Kisah Sa`id bin Jubair [ bag 1 ]

abatasa | Kamis, 16 Mei 2013 05:46 WIB | 6.266 kali
Kisah Sa`id bin Jubair [ bag 1 ]
Badannya kekar, sempurna bentuk tubuhnya, lincah gerak-geriknya, cerdas otaknya, jenius akalnya, antusias terhadap kebajikan dan menjauhi dosa. Meski hitam warna kulitnya, keriting rambutnya dan asalnya dari Habsy, namun tidaklah jatuh rasa percaya dirinya untuk menjadi manusia yang istimewa, apalagi umurnya masih muda.

Pemuda yang beasal dari Habsyi asli dan menjadi warga Arab ini sadar betul bahwa ilmu jalan yang bisa mengantarkan kepada Allah. Dan takwa adalah jalan yang menuntunnya ke surga. Oleh sebab itu dijadikannya takwa di sisi kanannya dan ilmu di sisi kirinya. Keduanya dipadukan dengan ikatan yang erat.

Dengan dua hal tersebut beliau mengarungi samudera kehidupan tanpa berleha-leha dan berpangku tangan. Sejak beliau masih muda, orang-orang telah mengenalnya sebagai pemuda yang akrab dengan buku-buku yang ia baca. Atau jika mereka tidak mendapatkannya sedang membaca buku, maka beliau tengah di mihrabnya untuk beribadah. Itulah dia manusia pilihan di zamannya, Sa’id bin Jubair.

Pemuda Sa’id ini berguru kepada banyak sahabat senior, seperti Abu Sa’id Al-Khudri, Adi bin Hatim Ath-Thayy, Abu Musa Al-As’ari, Abu Hurairah Ad-Dausi, Abdullah bin Umar maupun Ummul Mukminin Aisyah r.a. Tapi guru utamanya adalah Abdullah bin Abbas, guru besar umat Islam dan lautan ilmu yang luas.

Dengan setia Sa’id bin Jubair mengikuti Abdullah bin Abbas layaknya bayangan yang selalu mengikuti orangnya. Dari sahabat inilah beliau menggali tafsir Al-Qur’an, hadits-hadits dan seluk beluknya. Darinya pula beliau mendalami persoalan agama maupun tafsirnya. Juga mempelajari bahasa hingga mahir dengannya. Dan pada gilirannya, tidak ada seorangpun di muka bumi ini kecuali memerlukan ilmunya.

Selanjutnya beliau mengembara dan berkeliling di negara-negara muslimin untuk mencari ilmu sesuai kehendak Allah. Setelah merasa cukup, beliau memutuskan Kufah sebagai tempat tinggalnya. Dan kelak beliau menjadi guru dan imam di kota itu.

Beliau menjadi imam shalat sendirian, adakalanya beliau khatamkan Al-Qur’an dalam sekali shalat. Dan sudah menjadi kebiasaan beliau apabila membaca ayat Allah:

"(Yaitu) orang-orang yang mendustakan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. Kelak mereka akan mengetahui, ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api," (Al-Mukmin: 70-72).

Atau ketika membaca ayat-ayat serupa yang berisi ancaman, maka menjadi gemetarlah badannya, gentar hatinya dan menetes air matanya. Kemudian mengualang-ulang ayat tersebut sampa adakalanya hampir pingsan.

Beliau melakukan perjalanan ke Baitullah Al-Haram dua kali setiap tahunnya. Pertama adalah pada bulan Rajab untuk melakukan umrah, lalu di bulan Dzulqa’dah hingga usai ibadah haji.

Orang-orang yang merindukan ilmu dan kebaikan datang berduyun-duyun ke Kufah untuk menghirup sumber ilmu yang jernih dari Sa’id bin Jubeir. Beliau ditanya, "Apakah khasyah (takut) itu?" beliau menjawab, "Khasyah adalah bahwa engkau harus takut kepada Allah hingga rasa takutmu menghalangi dirimu dari perbuatan maksiat."

Ketika ditanya tentang dzikir, beliau berkata, "Dzikir itu adalah taat kepada Allah. Barangsiapa menyahut seruan Allah dan mentaati-Nya, berarti dia berdzikir kepada-Nya. Adapun orang yang berpaling dan tak mau taat, maka dia bukanlah termasuk ahli dzikir, meski dia bertasbih dan membaca Al-Qur’an semalam suntuk."

Kota Kufah yang menjadi pilihan beliau untuk menetap ketika itu di bawah kepemimpinan gubernur Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Kekuasaan Hajjaj meliputi Irak dan seluruh Masyriq serta negeri di seberangnya, dia memegang kedudukan dan kekuasaannya dengan penuh kesombongan. Dia telah membunuh Abdullah bin Zubair, menumpas gerakannya, menundukkan Irak di bawah kekuasaan Bani Umayah dan memadamkan api pembrontakan di sana sini. Menghunus pedangnya di tengkuk manusia dan menyebarkan rasa takut di seluruh negeri kekuasaannya. Hingga para penduduk merasa ngeri dan takut akan kekejamannya.

Sautu ketika takdir Allah menghendaki terjadinya perselisihan antara Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi dengan salah satu pendampingnya yang bernama Abdurrahman bin Asy’ats. Perang argumen akhirnya berkembang manjadi fitnah besar yang menelan sangat banyak korban, meninggalkan bekas luka dalam dan menyedihkan hati kaum muslimin.

Ada yang berkata bahwa fitnah tesebut terjadi ketika Hajjaj mengutus Ibu Asy-Asy’ats bersama pasukannya untuk menaklukkan kota Ratbil di Turki, di belakang daerah yang bernama Sajistan.

Maka berperanglah panglima yang tangguh tersebut dengan membawa pasukan besarnya dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah negeri tersebut. Termasuk merebut beberapa benteng yang kokoh dan mendapatkan banyak ghanimah dari kota-kota dan desa-desa. Kemudian panglima itu mengirim utusan menghadap kepada Hajjaj agar menyampaikan kabar gembira dan sekaligus mengirimkan seperlima dari ghanimah untuk baitul maal milik kaum muslimin. Selain itu juga ia menulis surat, minta izin sementara untuk sementara menghentikan perang. Agar dia dapat mempelajari seluk beluk medan maupun keadaan dan kebiasaan penduduk negeri itu, sebelum memutuskan untuk menyerbu daerah pedalaman yang belum diketahui medannya oleh pasukan yang sebelumnya telah berhasil memperoleh kejayaan.

Namun Hajjaj murka dengan pendirian panglima tersebut. Dia menuduh surat balasan berisi kecaman pedas dan menuduh Abdurrahman sebagai pengecut serta mengancam akan memecatnya. Begitu surat dari gubernurnya datang, Abdurrahman bin Asy’ats segera mengumpulkan para komandan pasukan dan perwiranya. Beliau membaca surat tesebut untuk kemudian dimusyawarahkan bagaimana sikap yang harus mereka ambil.

Ternyata para komandan itu menyarankan untuk menentang pemerintah Hajjaj. Maka Abdurrahman berkata, "Apakah kalian bersedia berbai’at untuk berjihad kepadanya hingga Allah membersihkan bumi Irak dari kezhalimannya?" Akhirnya mereka melakukan bai’at kepada panglimanya...

Tentara Abdurrahman bin Asy’ats bergerak menyerang pasukan Hajjaj dengan kebencian berkobar di dada. Terjadilah pertempuran dahsyat antara mereka dengan pasukan ibnu Yusuf, dan pasukan Abdurrahman berhasil memenangkannya hingga mampu menguasai Sajistan serta sebagian besar wilayah Persia. Selanjutnya Abdurrahman berhasrat merebut Kufah dan Bashrah dari kekuasaan Hajjaj bin Yusuf.

Perang masih berkecamuk antara dua kubu. Ibnu Asy’ats terus menguasai kota demi kota. Hal itu membuat kemarahan Hajjaj bin Yusuf memuncak ke ubun-ubun. Bersamaan dengan itu, para wali di berbagai daerah telah menulis surat kepada Hajjaj yang melaporkan banyaknya ahli dzimmah yang memeluk Islam untuk melepaskan diri dari kewajiban jizyah. Mereka telah meninggalkan pedesaan menuju ke kota-kota. Ini berarti makin menipisnya pendapatan negara.

Kemudian Hajjaj menulis surat kepada walinya di Bashrah dan kota-kota lainnya untuk mengumpulkan para ahli dzimmah yang telah berpindah dan mengembalikan semuanya ke tempat asal masing-masing. Tak luput pula bagi mereka yang sudah lama tinggal di kota. Perintah Hajjaj segera dilaksanakan. Sejumlah besar ahli dzimmah tersebut dikumpulkan dan dijauhkan dari mata pencariannya. Di pinggiran kota, mereka dikumpulkan beserta anak istrinya dan dipaksa kembali ke desa-desa yang telah lama mereka tinggalkan.

Para wanita, anak-anak dan orang-orang tua menangis beruraian air mata. Mereka minta tolong sambil berseru, "Wahai umat Muhammad..wahai umat Muhammad." Mereka bingung hendak berbuat apa, tak tahu harus pergi kemana. Kemudian, keluarlah para ulama dan ahli-ahli fikih Bashrah untuk menolong serta serta mengusahakan agar perintah tersebut dibatalkan. Namun hasilnya nihil, sehingga mereka pun ikut menangis karena tangisan mereka lalu berdoa agar Allah mengentaskan mereka dari musibah tersebut.

Kekecewaan para ulama itu dimanfaatkan oleh Abdurrahman. Dia mendekati para alim ulama untuk mendukung perjuangannya. Kemudian beberapa tokoh tabi’in dan pemuka-pemuka Islam turun tangan, di antaranya termasuk Sa’id bin Jubair, Abdurrahman bin Laila, Imam Asy-Sya’bi, Abul Bukhtari dan lain-lain.

Perang besar antara keduanya meletus. Mulanya kemenangan berpihak di pasukan Ibnu Asy’ats, tapi kemudian sedikit demi sedikit keseimbangan beralih. Pasukan Hajjaj mulai berada di atas angin, sampai akhirnya kekuatan Ibnu Asy’ats dapat dihancurkan. Ibnu Asy’ats melarikan diri dan pasukannya menyerah kepada Hajjaj.

Setelah itu, Hajjaj memerintahkan pegawainya untuk menyeru kepada para pemberontak agar memperbaharui bai’atnya. Di antara mereka ada yang mentaati dan sebagian kecil menghilang, termasuk Sa’id bin Jubair.

Orang-orang yang menyerah itu datang untuk berbai’at, namun mereka dikejutkan oleh kejadian yang tidak mereka duga. Hajjaj berkata kepada salah seorang di antara mereka, "Apakah engkau mengaku kafir karena telah membatalkan bai’atmu kepada amirmu? Jika dia menjawab, "Ya" maka diterima bai’atnya yang baru lalu dibebaskan. Namun jika menjawab, "Tidak" maka dibunuh.

Sebagian dari mereka yang lemah, tunduk dan terpaksa mengaku kafir demi kesalamatan dirinya. Sedangkan sebagian lagi tetapi teguh dan tidak mengindahkan perintah tersebut, tetapi mereka harus membayar dengan lehernya.

Menurut kabar yang tersebar penjagalan tersebut telah memakan ribuan orang, sedangkan ribuan orang lainnya selamat setelah mengaku kafir.

Dalam kejadian lain, ada orang tua dari suku Khat’am. Ketika terjadi huru hara dan kekacauan antara dua kubu, dia tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal di suatu tempat yang jauh di belakang sungai Eufrat. Kemudian dia digiring menghadap Hajjaj, lalu ditanya tentang dirinya.

Orang tua, "Semenjak meletus pertempuran, aku mengasingkan diri ke tempat yang jauh sambil menunggu perang usai. Setelah Anda menang dan perang usai, maka aku datang kemari untuk melakukan bai’at."

Hajjaj, "Celakalah engkaku! Engkau tinggal diam menjadi penonton dan tidak ikut membantu pemimpinmu, sekarang apakah engkau mengaku bahwa dirimu telah kafir?"

Orang tua, "Terkutuklah aku jika selama 80 tahun ini mengabdi kepada Allah, lalu mengaku sebagai kafir."
Hajjaj, "Jika demikian aku akan membunuhmu."

Orang tua, "Jika engkau membunuhku...demi Allah, yang tersisa dari usiaku selama ini hanyalah seperti waktu kesabaran seekor keledai yang kehausan. Pagi hari dia minum dan sorenya mati. Aku memang sudah menantikan kematian itu siang dan malam hari. Oleh karena itu, lakukanlah semaumu."

Akhirnya orang tua itupun dipenggal lehernya. Tak seorangpun dari pengikut ataupun musuh Hajjaj yang hadir di situ yang tak memuji dan merasa iba terhadap syaikh tua tersebut dan memintakan rahmat untuknya.

Lanjutkan bag 2 ......



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Pengobatan Dengan Air Liur dan Tanah
Selasa, 27 September 2016 16:52 WIB
Kisah Mengharukan Anak Yang Membawa Hidayah
Selasa, 12 Januari 2016 11:25 WIB
Merengkuh Hidayah Menuai Ma`unah
Jum'at, 04 September 2015 14:45 WIB