan Ustman?"

Sa’id, "Beliau yang membekali pasukan Usrah dan meringankan beban kaum muslimin dengan membeli sumur "Ruumah" dan membeli rumah untuk dirinya di surga. Beliau adalah menanti Rasulullah atas dua orang putri beliau dan dinikahkan karena wahyu dari langit, lalu terbunuh di tangan orang zhalim."
Hajjaj, "Bagaimana dengan Ali?"

Sa’id, "Beliau adalah putra paman Rasulullah saw. dan pemuda pertama yang memeluk Islam. Beliau adalah suami Fatimah Az-Zahrah putri Rasulullah saw, ayah dari Hasan dan Husein yang merupakan dua pemimpin pemuda ahli surga."

Hajjaj, "Khalifah yang mana dari bani Umayah yang paling kau sukai?"
Sa’id, "Yang paling diridhai Pencipta mereka."
Hajjaj, "Manakah yang paling diridhai Rabb-nya?"
Sa’id, "Ilmu tentang itu hanyalah diketahui oleh Yang Maha Mengetahui yang zhahir dan yang tersembunyi."
Hajjaj, "Bagaimana pendapatmu tentang diriku?"
Sa’id, "Engkatu lebih tahu tentang dirimu sendiri."
Hajjaj, "Aku ingin mendengar pendapatmu."

Sa’id, "Itu akan menyakitkan dan menjengkelkanmu."
Hajjaj, "Aku haru tahu dan mendengarnya darimu."
Sa’id, "Yang kuketahui, engkau telah melanggar Kitabullah, engkau mengutamakan hal-hal yang kelihat hebat padahal justru membawamu ke arah kehancuran dan menjerumuskanmu ke neraka."
Hajjaj, "Kalau begitu, demi Allah aku akan membunuhmu."
Sa’id, "Bila demikian, maka engkau merusak duniaku dan aku merusak akhiratmu."
Hajjaj, "Pilihlah bagi dirimu cara-cara kematian yang engkau sukai."
Sa’id, "Pilihlah sendiri wahai Hajjaj. Demi Allah untuk setiap cara yang engkalu lakukan, Allah akan membalasmu dengan cara yang setimpal di akhirat nanti."

Hajjaj, "Tidakkah engkau menginginkan ampunanku?"
Sa’id, "Ampunan itu hanyalah dari Allah, sedangkan engkau tak punya ampunan dan alasan lagi di hadapan-Nya."

Memuncaklah kemarahan Hajjaj. Kepada algojonya diperintahkan, "Siapkan pedang dan alasnya!"
Hajjaj, "Mengapa engkau tersenyum?"
Sa’id, "Aku takjub atas kecongkakanmu terhadap Allah dan kelapangan Allah terhadapmu."
Hajjaj, "Bunuh dia sekarang!"

Sa’id, (Menghadap kiblat sambil membaca firman Allah), "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah," (Al-An’am: 79).
Hajjaj, "Palingkan dia dari kiblat!"

Sa’id, (membaca firman Allah Ta’ala), "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah," (Al-Baqarah: 115).
Hajjaj, "Sunggkurkan dia ke tanah!"

Sa’id, (membaca firman Allah Ta’ala), "Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain," (Thaha: 55).
Hajjaj, "Sembelihlah musuh Allah ini! Aku belum pernha menjumpai orang yang suka berdalih dengan ayat-ayat Allah seperti dia."

Sa’id, (mengangkat kedua tangannya sambil berdo’a), "Ya Allah jangan engkau beri kesempatan ia melakukannya atas orang lain setelah aku."

Tak lebih dari lima belas hari setelah wafatnya Sa’id bin Jubair, mendadak Hajjaj bin Yusuf terserang demam. Kian hari suhu tubuhnya makin meningkat dan bertambah parah rasa sakitnya hingga keadaannya silih berganti antara pingsan dan siuman. Tidurnya tak lagi nyenyak, sebentar-bentar terbangun dengan ketakutan dan mengigau, "Ini Sa’id bin Jubair hendak menerkammu! Ini Sa’id bin Jubair berkata, ‘Mengapa engkau membunuhku’?" Dia menangis tersedu-sedu menyesali diri, "Apa yang telah aku perbuat atas Sa’id bin Jubair? Kembalikan Sa’id bin Jubair kepadaku!"

Kondisi itu terus berlangsung hinga dia meninggal. Setelah kematian Hajjaj, seorang kawannya pernah memimpikannya. Dalam mimpinya itu dia bertanya kepada Hajjaj, "Apa yang Allah perbuat terhadapmu setelah membunuh orang-orang itu, wahai Hajjaj?"

Dia menjawab, "Aku disiksa dengan siksaan yang setimpal atas setiap orang tersebut, tapi untuk kematian Sa’id bin Jubair aku disiksa 70 kali lipat."

Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 185-197.



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Pengobatan Dengan Air Liur dan Tanah
Selasa, 27 September 2016 16:52 WIB
Kisah Mengharukan Anak Yang Membawa Hidayah
Selasa, 12 Januari 2016 11:25 WIB
Merengkuh Hidayah Menuai Ma`unah
Jum'at, 04 September 2015 14:45 WIB