Semasa Kerajaan Bani Umaiyah berkuasa di bawah pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan, hiduplah seorang janda dan ketiga orang anak perempuannya yang masih kecil dari keturunan Nabi Muhammad saw. Mereka hidup dalam keprihatinan. Pada suatu hari, anak-anaknya menangis kencang karena sudah tidak bisa menahan lapar. Sang ibu sudah tidak sanggup mem-bujuk mereka untuk berhenti menangis. Di antara isak tangis anak-anaknya, sang ibu menyuruh anak-anaknya untuk bersabar sampai besok. Sang ibu beijanji akan pergi ke pejabat untuk meminta bantuan.
Pagi harinya, ibu dan ketiga anaknya pergi ke tempat pejabat Tuan Hakim. Sesampainya di sana, ia mengutarakan permintaan bantuan kepada sang pejabat. Namun, sang pejabat menyuruh ibu dan anak-anaknya kembali lagi keesokan harinya. Sang ibu tidak menerima begitu saja, ia terus membujuk untuk bisa diberikan bantuan hari itu juga. Ibu itu menarik tangan anaknya untuk pulang, tetapi anak yang tidak mengerti itu lebih kuat lagi tangisannya karena dilihatnya tidak ada sesuatu yang diberikan oleh pejabat itu.
"Tuan Hakim tidak memberi kita apa-apa, Ibu?" tanya anaknya yang sulung.
’’Tuan Hakim sibuk hari ini, Nak. Besok dia akan memberikan sesuatu kepada kita," bujuk si ibu.
Pada malam harinya, sang ibu berusaha mencari jalan untuk menenteramkan anak-anaknya agar tidak terus menangis. Ia juga meyakinkan bahwa mereka pasti akan mendapat bantuan pada keesokan harinya. Walaupun tetap tidak bisa mengerti, mereka semua akhirnya tertidur dalam keadaan perut yang kosong.
Pada keesokan paginya, ibu itu pergi seorang diri ke pejabat Tuan Hakim. Sementara anak-anaknya, ia tinggalkan di rumah. Sesampainya di sana, Tuan Hakim mengelak bahwa ia telah bejjanji untuk memberikan sesuatu pada hari itu. Akhirnya, sang ibu diusir dari tempat sang pejabat. Dengan rasa malu dan sambil menahan tangisannya, ia pun keluar. Ia tidak ingin menunjukkan dirinya rendah dan hina seperti seorang pengemis yang sudah tidak punya pendirian lagi. Dia tahu dirinya dari keturunan mulia, dari anak cucu Rasulullah saw. yang mesti menjaga harga diri.
Ibu itu cepat-cepat meninggalkan tempat pejabat dengan pikirannya yang berkecamuk. Tak hentinya, ia memikirkan nasib malang yang menimpa dirinya.
"Apa yang akan aku katakan kepada anak-anakku yang sedang menunggu di rumah? Apakah harus kukatakan bahwa Tuan Hakim itu telah mengingkari janjinya? Berilah akujalan keluar dari kesempitan ini! Aku sendiri pun tidak sanggup lagi menanggungnya, ya Allah."
Ibu itu mengadu kepada Allah. Ia terus menangis dan merintih mengingat kesempitan hidupnya. Tiba- tiba, di hadapannya ada dua orang pemuda yang mendengar keluhan dan tangisannya, mereka lalu menegur sang ibu. Dalam percakapan singkatnya dengan salahsatu pemuda tersebut, ibu mengetahui bahwa pemuda itu bernama Saiduq, saudagar Nasrani yang kaya raya. Pemuda satunya lagi adalah pengawalnya.
Setelah menceritakan semuanya, sang saudagar tidak pikir panjang untuk bersedia menolong sang ibu. Saudagar itu memerintahkan pengawalnya memberikan seribu dinar dan pergi ke pasar untuk membelikan keperluan sang ibu dan ketiga anaknya. Ibu itu terkejut melihat seorang Nasrani yang begitu murah hati terhadap orang yang susah dan menderita sepertinya. Meskipun dia bukan seorang Muslim, dia tetap seorang manusia yang mempunyai perasaan terhadap insan yang lain.
Pengawal Saiduq itu segera pergi ke pasar untuk membeli makanan, buah-buahan, dan segala keperluan dapur yang diperlukan, termasuk membelikan pakaian untuk ibu dan anak-anaknya. Anak-anaknya bergembira melihat barang-barang yang belum pernah dilihatnya seumur hidup. Sang ibu juga turut gembira. Mulai hari itu, dia tidak menangis lagi. Dalam tangannya, sudah ada seribu dinar yang cukup untuk menjamin hidupnya dua atau tiga tahun lagi.
’’Sampaikan salamku kepada Saiduq dan ucapan terima kasih banyak kepadanya," kata ibu itu kepada pengawal tersebut.
’Ya Allah, Ya Tuhanku, berikanlah Saiduq hidayah untuk memeluk Islam. Berikanlah dia kenikmatan-Mu di surga!"
Sementara itu, pada suatu malam, Tuan Hakim yang sombong itu bermimpi. Dalam mimpinya, seolah-olah dia sedang berada di hari kiamat. Manusia terlalu sibuk waktu itu, masing-masing mencari perlindungan. Kemudian, Tuan Hakim dibawa ke dalam neraka. Dalam mimpinya, dikatakan bahwa semua kepemilikannya bu-kanlah miliknya lagi, melainkan milik Saiduq. Pada saat itulah, Tuan Hakim tersadar dari mimpinya.
Pada keesokan paginya, Tuan Hakim bergegas ke rumah Saiduq. Ia bertanya mengenai kebaikan apa yang telah dilakukannya tadi malam? Setelah didesak, Saiduq pun akhirnya mau bercerita. Saiduq mulai mengingat- ingat. Lalu, teringadah ia pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Dia menolong seorang perempuan dan anak- anaknya yang dalam kesusahan dan kelaparan.
’’Barangkali, kebaikan yang aku lakukan terhadap seorang perempuan yang mempunyai tiga anak kecil, jika tidak salah ingat," terang Saiduq.
Kemudian, Saiduq balik bertanya perihal apa yang membuat Tuan Hakim ke rumahnya. Tuan hakim masih termenung dan tertunduk. Wajahnya seperti seorang yang sedang memikirkan sesuatu dan tampak sedih sekali. Kemudian, ia menceritakan mimpi yang dialaminya itu. Mendengar cerita itu, gemetarlah badan Saiduq.
’’Tuan Hakim, sekarang saksikanlah... bahwa aku bersaksi, tiada Tuhan melainkan Allah, Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan Muhammad itu adalah rasul Allah, yang diutus-Nya membawa petunjuk dan agama yang benar."
Tuan Hakim menyaksikan keislaman Saiduq itu dengan hati sedih dan menyesal atas kelakuannya yang tidak berperikemanusiaan. Itulah kekuatan doa. Seorang Nasrani yang berbudi mulia, dengan doa seorang perempuan miskin saja, dia telah diberi Allah petunjuk menemuijalan kebenaran. Lalu, ia pun menjadi golongan ahli surga. Sesungguhnya, doa adalah senjata orang Islam.
’’Kebaikan tetaplah kebaikan untuk selama- lamanya, tidak akan tertukar sedikit pun dengan apa pun. "