Mencium Tanda Kenabian

abatasa | Senin, 25 Februari 2013 07:40 WIB | 12.546 kali
Mencium Tanda Kenabian
"Ya Rasulullah, aku rela menebus jiwamu dengan jiwaku. Maka, bagaimana mungkin aku sampai hati meng-qishash dirimu. Sungguh, aku melakukan hal ini agar badanku dapat bersentuhan dengan badanmu. Sehingga, dengan demikian, Allah akan menghindarkan aku dari siksa api neraka dengan sebab kemuliaanmu"

Sahabat Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan, menjelang hari-hari terakhir Rasulullah Saw. menemui waktu wafatnya, beliau memerintahkan kepada sahabat Bilal r.a. untuk mengumandangkan azan. Orang- orang berdatangan menuju ke Masjid Nabi. Mereka berkumpul, baik dari golongan kaum Muhajirin maupun Anshar.

Rasulullah Saw. kemudian memimpin shalat dua rakaat dengan bacaan yang ringan atau tidak membaca ayat-ayat yang panjang. Kaum Muslim yang hadir bermakmum kepada beliau. Usai shalat, Rasulullah Saw. naik ke mimbar. Beliau membaca hamdalah dan kemudian menyampaikan beberapa nasihat dengan kata-kata yang tegas.

Para sahabat yang mendengar suara Rasulullah Saw. saat itu menjadi gemetar hatinya. Perlahan tapi pasti, mereka semua kemudian menangis.

"Wahai kaum Muslim," seru Rasulullah Saw., "Sesungguhnya aku ini adalah nabi dan sekaligus penasihat bagi kalian. Aku ini juga sebagai orang yang mengajak manusia kepada jalan Allah dengan izin-Nya. Aku ini bagaikan saudara kandung yang sayang dan laksana ayah yang welas asih." Demikian di antaranya bunyi sabda Rasulullah saat itu.

"Barangsiapa yang mempunyai hak atas diriku yang bisa dituntut, maka hendaklah ia berdiri dan membalas haknya kepadaku saat ini, sebelum aku dituntut balas di hari kiamat nanti," lanjut Rasulullah Saw.

Semua hadirin menjadi terdiam dalam tangis mereka. Tak seorang pun yang berdiri untuk menuntut balas kepada Nabi yang mereka cintai itu. Sehingga Rasulullah Saw. merasa perlu untuk mengulang pernyataannya saat itu hingga dua sampai tiga kali.

Setelah Rasulullah Saw. mengulang pernyataannya untuk yang ketiga kalinya, maka berdirilah salah seorang di antara orang- orang yang hadir. Dia adalah Ukasyah bin Muhshan.

"Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah. Sekiranya engkau tidak mengumumkan hal ini sampai tiga kali, maka aku tidak akan mengatakan hal ini. Aku pernah bersamamu pada Perang Badar. Ketika itu, untaku tengah mengikuti untamu. Aku turun dari untaku dengan maksud untuk mendekatimu dan mencium kakimu," ujar Ukasyah menceritakan pengalamannya.

"Akan tetapi," lanjut Ukasyah, "tiba-tiba saja engkau mengangkat cambukmu dan memukulkannya ke arah untamu, agar ia berjalan dengan cepat. Pada saat itu, ujung cambukmu telah mengenai tiga ruas tulang rusukku. Aku tak tahu, apakah saat itu engkau sengaja mengenaiku atau tidak," ujar Ukasyah mengakhiri ceritanya.

Rasulullah Saw. bersabda: "Hai Ukasyah, sesungguhnya Rasulullah dijauhkan dari bersikap sengaja memukulmu." Kemudian Rasulullah Saw. berpaling ke arah sahabat Bilal r.a. seraya berkata: "Hai Bilal, pergilah ke rumah Fathimah dan ambilkan cambuk saya."

Sahabat Bilal r.a. keluar dari masjid sembari meletakkan tangannya di atas kepalanya. "Rasulullah telah menyediakan dirinya untuk di-qishash," gumamnya lirih. Setibanya di rumah Fathimah r.a., Bilal mengetuk pintu. Setelah Sayyidah bertanya tentang siapa yang datang, Bilal menjawab: "Aku Bilal, bermaksud untuk mengambil cambuk Rasulullah Saw."

"Bilal, ada apakah gerangan sehingga ayahku memerlukan cambuknya?" tanya Fathimah r.a., putri Rasulullah Saw.

"Sesungguhnya, ayahmu telah menyediakan dirinya untuk di-qishash," jawab sahabat Bilal r.a. Mendengar keterangan Bilal itu, Fathimah r.a. menangis.

"Bilal, siapakah gerangan yang sampai hati akan meng- qishash Rasulullah?" tanya Fathinlah r.a. di sela-sela isak tangisnya sembari menyerahkan cambuk Rasulullah Saw. kepada sahabat Bilal r.a.

Sahabat Bilal r.a. terdiam. Ia sendiri merasa bersedih dengan kejadian itu. Setelah menerima cambuk Rasulullah Saw. tersebut, ia segera berlalu dari hadapan Fathimah menuju ke masjid lagi.

Detik-detik mengharukan


Setibanya Bilal di masjid, segera cambuk itu diserahkan kepada Rasulullah Saw. Selanjutnya, beliau menyerahkan cambuk itu kepada Ukasyah. Detik-detik pelaksanaan qishash akan segera berlangsung. Sahabat Abu Bakar r.a. dan Umar tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi terhadap diri Rasulullah Saw.


Dengan serentak, kedua sahabat Rasulullah Saw. tersebut berdiri dan meminta kepada Ukasyah agar menjadikan mereka sebagai penerima qishash yang ditujukan untuk Rasulullah Saw. tersebut.
"Hai Abu Bakar dan Umar, kalian duduklah. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui tempat kalian berdua," ujar Rasulullah Saw.


Sahabat Ali k.w. pun segera bediri dan berseru kepada Ukasyah, "Ukasyah, selama hidupku, aku selalu mendampingi Rasulullah Saw. Ini punggung dan perutku, jatuhkanlah qishash itu padaku. Cambuklah aku saja dengan tanganmu."
Rasulullah Saw. pun memerintahkan agar sahabat Ali k.w. untuk duduk kembali. "Duduklah, Ali. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui niat dan tempatmu," perintah Rasulullah Saw.


Dua orang putra dari Ali k.w., yakni Hasan dan Husain, kemudian berdiri menyusul ayah mereka. Kedua orang ini merupakan cucu kesayangan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. kerap menggendong mereka dan meredakan tangisan mereka di masa mereka masih berusia kanak-kanak. Kini, mereka telah menjadi dua pemuda titisan darah Rasulullah Saw. dan tampil ingin membela kakeknya.


"Ukasyah, bukankah engkau mengetahui betul bahwa kami ini adalah cucu Rasulullah? Oleh karena itu, jika engkau menjatuhkan qishash tersebut kepada kami, itu sama saja dengan engkau telah meng-qishash Rasulullah Saw.," ujar kedua cucu Rasulullah Saw. tersebut.


"Buah hatiku," tegur Rasulullah kepada Hasan dan Husain, "duduklah kalian berdua," lanjut Rasulullah Saw. Keduanya pun mematuhi kata-kata Rasulullah Saw. Selanjutnya Rasulullah Saw. memandang Ukasyah yang hanya diam membisu mendengarkan segala pembelaan dari sahabat dan keluarga Rasulullah Saw. tersebut.
"Hai Ukasyah, sekarang mulailah laksanakan qishash-mu. Cambuklah aku," ucap Rasulullah Saw. kepada Ukasyah.


Namun Ukasyah masih mengajukan syarat lainnya. Ia berkata: "Ya Rasulullah, ketika aku terkena cambukanmu waktu itu, aku tidak mengenakan pakaian."
Tanpa berkata-kata lagi, Rasulullah Saw. langsung membuka pakaiannya. Hingga tampaklah badan Rasulullah Saw. dari bagian perutnya hingga ke atas. Putih dan penuh cahaya barakah.


Menyaksikan pemandangan itu, serentak kaum Muslim yang hadir menjerit dan menangis pilu. Mereka tak sampai hati melihat Rasulullah Saw. diperlakukan seperti itu. Tetapi, yang demikian itu adalah kehendak Rasulullah Saw. Dan kehendak Rasulullah Saw., berarti sama juga dengan kehendak Allah Azza wa Jalla.


Sementara itu, Ukasyah yang memandang tubuh Rasulullah Saw. dari jarak yang paling dekat, menjadi gemetar sekujur tubuhnya. Selama beberapa menit, ia telah menahan gejolak perasaannya untuk memperoleh kesempatan yang diidam- idamkan. Sebuah keinginan yang sudah tertancap sejak awai keislamannya. Keinginan itu pernah ingin ia laksanakan pada masa Perang Badar, tetapi tak juga dapat terlaksana.


Bahkan, gara-gara keinginannya itulah, ia terkena sabetan cambuk Rasulullah Saw. Dan justru karena sabetan cambuk itulah, maka Allah memberikan kesempatan emas itu lagi kepadanya. Kasih sayang Allah kepada Ukasyah sudah barang tentu sangatlah besar. Sehingga, Allah merancang skenario untuk membuat Ukasyah dapat melaksanakan keinginannya itu.


Keinginan Ukasyah itu adalah mencium bagian tubuh Rasulullah Saw. Sebab, ia ingin memperoleh berkah dari tubuh kekasih Allah yang mulia itu. Kini, kesempatan yang ia peroleh bukan saja sekadar mencium bagian kaki Rasulullah Saw. Melainkan ia memiliki peluang untuk dapat mencium tanda kenabian Rasulullah Saw. Ukasyah menangis keras dan memeluk tubuh Rasulullah Saw. dengan penuh kerinduan.


Ia segera memeluk tubuh Rasulullah Saw. yang putih bersinar itu dan mencium tanda kenabian beliau. Tanda kenabian itu terletak di punggung Rasulullah Saw. Tepat di antara dua belikatnya. Di sana tertulis kalimat ‘bakhin bakhin manshurun tawajjah haitsu syi’ta fa innahu manshur’ (Bagus, bagus. Orang yang ditolong, datanglah menghadap sekiranya engkau kehendaki. Maka, sesungguhnya dia adalah orang yang ditolong).


Tanda kenabian itulah yang pernah juga dicium oleh seorang rahib, yang karena hal itu, ia lalu dimuliakan oleh Allah dan dijamin oleh Allah akan terlepas dari siksa neraka. Derajat itulah yang diinginkan oleh Ukasyah. Ia ingin terlepas dari siksa neraka dengan sebab mencium tanda kenabian itu.
"Ya Rasulullah, aku rela menebus jiwamu dengan jiwaku. Maka, bagaimana mungkin aku sampai hati meng-qishash dirimu. Sungguh, aku melakukan hal ini agar badanku dapat bersentuhan dengan badanmu. Sehingga, dengan demikian, Allah akan menghindarkan aku dari siksa api neraka dengan sebab kemuliaan- mu," ujar Ukasyah seraya menangis tersedu-sedu.


Rasulullah Saw. kemudian memandang kepada para hadirin seraya bersabda: "Ketahuilah, jika kalian ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah orang ini."
Orang yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. itu tak lain adalah Ukasyah, seorang sahabat yang rela menerima segala kecurigaan para sahabat Rasul lainnya tentang dirinya yang dianggap ingin meng-qishash Rasulullah Saw. Hal itu ia lakukan dengan sabar, demi untuk dapat mencium tanda kenabian Rasulullah Saw.


Mendengar sabda Rasulullah Saw. tersebut, para sahabat serempak berdiri mengucapkan selamat kepada Ukasyah.
"Hai Ukasyah, engkau telah memperoleh keuntungan yang sangat besar dan derajat yang tinggi karena akan berteman dengan Rasulullah Saw. di surga," ujar mereka dengan penuh keharuan.


Satu per satu mereka memberi selamat kepada Ukasyah dan mencium keningnya. Allahumma yassir lana syafaatahu bi ‘izzatika wa jalalik (Ya Allah, mudahkanlah bagi kami untuk memperoleh syafaat beliau (Rasulullah Saw.) dengan sebab kemuliaan-Mu dan keagungan-Mu).

 

Sumber :

Mutiara Hikmah



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Pengobatan Dengan Air Liur dan Tanah
Selasa, 27 September 2016 16:52 WIB
Kisah Mengharukan Anak Yang Membawa Hidayah
Selasa, 12 Januari 2016 11:25 WIB
Merengkuh Hidayah Menuai Ma`unah
Jum'at, 04 September 2015 14:45 WIB